Ramai-ramai Tolak Pajak


Rencana pemerintah untuk merevisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) kembali menuai kegaduhan. Pasalnya ditengarai pemerintah akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah bahan pokok (sembako) hingga sektor pendidikan. 

Pro kontra pun terjadi. Meski baru sebatas rencana, penolakan dan protes dari berbagai kalangan terus bermunculan. Sebab pemerintah dianggap tidak memiliki empati pada rakyat yang tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi. Sebagaimana diketahui banyak mal dan perusahaan ritel yang tutup akibat pandemi. Sehingga pasar tradisional menjadi benteng pertahanan terakhir yang bisa menyediakan barang untuk masyarakat. Bisa dibayangkan jika sejumlah sembako dikenakan pajak, maka harga barang pasti mengalami perubahan.

Karenanya wajar jika Ikatan pedagang pasar indonesia alias IKAPPI memprotes rencana pemerintah untuk menerapkan pajak sembako. Ikappi berharap pemerintah menghentikan rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN bahan pokok. "Kami memprotes keras upaya-upaya tersebut. Dan sebagai organisasi penghimpun pedagang pasar di Indonesia kami akan melakukan upaya protes kepada Presiden Jokowi agar Kementerian terkait tidak melakukan upaya-upaya yang justru menyulitkan anggota kami (pedagang pasar)," ujar Ketua Umum Ikappi Abdullah Mansury (9/06/2021) seperti yang dikutip Tempo.co.

Ketua Umum Asosiasi Pedagang pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Ferry Juliantono, menilai wacana pajak sembako justru membuktikan negara saat ini tengah bokek. Menurutnya, jika saat ini pemerintah tetap memaksakan mengenakan PPN pada kebutuhan pokok, maka pemerintah dinilainya sedang mengejar setoran. Demikian sebagaimana dilansir Tribunnews.com (12/06/21).

Bahkan, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyebut bahwa pemerintah seperti penjajah. "Ini adalah sifat penjajah. Orang kaya diberi relaksasi pajak, termasuk produsen mobil diberikan relaksasi PPnBM 0 persen, tapi rakyat untuk makan direncanakan dikenai pajak," serunya sebagaimana dilansir Merdeka.com (11/06/21)

Penolakan pajak ini tak hanya datang dari para pedagang dan masyarakat bawah, tetapi juga dari anggota dewan di komisi IX,  para politisi partai dan juga pengurus ormas hingga para pengamat. Intinya mereka mengekspresikan penolakan masyarakat terhadap rencana pemerintah yang dinilai dzalim dan tidak peduli dengan kondisi ekonomi yang terjadi. Mereka masih berharap pemerintah mengalihkan pada sumber pemasukan lain untuk membantu mengatasi perekonomian yang tertekan akibat pandemi.

Dalam dunia kapitalis, pajak memang satu-satunya instrumen yang digunakan untuk mendongkrak penerimaan negara. Karena dalam sistem ini, negara tidak memiliki sumber pemasukan lainnya. Idealnya memang pajak hanya ditarik pada perusahaan-perusahaan besar dan orang-orang kaya saja. Dengan demikian uang bisa diputar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di level yang lebih rendah. Bisa pula digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum lainnya. Demikianlah konsep kapitalis ini menjadikan pajak sebagai alat untuk mencapai keadilan antara yang kaya dan yang miskin.

Tapi realitanya, konsep ini ternyata sulit untuk diterapkan. Pasalnya, kongkalikong antara penguasa dan pengusaha adalah bagian yang tak terpisahkan dari penerapan sistem ini. Bukan hanya dalam persoalan money politic saja, tetapi juga persoalan ekonomi. Lobi-lobi politik yang dilakukan antara leader dan dealer ini membuahkan kebijakan yang pada akhirnya menyengsarakan rakyat. 

Kedzaliman kian nampak ketika beberapa waktu yang lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan tax amnesty pada para pengemplang pajak, namun sekarang justru pemerintah berencana menarik pajak untuk sembako dan pendidikan. Ditambah lagi saat ini banyak proyek infrastruktur yang tak berumur panjang dan terbengkalai, tak jelas kelanjutannya. Sementara angka korupsi terus meningkat. Wajar jika banyak yang menduga, dana yang ditarik dari masyarakat ini masuk ke kantong pribadi dan tidak digunakan sebagaimana peruntukannya. 

Konsep ekonomi kapitalis ini jelas telah mengesampingkan kepentingan masyarakat. Hanya berpihak pada kepentingan segelintir penguasa dan menguntungkan para pemilik modal. Konsep ini berbeda dengan Islam secara diametral. Sebab Islam memiliki konsep yang jelas darimana sumber penerimaan negara didapat. Dan pajak bukanlah satu-satunya instrumen yang digunakan. 

Islam juga memberikan gambaran yang jelas mengenai konsep pengelolaan keuangan negara, termasuk bagaimana memperlakukan individu-individu yang melanggar ketetapan syariah yang diterapkan. Dan ekonomi Islam tidak melulu berbicara tentang keharaman riba, tetapi lebih dari itu. Islam adalah konsep utuh akan sebuah sistem yang paripurna. Dan hanya akan nampak keadilan dan kesejahteraannya saat sistem politik yang digunakan juga berasal dari Islam, yakni sistem Khilafah. Lantas mengapa juga kita masih menolaknya? 

Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar