Penunjukan Abdi Negara atau Abdee Slank menjadi komisaris PT Telkom Indonesia mencuri perhatian publik. Kontroversi mengiringi penunjukan Abdee Slank jadi komisaris Telkom. Pro dan kontra masyarakat bermunculan, banyak yang mendukung namun tidak sedikit yang menyayangkan keputusan tersebut. Bahkan muncul pula opini yang beranggapan bahwa "orang yang selama ini berada di balik pemenangan Jokowi di Pilpres 2019 kerap mendapat posisi." Para pengamat politik mengatakan mungkin saat ini pemerintah Jokowi tengah melakukan politik etis atau politik balas budi. Dan pada rubrik Suara Muslimah kali ini Muslimah Jakarta berhasil mewawancarai ibu Rabihah Pananrangi, MM. seorang pemerhati politik, peneliti sekaligus penulis terkait isu ini, berikut hasil wawancaranya.
Tanya: Adanya pro-kontra terkait penetapan Abdee Slank sebagai Komisaris utama semakin menguatkan opini politik etis yang dilakukan Pemerintah Jokowi. Bagaimana pandangan ibu terkait ini?
Jawab: Ya memang, pengangkatan Abdee Slank sebagai Komut semakin menegaskan bahwa praktik politik etis di negeri ini sudah menjadi tradisi. Sebagaimana kita ketahui, kontribusi Abdee dalam dua kali Pilpres dengan menjadi inisiator "Konser Akbar Salam 2 jari" pada tahun 2014 dan "Konser Putih Bersatu" pada tahun 2019". Sebagai relawan Jokowi, Abdee bukan orang yang pertama memperoleh posisi strategis di BUMN. Seperti yang dilansir senayanpost.com, (30/5/2021) terdapat 25 relawan lainnya yang juga telah menikmati posisi strategis sebagai wujud balas budi pemerintah.
Tindakan politik etis ini, tidak hanya terjadi saat ini namun sejak tahun 1901 pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda mulai mempraktekkannya dengan memberi jabatan penting dan strategis bagi pendukungnya. Dan ini dilanggengkan oleh sistem demokrasi yang memerlukan sokongan besar untuh meraih kemenangan.
Tanya: Apa sebenarnya yang melatarbelakangi adanya politik balas budi dalam sistem demokrasi? Apakah hal tersebut sesuatu yang lumrah?
Jawab: Untuk menganalisa hal ini, kita menggunakan konsep clientism yang dipopulerkan oleh Chapell Lawson dan Kenneth F Greene. Konsep ini sering terjadi dalam pemilu, dimana pemenang pemilu memiliki debt atau utang bagi pihak yang berkontribusi pada kemenangannya. Bentuk bayaran tersebut berupa peningkatan status sosial dan jabatan. Melihat adanya tren dari sikap pemerintah yang menarik relawan Jokowi di jajaran BUMN memperkuat dugaan bahwa Abdee diangkat menjadi Komisaris karena alasan yang sama.
Fakta ini memang lumrah adanya dalam sistem demokrasi. Setidaknya karena tiga alasan. Pertama, sistem demokrasi itu membutuhkan biaya mahal bagi biaya calon presiden. Seorang pengamat ekonomi memprediksi seorang kandidat presiden harus menyiapkan sekitar Rp 7 triliun, seperti dikutip situs Forbes, (20/11/2013). Bagaimana dengan pilpres 2019, berapa triliun biaya yang diperlukan?Artinya dukungan saat pemilu inilah yang pada akhirnya memicu adanya politik balas budi. Inilah konsukuensi demokrasi.
Alasan kedua, dalam demokrasi semua aturan dibuat oleh manusia. Karenanya, sangat mudah bagi penguasa dalam sistem demokrasi itu membuat aturan subyektif untuk kepentingan kelompoknya. Meski mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dan secara de jure hukum Allah diyakini kebenarannya namun secara faktual dalam konteks bernegara dan segala turunannya diabaikan.
Ketiga, sistem demokrasi segala sesuatu diukur berdasarkan materi dan manfaat yang diperoleh. Akibatnya, jika materi dan manfaat yang didapat dirasa kurang menguntungkan, maka upaya untuk menuntut balas budi sangat mungkin dilakukan melalui kontrak politik. Dengan demikian, penguasa yang terpilih akan berupaya dengan segala cara untuk melakukan politik etis ini meski harus mengorbankan orang-orang tertentu yang sudah nyata memiliki kapabilitas dan kemampuan yang sudah teruji.
Keempat, bahwa politik etis dalam sistem demokrasi hanya digunakan untuk melanggengkan kekuasaan dan memperkuat dominasi pemerintah termasuk dengan lawan politiknya. Dengan merangkul musuh-musuh mereka, maka jalannya roda pemerintahan lebih terkendali
Tanya: Adakah sistem pemerintahan yang benar-benar terbebas dari politik balas budi?
Jawab: Ada, yakni sistem pemerintahan Islam. Dengan pilar utamanya adalah kedaulatan di tangan syara' bukan di tangan rakyat. Dengan demikian akan terbebas dari politi etis, atau utang budi karena memilih seorang pemimpin bukan untuk kepentingan segelintir orang saja, namun seorang pemimpin yang mampu mengurusi rakyatnya bukan menzalimi.
Tanya: Bagaimana politik etis dalam pandangan Islam?
Jawab: Intinya bahwa Islam tidak mengenal politik etis. Karena hal yang paling prinsipil dalam melakukan kebaikan dalam Islam adalah mencari ridho Allah, bukan mengejar target materi dan bukan pula mencari jabatan. Namun, saat kita diberi kebaikan oleh orang lain maka jangan lupa untuk berterima kasih dan membalas kebaikannya. Jika tidak mampu membalas maka doakanlah kebaikan untuknya. Karenanya membalas budi adalah bagian dari akhlaq seorang muslim yang harus senantiasa dilakukan. Sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda
“Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak berterima kasih kepada manusia (HR. Abu Daud).
Tanya: Lantas bagaimana Islam mengatur penempatan struktur pemerintahannya?
Islam telah memerintahkan agar setiap orang menjaga dan menunaikan amanah itu secara sungguh-sungguh, bersamaan dengan itu Islam juga telah berpesan dengan sangat supaya tidak berkhianat dan jangan menyia-nyiakan amanah sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Anfal ayat 27:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan rasul, dan jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, padahal kamu mengetahui.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radadhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
“Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat”. Dia (Abu Hurairah) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?’ Beliau menjawab, “Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu!” [HR. al Bukhari]
Olehnya Islam tegas mengatur penempatan dalam struktur pemerintahan. Al quran memberikan pelajaran dalam kisah Nabi Yusuf, bahwa ia diberi kedudukan yang tinggi karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim).
Reporter: Wiwit_id
0 Komentar