Relasi Kuasa Politik dengan Praktik Kecurangan dalam Pemilu



Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 masih tiga tahun lagi. Namun demikian, Ketua Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI), Abhan, meminta jajaran Bawaslu di tingkat daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, untuk bersiap menghadapi kompleksitas Pemilu 2024.

Di antara bentuk kesiapan menghadapi kompleksitas Pemilu dan Pilkada 2024 dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di jajaran Bawaslu. Selain itu, meningkatkan peran masyarakat agar semakin aktif dalam partisipasi pengawasan pemilu dan pilkada sehingga pemilu jujur dan adil, aman serta berkualitas semakin tercipta.

Berdasarkan pelaksanaan pemilu dan pilkada sebelumnya tingkat partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan masih kurang dan harus terus dipacu.Salah satu indikatornya dalam tahapan pemilu dan pilkada lebih banyak temuan Bawaslu langsung dari pada laporan masyarakat," kata Abhan, (Merdeka.com, 2/6/2021).

Selain meningkatkan peran masyarakat agar aktif berpartisipasi dalam pengawasan pemilu dan pilkada, Bawaslu juga mendirikan sekolah kader pengawasan partisipasif untuk mengurangi kecurangan selama pelakasanaan pemilu dan pilkada nantinya. 

Pengamat politik LIPI Siti Zuhro berpendapat, tidak realistis jika memaksakan pemilu nasional dan pilkada dilakukan serentak pada 2024. Pemilu dan pilkada tak seharusnya disatukan menjadi pemilu borongan 2024. Mengapa? Selain hal itu tidak realistis, juga terkesan trial and error yang tak mempertimbangkan dampak-dampak negatif pemilu serentak 2019 dan pilkada serentak yang digelar sejak 2015,” ujar Siti, (Beritasatu.com, 7/2/2021). 

Nampaknya penyelenggara pemilu dan stakeholder terdesak untuk melaksanakan pemilihan serentak pada 2024. Bukankah Bawaslu sendiri, mengalami kegamangan dengan menyebut bahwa masalah pemilu amat kompleks? Bahkan Bawaslu menyatakan bahwa partisipasi yang rendah dari masyarakat diklaim sebagai pemicu munculnya kecurangan selama proses pemilu.

Namun, pernyataan Bawaslu bertentangan dengan hasil survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terkini menunjukkan makin banyak masyarakat takut bicara masalah politik dan takut karena penangkapan semena-mena aparat penegak hukum.

Survei menunjukkan bahwa sekitar 39% warga menyatakan masyarakat sering atau selalu takut bicara masalah politik, dan 32% menyatakan masyarakat takut karena penangkapan semena-mena aparat hukum. "Walau tidak mayoritas, tapi kita perlu peduli karena angka ini menunjukkan peningkatan dari waktu-waktu sebelumnya," kata Manajer Program SMRC, Saidiman Ahmad, dalam keterangan tertulis di Jakarta (wartaekonomi.co.id, 6/4/2021). 

Maka mengharapkan partisipasi masyakatat pada pemilu dihadang oleh ketakutan untuk berhadapan dengan aparat hukum. Namun, kecurangan bukan Karena minimnya partisipasi mayrakat tetapi menurut Jeirry Sumampouw, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, kecurangan di sini dalam konteks saat proses rekapitulasi suara, manipulasi data dan angka memang muskil dan melibatkan penyelenggara pemilu, (tirto.id, 26/4/2019)

Menanggapi ini, Direktur Ekesekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo mengatakan Pelaksanaan pemilu dan sejumlah hambatan seperti money politic itu juga harus dicegah. Terkait dengan initimidasi dalam pelaksanaan pemilu juga harus dicegah dan kongkalikong antara penyelenggara pemilu dengan kontestan itu juga harus dihindari," ujar Karyono (dw.com, 4/2/2021).

Berdasarkan rentetan kecurangan dalam pemilu dan pilkada yang diutarakan diatas, maka ditemukan empat poin penting, mengapa pemilu selama ini hanya menghasilkan persekongkolan politik dengan perilaku manipulatif dengan hampir keseluruhan stakeholder berkomplot untuk melakukan malapraktik.

Pertama, kuatnya relasi patronasi di antara para penyelenggara pemilu, calon legislatif (caleg) dan pemilih. Relasi yang terbangun ini melibatkan hal-hal material dan non-material sebagai bahan transaksi di antara para aktor tersebut. Aspek material adalah biaya politik; sementara non-material berupa hubungan yang bersifat sosial dan kultural yang disebabkan karena kekerabatan ataupun hubungan kedekatan secara personal. 

Sebuah riset tentang kecurangan pemilu oleh Sarah Birch, profesor ilmu politik di King’s College London, Inggris, menjelaskan malapraktik pemilu merupakan tindakan manipulasi untuk mengganggu proses dan hasil pemilu sehingga kepentingan publik digantikan oleh kepentingan pribadi atau kelompok yang mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut, (theconversation.com). 

Kedua, sistem pemilu yang ada mendorong caleg menghalalkan segala cara untuk menang. Sistem pemilu legislatif Indonesia adalah open list proporsional representation, yaitu seorang caleg dapat terpilih karena mendapatkan suara terbanyak dalam daftar terbuka di partainya. 

Sistem ini mendorong para caleg berlomba-lomba mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Salah satu akibatnya, kompetisi para caleg di internal partai sangat ketat dan keras. Caleg yang merasa punya potensi kemenangan besar akan melakukan manipulasi suara dengan penggelembungan ataupun pengurangan suara dari lawannya sesama partai, ketimbang lawan dari partai lain.

Ketiga, tidak adanya penegakan hukum meski pelanggaran dalam pemilu dan pilkada nyata di depan mata. Secara normatif, hukum merepresentasikan garis batas dan hubung dalam kelola kekuasaan, baik di aras negara maupun masyarakat. Melalui hukum, kekuasaan demokratis itu diabsahkan. Karena itu hukum dipercaya sebagai salah satu instrumen pokok untuk mengatasi sengketa, agar tercapai keadilan.

Namun, publik terlalu mudah menunjukkan fakta dan praktik-praktik kebobrokan hukum yang justru itu bersumber dari perilaku buruk aparat penegak hukum. Alih-alih menjadi penegak, justru yang terjadi meruntuhkan hukum itu sendiri. 

Bangunan demokrasi begitu rentan, dan bisa saja setiap saat roboh jika diterpa gelombang pasang krisis ekonomi dan politik. Atau peristiwa-peristiwa yang memiliki tekanan yang lebih besar dibanding kekuatan bangunan sehingga dapat saja meluluhlantakkan demokrasi Indonesia.

Sebegitu besarnya otoritas atau kuasa politik yang digenggamnya di dalam mengoperasikan kewenangannya tentu harus diimbangi komitmen membangun etika berpolitik, kemampuan organisasi dalam mencetak pemimpin, serta ketrampilan mengolah aspirasi rakyat menjadi kebijakan. Tujuannya agar parpol sebagai pilar demokrasi kompatibel dengan tugas dan fungsinya menjalankan sistem bernegara, (tirto.co.id, 23/6/2016).

Edward Aspinall, profesor politik di Australian National University Australia, menjelaskan bahwa jual beli suara (vote buying) yang terjadi di banyak lokasi di Indonesia disebabkan oleh ikatan-ikatan yang terjalin antara caleg dan kelompok pemilih. Demikian juga melalui relasi dan kedekatan antara caleg dengan para penyelenggara pemilu.

Bawaslu yang seharusnya mampu ambil tindakan pun tak bisa banyak berbuat. Ini ironi yang luar biasa, orang yakin sekali pemilu kita banyak kecurangan, masih banyak praktik-praktik money politics, tapi hampir tidak ada mereka didiskualifikasi karena faktor-faktor tersebut.

Kalau pun ada, mata rantai penegakan hukum pemilu harus dipangkas supaya tidak terlalu panjang dan berbelit. Sebab, jika sistem penegakan hukum terlalu panjang, justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. 

Keempat, peran Partai politik (parpol) misalnya. Parpol makin dirusak oleh ulah politisinya yang terjerat skandal korupsi-kekuasaan demi biaya politik dan memperkaya diri. Akibatnya, parpol diidentikkan dengan keculasan.

Parpol seharusnya menjadi pilar yang menopang tegaknya demokrasi dan bernegara, namun justru ikut memproduksi dan menggerogoti prinsip kejujuran dan keadilan dengan melanggengkan praktik money politik untuh meraup suara terbanyak dan dukungan publik.

Inilah fakta yang selama ini terjadi dalam iklim demokrasi yang diusung rezim. Demokrasi yang memediasi terjadinya praktik kecurangan tidak lagi bisa dibantah. Pemilihan yang dilandasi nafsu berkuasa akan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan dan untuk melanggengkan dominasinya. Pertanyaanya, masihkan rakyat mau menaruh kepercayaan pada sistem yang “katanya” demokratis? 

Demokrasi yang mengadalkan power sharing justru memberi peluang untuk berkomplot memenangkan pemilu dengan segala cara, maka wajar, kecurangan tidak akan pernah berakhir. Sedangkan pemilihan pemimpin dalam Islam merupakan amanah (maka seorang khalifah yang telah dibaiat oleh perwakilan majelis umat tidak mungkin menzalimi rakyatnya, bahkan seekor semut pun khawatir dianiaya). Dan yang lebih penting lagi, proses pemilihan hanya memerlukan biaya kecil. Bagaimana dengan cost pemilu dalam demokrasi? 


Oleh Rabihah Pananrangi




Posting Komentar

0 Komentar