Pungli, Buah Krisis Multidimensi



Laman Kompas.Com, 11/6/2021, mewartakan bahwa belum lama ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan kunjungan ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Disana, Jokowi mendapat laporan dari sopir truk mengenai pungutan liar (pungli) yang kerap terjadi. Selain praktik pungli, para sopir juga mengadukan tindakan premanisme yang dilakukan kelompok dan oknum tidak bertanggung jawab seperti aksi penodongan dan perampokan.


Kemudian, Jokowi menghubungi Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, untuk melaporkan kriminalitas di kawasan pelabuhan komersial tersebut. Alhasil, polisi mengamankan 12 orang pelaku pungutan liar (pungli) terhadap para sopir truk kontainer di kawasan bisnis itu (Kompas.Com, 11/6/2021).


Miris! Pungli dan tindakan premanisme yang merupakan perbuatan melawan hukum masih saja terjadi. Berdasarkan fakta di lapangan, praktik pungli terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:


Pertama, faktor birokrasi yang berbelit-belit. Fenomena yang terjadi, prosedur bertingkat dan memakan waktu lama harus dilewati ketika berurusan dengan pemerintah. Hal inilah yang membuat masyarakat kesal. Sehingga, berpikir bagaimana supaya bisa lebih cepat dan efisien. Walaupun, sebagian sudah menggunakan teknologi dalam sistem pelayanan publik. Nyatanya, pungli masih banyak ditemukan.


Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan, sebenarnya persoalan pungli bermula dari kemacetan yang terjadi di wilayah Tanjung Priok (wartaekonomi.co.id, 14/6/2021). Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh oknum nakal. 


Kedua, terdapat oknum tidak bertanggung jawab dan bermental korup yang mengambil kesempatan dengan iming-iming kemudahan. Orang-orang ini yang membuat pungli tumbuh subur. Seperti yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok.


Menurut Raditya Arya, Senior Manager Corporate Secretary JICT, pelaku pungli merupakan karyawan alih daya atau outsource yang tidak bertanggung jawab (orang dalam) (beritasatu.com, 11/6/2021).


Ketiga, Selain masalah maladministrasi, Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menilai kejahatan pungli maupun premanisme saat ini sudah tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan individu, melainkan kejahatan berkelompok yang sudah terorganisasi. Sehingga, perlu melibatkan beragam kesatuan Polri (merdeka.com, 11/6/2021). Pernyataan Reza senada dengan dugaan masyarakat bahwa oknum tidak bertindak sendiri, melainkan terdapat keterlibatan aparat dalam kasus ini. 


Menurut Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranoto, Djoko Setijowarno, kemungkinan besar terjadi kongkalikong antara pelaku pungli dengan oknum aparat. Bahkan, hal itu seperti sengaja 'dipelihara' oleh oknum tersebut. Sebab dalam bidang apapun, apabila pelanggaran murni dilakukan sendiri oleh pelaku, pasti hanya akan berlangsung sementara (mingguan/beberapa bulan). Tetapi, jika pelanggaran sudah berlangsung terus-menerus dan lama, pasti sudah ada kerja sama dengan aparat. Menurutnya, hal itu merupakan kebenaran hipotesa yang tidak terbantahkan, walaupun pembuktiannya perlu dilakukan (bisnis.com, 15/6/2021).


Fenomena gunung es ini sangat disayangkan. Padahal, Jokowi sudah membentuk Satgas Saber Pungli dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tertanggal 20 Oktober 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Selain itu, Menko Polhukam juga telah menerbitkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Nomor 78 Tahun 2016 tentang Kelompok Kerja dan Sekretariat Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Sayangnya, pungli justru semakin menjamur.


Banyak kalangan menilai, kinerja Satgas Saber Pungli saat ini tidak segarang dan tidak se-massif seperti saat awal dibentuk. Hal ini disebabkan kurangnya komitmen, integritas, profesionalitas, bahkan perilaku korup baik aparat maupun pelaksana pelayanan publik. Hal tersebut seolah menjadi momok dalam pelaksanaan pelayanan publik di masyarakat. 


Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto mengatakan bahwa penyebab utama Satgas Saber Pungli melempem adalah lantaran tidak membangun sistem pencegahan dan kontrol yang baik. Selain itu juga terdapat masalah visi, misi dan integritas orang-orang di dalamnya (tirto.id, 21/6/2021).


Terkait pungli yang terjadi di Pelabuhan, Direktur Pusat Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria menanggapi bahwa persoalan klasik tersebut tidak selalu terjadi di area Pelabuhan, melainkan justru lebih banyak terjadi di luar Pelabuhan. Namun tidak dapat dipungkiri, kemacetan di depo yang mengular hingga ke luar Pelabuhan juga salah satu pemicu tindakan premanisme dan pemerasan terhadap sopir.


Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranoto, Djoko Setijowarno mengatakan bahwa praktik pungli memang terjadi hampir di semua pelabuhan terutama pelabuhan besar yang aktivitasnya tinggi. Hal tersebut semakin menimbulkan masalah sosial-ekonomi, apabila lingkungan pelabuhan dipenuhi masyarakat yang tergolong miskin dan kumuh. Dari problem tersebut, maka bisa menimbulkan tindakan premanisme.


Pungli seolah menjadi hal biasa di tengah masyarakat. Lemahnya pengawasan pemerintah dan pihak pelabuhan membuat pihak-pihak lain yang tidak berkepentingan mengambil keuntungan. Namun, tindakan pungli tidak lepas dari lingkaran setan di internal Pelabuhan, pemerintah pusat dan pihak berwajib yang disinyalir turut menikmati hasilnya. Keluhan sopir dan pengusaha yang memakai jasa Pelabuhan diabaikan. Miris akhirnya, Pungli menjadi bagian dari aktivitas keseharian di sana.


Oleh karena itu, kasus pungli dan premanisme merupakan salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Baik oleh Pemprov DKI Jakarta, maupun pemerintah pusat. Dibutuhkan perubahan paradigma manajemen dan organisasi birokrasi yang lebih memudahkan. 


Pungli dan premanisme merupakan buah dari krisis multidimensi di negeri ini. Perbuatan buruk seperti itu tidak mungkin selesai dengan solusi parsial seperti dibentuknya Saber Pungli. Butuh pembenahan aturan secara sistemik, mulai ekonomi, politik, pendidikan dan sosial. Kesenjangan sosial yang sangat jomplang sejatinya adalah menimbulkan kecemburuan sosial yang berakibat tindak premanisme. Kurangnya pemahaman agama baik pemerintah dan rakyatnya membuat pungli seperti tradisi. 


Perilaku korup terjadi bukan karena niat semata, tetapi juga dikarenakan ada kesempatan. Pemerintah sebagai panutan rakyat harusnya memberi contoh yang baik. Faktanya, sistem demokrasi yang mahal memberi peluang pejabatnya bertindak korupsi. Jadi, berharap birokrasi bersih dari korupsi rasanya mustahil terwujud. Sebab, akar masalahnya justru adalah sistem demokrasi itu sendiri.


Berbeda dengan sistem Islam yang melarang tegas praktik pungli. Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: "Allah Swt. sangat murka (melaknat) orang yang menyuap dalam bidang hukum, orang yang menerima suap dan orang yang menjadi penghubung di antara keduanya" (HR Ahmad). 


Allah Swt. berfirman dalam Al Qur'an surat Al-baqarah ayat 188 yang artinya: “Dan janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu memberi urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui”. Wallahu'alam bishawab.


Oleh Anggun Permatasari



Posting Komentar

0 Komentar