Pandemi Covid-19 di Indonesia masih mengkhawatirkan. Sejauh ini belum tampak penurunan dari kasus yang ada. Hal tersebut juga dapat dilihat dari banyaknya penambahan kasus harian, angka kematian, dan jumlah pasien dirawat di rumah sakit rujukan yang semakin meningkat selama beberapa hari terakhir ini.
Padahal pemerintah telah memberlakukan berbagai kebijakan guna mencegah sekaligus menanggulangi peningkatan covid-19, mulai dari vaksinasi, larangan mudik, anjuran penerapan 5M. Namun sayangnya adanya anggapan inkonsistensi pemerintah sekaligus kurangnya teladan dari pemerintah dianggap sebagai faktor yang membuat masyarakat tak percaya sepenuhnya terhadap pemerintah dalam menangani pandemi. Lantas bagaimana pendapat pengamat terkait ini? Berikut tanya-jawab yang Muslimah Jakarta lakukan dengan dr. Nitami Asmawi, Sp.PD, Dokter Ahli Penyakit Dalam, sekaligus penggiat dakwah Islam.
Tanya: Apa tanggapan ibu melihat wabah yang belum usai dan kali ini justru semakin meningkat?
Jawab: Saya sungguh sangat prihatin dan sedih dengan kondisi ini. Karena saya melihat sendiri di lapangan bahwa peningkatan kasusnya begitu nyata. Dan angka kematiannya lebih tinggi dari lonjakan kasus sebelumnya, kali ini benar-benar kondisi pasien bisa perburukan secara cepat, baik itu tua atau muda, kondisi sehat ataupun ada penyakit penyerta sebelumnya.
Tanya: Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap fenomena ini?
Jawab: Menurut saya, masyarakat dan pemerintah keduanya bertanggung jawab terhadap terjadinya Fenomena Lonjakan Kasus COVID-19 saat ini. Masyarakat bertanggung jawab untuk menerapkan protokol kesehatan atau penerapan 3M (Memakai Masker, Menjaga Jarak Aman, dan Mencuci Tangan), namun hal ini tidak diterapkan dengan baik karena masyarakat banyak terpengaruh dengan berita HOAX dan juga termakan Teori Konspirasi. Sementara pemerintah bertanggung jawab untuk 3T (Testing, Tracing, dan Treatment) yang mana hal ini pun tidak berjalan dengan baik akibat kebijakan yang simpang-siur sejak awal. Ketidaktegasan pemerintah ini pun yang menyumbang pada kehilangan-kepercayaan dari masyarakat, yang pada akhirnya membuat mereka abai dalam menjalankan protokol kesehatan.
Tanya: Kenapa hal ini bisa terjadi, padahal sebelumnya sudah ada program vaksinasi yang digalangkan oleh pemerintah?
Jawab: Adanya lonjakan kasus COVID-19 paska Vaksinasi ini, menimbulkan anggapan dan asumsi yang salah dan fatal di masyarakat, yaitu adanya anggapan bahwa virus pada Vaksin itu sendirilah yang menyebabkan orang terinfeksi COVID-19. Hal ini saya jumpai dan dengarkan langsung di lapangan, ketika ada pasien saya yang menunjukkan gejala COVID dan dia baru saja divaksin. Dia sempat menyalahkan Vaksin yang menjadi penyebabnya. Padahal ketika saya analisa lebih lanjut, pasien tersebut sudah terpapar Virus SARS-Cov-2 dari teman sekantornya yang diketahui positif, beberapa hari sebelum Vaksinasi. Hal ini menandakan Edukasi masyarakat terkait Vaksin belum dipahami.
Penyebab lainnya, adalah adanya ‘Euforia Vaksin’ di masyarakat yang merasa telah ‘kebal’ terhadap COVID-19 setelah dilakukan Vaksinasi, sehingga abai dalam menerapkan Protokol Kesehatan. Saya benar-benar melihat buktinya langsung di masyarakat, ketika beberapa bulan sebelum lonjakan kasus terjadi setelah dimulainya program Vaksinasi, mulai terdapat banyak yang tidak memakai masker ketika keluar rumah dan mulai ramai berkumpul melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko.
Adanya anggapan-anggapan ini berarti edukasi tentang Vaksin benar-benar tidak sampai ke masyarakat, dan ini menjadi tanggung jawab pemerintah mengapa bisa terjadi.
Sedikit saya luruskan pada kesempatan ini tentang Vaksin.
Vaksin yang digunakan di Indonesia berisi virus yang sudah mati (inaktif) atau bahkan hanya ‘partikel’ bagian virus saja. Sehingga sangat tidak mungkin menyebabkan seseorang ‘terinfeksi’ COVID-19, sebab virusnya sudah mati. Virus mati tidak akan hidup kembali dan menginfeksi, selemah apapun kondisi imun pasien.
Lalu mengapa ada orang yang positif COVID-19 setelah Vaksin?
Hal ini berarti orang tersebut sudah terpapar sebelum Vaksin, atau sudah Vaksin namun kekebalan atau imun belum terbentuk. Efek protektif Vaksin itu bukan mencegah orang terinfeksi, melainkan mencegah orang jatuh ke derajat sakit yang parah ketika misalnya terinfeksi. Jadi, adanya Vaksinasi tidak serta merta menurunkan angka penularan COVID-19.
Sementara itu, ‘terkena atau tidaknya’ seseorang dengan COVID-19, yang paling menentukan adalah dipatuhi atau tidaknya Protokol Kesehatan. Karena perlu diketahui, dalam teori The Triangle of Disease dijelaskan bahwa ada 3 aspek yang mempengaruhi seseorang terkena penyakit Infeksi yaitu Host atau manusianya yang dalam hal ini dipengaruhi oleh Vaksin, Agent atau virusnya yang semakin hari sudah bermutasi, serta aspek Environtment atau lingkungan yang dalam hal ini penerapan Protokol Kesehatan memegang pengaruh penting.
Jadi, ketika melihat masyarakat sudah banyak jenuh dan bosan menerapkan protokol kesehatan, lonjakan kasus seperti sekarang sudah dapat diprediksi.
Tanya: Bagaimana menurut ibu terkait keteladanan dan konsistensi pemerintah dalam menaggulangi wabah saat ini?
Jawab: Kinerja pemerintah dalam hal keteladanan dan konsistensi penanggulangan wabah, dinilai masyarakat masih sangat jauh dari harapan. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas yang dipublikasi di media pada bulan Maret 2021, hanya terdapat 58.9% masyarakat yang puas terhadap kinerja pemerintah atasi pandemi. Walaupun sudah lebih dari 50 persen, namun ini artinya hampir setengah dari penduduk Indonesia tidak puas dan telah kehilangan kepercayaannya pada pemerintah dalam hal penanganan pandemi. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, kita melihat banyak sekali kebijakan yang simpang-siur dan tidak sesuai pada eksekusinya. Hal ini menjadi tantangan dalam edukasi untuk menekan mata rantai penularan virus.
Saya ambil satu contoh: saat awal pandemi ketika negara-negara di dunia langsung memberlakukan lockdown untuk mencegah penyebaran COVID-19 dari titik episentrum awal, pemerintah hanya menerapkan PSBB dan berbagai macam istilah pembatasan pergerakan lain yang cukup membingungkan masyarakat. PSBB ini pun pada pelaksanaanya masih banyak celah pelanggaran yang tidak hanya dilakukan masyarakat namun juga kebijakan instansi pemerintah yang lain. Masih terekam jelas di pemberitaan, ketika PSBB diberlakukan namun ada banyak WNA dari China yang bisa masuk ke Indonesia. Ketika PSBB diterapkan, namun kebutuhan hidup rakyat tidak dipenuhi bahkan bantuan sosial pun dikorupsi, hal ini sungguh sangat melukai dan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam keseriusan penanganan pandemi.
Selain itu, yang saya rasakan sendiri, ketersediaan APD bagi tenaga medis, pengaturan zonasi pasien COVID-19 dan penjagaan ruang Isolasi masih sangat kurang dipahami di lapangan sehingga jauh dari standar pelayanan. Di sini seharusnya pemerintah melalui intansi terkait, diharapkan dapat melihat kenyataan langsung di lapangan, di berbagai daerah bukan hanya di pusat saja, agar monitoring dari kebijakan itu dapat dievaluasi.
Tanya: Apakah sikap lalai dan inkonsiatensi yang dilakukan pemerintah justru membuat kepercayaan umat berkurang thp pemerintah?
Jawab: Tentu saja, hal itu sangat berkorelasi. Dalam lingkup bernegara, tentu pemerintah yang bertanggungjawab terhadap warga negaranya. Ketika yang kita percaya, nyatanya melakukan banyak hal yang tidak sesuai dengan kewajiban yang seharusnya, tentu akan menyebabkan hilang kepercayaan. Walaupun tanggung jawab utama ada di pemerintah, bukan berarti masyarakat tidak memiliki andil untuk menanggulangi pandemi ini. Kita sebagai masyarakat dan tenaga medis harus juga memberikan best effort sesuai kapasitas kita.
Tanya: Adakah solusi tepat yang lebih solutif utk mengatasi wabah covid di negeri ini?
Jawab: Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, sudah seharusnya mulai berkaca pada aturan agama kita sebagai solusi bagi segala problematika kehidupan. Kita perlu ingat kembali bahwa wabah yang sejenis ini pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW dan juga pada masa kekhilafahan sesudahnya. Jadi kita harus jadikan hal tersebut sebagai acuan kita dalam menangani pandemi, mulai dari menjaga kebersihan, melakukan isolasi wilayah penduduk yang terkena wabah, hingga menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai. Dan semua itu terbukti berhasil dalam menjaga kelangsungan hidup umat.
Tanya: Bagaimana Islam mengatasi wabah?
Jawab: Berbicara solusi islam tentu kita harus mencontoh pada tauladan kita sepanjang hayat yaitu Rasulullah SAW. Pada masa Rasulullah pernah terjadi wabah tha’un yang sangat menular. Atas hal tersebut, beliau memerintahkan kepada umat islam untuk tidak memasuki wilayah yang terkena wabah, begitu juga bagi yang terkena wabah untuk tidak keluar dari wilayahnya, semua harus mencegah diri agar tidak terjadi ledakan jumlah yang tertular. Hal ini juga pernah terjadi di masa kekhilafahan sesudah Rasulullah wafat, yang penanganannya hampir sama.
Kemudian di masa-masa berikutnya juga dikembangkan penelitian terkait dengan penyakit infeksi yang merupakan biang keladi adanya wabah. Sejarah membuktikan bahwa ilmuwan Muslim adalah pelopornya. Sekitar tahun 1020M di masa kejayaan dunia Islam, Ibnu Sina yang mendapat julukan “Bapak Kedokteran Modern Dunia” dalam bukunya The Canon of Medicine telah menjelaskan konsep penting seperti konsep penularan dari penyakit Tuberkulosis dan Penyakit Menular Seksual, penyebaran penyakit melalui air dan tanah, memperkenalkan metode Karantina dalam membatasi penyebaran penyakit menular, serta menjelaskan tentang analisa Faktor Risiko.
Pada abad ke-14 wabah yang dikenal dengan The Black Death bubonic plague menyerang Andalusia, dokter muslim bernama Ibnu Khatima menemukan bahwa penyakit infeksi tersebut disebabkan oleh ‘mikro-organisme’ yang masuk ke dalam tubuh manusia. Masih di abad ke-14, dokter muslim keturunan Andalusia-Arab bernama Ibn Al-Khatib (1313-1374) menulis sebuah jurnal berjudul “On the Plague” yang menjelaskan tentang bagaimana penyakit infeksi dapat ditrasnmisikan melalui kontak tubuh atau pakaian, pembuluh darah, dan telinga. Tulisan tersebut menjelaskan secara detail penanganan wabah yang kemudian dipakai dalam ilmu kedokteran modern.
Berdasarkan hal tersebut, maka kita dapat mengambil pelajaran bahwa selain melakukan treatment pemulihan penyakit infeksi, yang lebih penting adalah melakukan pembatasan pergerakan orang yang terinfeksi dengan melakukan karantina. Karena itu sangat penting keseriusan dalam melakukan Testing, Tracing, dan Treatment.
Tanya: Wajarkah jika ummat menginginkan Islam sebagai solusi untuk mengakhiri pandemi?
Jawab: Bukan hanya wajar, namun sudah menjadi keharusan kita sebagai umat muslim untuk menerapkan Islam sebagai solusi dalam menangani pandemi ini.
Harus dimulai dari diri sendiri dan didukung pemerintah sebagai pemegang tanggung jawab dan pemegang kebijakan. Dalam islam, tugas pemerintah adalah melakukan ri’ayah atau mengurusi urusan umat mulai dari kebutuhan kesehatan hingga kebutuhan pokok sehari-hari. Dalam bidang kesehatan, sudah seharusnya dilakukan penguatan dalam penyediaan fasilitas dan obat-obatan dalam penanganan wabah, serta dorongan dan motivasi kepada tenaga kesehatan untuk penanganan pandemi secara profesional, terproteksi, dan mengikuti sains.
Di sisi masyarakat, perlu adanya penguatan dalam edukasi disertai dengan teladan yang baik, sehingga masyarakat percaya dan tidak terombang-ambing oleh isu liar yang tidak bertanggung jawab yang menganggap sepele soal penyebaran virus COVID-19. Dimulai dari diri sendiri, contohnya adalah dengan membiasakan untuk menggali infomasi yang benar sebelum berbicara, terlebih buat siapapun pejabat publik. Kita harus menggali informasi seputar pandemi dari sumber yang terpercaya agar tidak terjebak dengan fitnah konspirasi tentang COVID-19. Islam mengajarkan kita bahwa setiap sumber hukum (dalil) yang dipakai sebagai panduan haruslah jelas dan benar referensinya. Apalagi islam sangat mendukung perkembangan sains, maka apapun harus benar-benar kita perhatikan. Dalam perkara hadist saja, kita harus melihat siapa yang meriwayatkan, bagaimana hafalan periwayatnya, bagaimana akhlak periwayatnya apakah pernah melakukan kebohongan atau tidak. Sedetail itu kita diminta meneliti setiap sumber yang kita jadikan pedoman. Begitu juga soal pandemi ini, kita harus benar-benar saring informasi sebelum sharing atau berbagi. Jika hal ini diterapkan, tentu berita-berita HOAX seputar COVID-19 tidak akan dipercaya oleh masyarakat.
Selain itu, Rasulullah juga mengajarkan kepada kita untuk menyerahkan segala sesuatu kepada ahlinya. Saat ini yang terjadi, masyarakat sudah tidak bertanya kepada ahlinya namun lebih mempercayai berita yang belum jelas referensinya di media sosial. Masyarakat bahkan sudah tidak percaya dengan portal informasi resmi dari pemerintah, akibat sudah hilangnya kepercayaan tadi.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya umat islam indonesia menginginkan solusi menurut Islam sebagai upaya untuk mengakhiri pandemi.
0 Komentar