Empat rancangan peraturan daerah (raperda) terkait badan usaha milik daerah (BUMD) sepakat dikebut untuk dibahas oleh Badan Musyawarah (Bamus) DPRD DKI Jakarta mulai Juni 2021. Raperda tersebut akan dibahas Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta sepanjang Juni-Agustus 2021 (mediaindonesia.com, 2/6/2021).
Keempat raperda tersebut adalah Raperda Perubahan atas Perda Nomor 10 tahun 2018 tentang Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo, Raperda Perseroan Terbatas Jakarta Tourisindo, Raperda Perusahaan Umum Daerah Air Minum, dan Raperda Perusahaan Umum Daerah Air Limbah. Badan Pembina BUMD (BPBUMD) diminta segera menyiapkan bahan bahasan (mediaindonesia.com, 2/6/2021).
Dilansir dari laman Medcom.id, 2/6/2021, Wakil Ketua Bamus DPRD DKI Jakarta, Abdurrahman Suhaimi berharap raperda bisa segera selesai dibahas dan disahkan. Hal itu dilakukan agar BUMD dapat bekerja lebih optimal.
Miris, ditengah penanganan pandemi yang belum maksimal. Pemprov malah mendahulukan pembahasan raperda. Keputusan ini tentu menuai polemik. Mengingat, Pemprov harusnya fokus dan mengerahkan segala daya upaya termasuk dana untuk mengatasi Covid-19. Tentu, masyarakat umum hingga pengamat sangat menyayangkan rencana tersebut.
Jauh-jauh hari, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus menyampaikan bahwa dalam usulan Rencana Kinerja Tahunan (RKT) DPRD DKI Jakarta 2021 masuk anggaran sosialisasi peraturan daerah (perda) dan rancangan peraturan daerah (rapaerda). Menurut Lucius, usulan tersebut sia-sia dan merupakan pemborosan anggaran (Kompas.Com, 7/12/2020).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ongkos pembuatan aturan tidaklah murah. Dilansir dari laman Kompas.Com, 7/12/2020, tertulis bahwa dalam usulan RKT DPRD DKI Jakarta 2021, kegiatan sosialisasi rancangan perda sebesar Rp40.000.000 per bulan, sosialisasi Perda sebesar Rp160.000.000 per bulan, sosialisasi kebangsaan sebesar Rp80.000.000 per bulan dan Reses 960.000.000 per tahun.
Menurut Lucius, kegiatan sosialisasi perda atau raperda tersebut tidak harus disampaikan dengan metode tatap muka. Alasannya karena sosialisasi dengan bentuk pertemuan fisik tidak efektif dan tidak efisien. Apalagi, saat ini kurva positive rate penderita Covid-19 di Jakarta belum melandai.
Lagipula, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2020, tertulis bahwa dilarang memberi uang transportasi bagi masyarakat yang mengikuti kegiatan sosialisasi tersebut. Walaupun ternyata, yang terjadi di lapangan bahwa apabila tidak ada uang transport, kemungkinan peserta yang datang sedikit.
Senada dengan pendapat Lucius. Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia, Anwar Razak, sosialisasi raperda, perda dan nilai kebangsaan bisa dilakukan secara virtual untuk menghemat anggaran. Apalagi sebelumnya, anggota dewan mengusulkan kegiatan tersebut sebesar Rp297,5 miliar dan telah masuk APBD 2021. Anwar menduga, narasumber kegiatan itu adalah anggota dewan sendiri. Adapun anggaran honor kegiatan tersebut selama setahun adalah Rp5,34 miliar. Harusnya, lanjut Anwar, kalau memang demikian tidak perlu ada anggaran honor karena memang sudah tugas anggota dewan memberikan penyuluhan (koran.tempo.co, 4/12/2020).
Sangat disayangkan. Selain mubazir anggaran, regulasi yang terus menerus dikeluarkan Pemprov nyatanya tidak berdampak signifikan terhadap masyarakat. Kebijakan tersebut seolah hanya untuk memuluskan penanaman investasi di ibu kota. Regulasi disederhanakan karena merupakan salah satu elemen krusial yang menentukan baik-buruknya ekosistem investasi di negeri ini.
Seperti yang diwartakan laman liputan6.com, 18/2/2021, bahwa Dewan Pengurus Daerah Real Estate Indonesia (REI) DKI Jakarta merekomendasikan kepada DPP REI agar meninjau kembali peraturan perundangan baik di tingkat pusat maupun daerah yang menghambat investasi dan kemudahan dalam menjalankan usaha. REI berharap semua aturan dibuat lebih sederhana dan menarik investasi untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.
Perda yang dibuat juga seperti hanya untuk mem-back up pendanaan perusahaan daerah yang terus merugi. Contoh, setelah tercatat terus merugi sejak 2016, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akhirnya mencoba melakukan penyelamatan untuk PT Jakarta Tourisindo. Jaktour merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)-nya di bidang tourism, event, dan perhotelan (bisnis.com, 10/2/2020).
Kurun waktu 2006 hingga 2021 bukanlah waktu yang sebentar. Harusnya Pemprov bergerak cepat agar perusahaan daerah tidak kolaps. Jika memang sudah tidak bisa diselamatkan, jangan dibiarkan berlarut-larut. Alih-alih meraup keuntungan, dengan mempertahankannya justru membebani anggaran dan merugikan rakyat.
Sebenarnya, kemana pendapatan perusahaan daerah? Contoh PAM Jaya. Dikutip dari laman dprd-dkijakartaprov.go.id, 24/3/2021, pada tahun 2019, setelah diaudit tercatat laba bersih PAM Jaya sebesar Rp327,23 miliar. Namun, mengapa warga DKI Jakarta masih mengeluhkan biaya air bersih mahal? Mengapa masih ada warga DKI Jakarta yang sulit mengakses air bersih? Jadi, apa urgensi dibuat Raperda?
Dari penjabaran di atas, hiper regulasi sangat merugikan. Kalaupun ada manfaatnya, tetapi bukan untuk rakyat. Aturan tersebut bukan hanya menimbulkan over budget dalam pembuatan, pembahasan, maupun pelaksanaannya.
Justru dengan banyaknya aturan, bahkan banyak yang saling tumpang tindih. Pemerintah menjadikan rakyatnya sebagai sumber pendapatan negara. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator semata. Bukan sebagai pelindung, pembimbing dan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi warga negaranya.
Namun, wajar. Karena, dalam sistem demokrasi kapitalisme rakyat kerap menjadi korban. Jahatnya, mereka diminta untuk menyelesaikan sendiri permasalahan kesejahteraan hidupnya. Padahal, kesusahan rakyat didapat lantaran aturan pemerintah yang salah dan zalim.
Terbukti, tidak ada satu pun aturan manusia yang tidak bermasalah. Sesungguhnya inilah biang keladi yang membuat manusia selalu hidup dalam kesengsaraan. Pastinya, semua permasalahan manusia lahir tersebab mencampakkan hukum Allah Swt. dan seenaknya mengganti dengan hukum buatan manusia yang serba lemah. Walhasil, regulasi yang dibuat manusia terbukti lemah dan berdampak pada kerugian keuangan daerah maupun pusat secara permanen.
Oleh karena itu, solusinya adalah kita harus kembali pada hukum Allah Swt. yakni Al Quran dan assunnah sebagai pemutus segala persoalan hidup manusia baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, wallahualam bishawab.
Oleh Anggun Permatasari
0 Komentar