Teror Wacana Pajak di Tengah Pandemi




Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitu kiranya kondisi masyarakat negeri ini. Sudahlah hidup dalam keadaan tak menentu akibat pandemi, pemerintah justru berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap beberapa komoditi vital. 


Salah satu komoditi yang akan dikenakan pajak tersebut adalah sembako. 

Rencana itu tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi adalah jenis sembako yang bakal dikenakan PPN.  


Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan menilai, rencana pemerintah tersebut justru akan menimbulkan polemik. Ia khawatir rencana itu malah akan berdampak buruk karena situasi perekonomian belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19. (Nasional.kompas.com, 10/06/2021)


Tak ketinggalan para pedagang sembako di Pasar Baru, Bekasi pun ikut merespons wacana kontroversial tersebut. Kebanyakan dari mereka merasa keberatan. 


Mereka khawatir kondisi penjualannya semakin merosot, karena tentunya harga beli barang semakin naik. Mau tidak mau mereka harus menaikkan harga jual. Resikonya tentu akan banyak pelanggan yang meninggalkan lapak mereka. 


Tak habis pikir dengan setiap kebijakan penguasa hari ini. Bagaimana mungkin sembako yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat akan dikenakan pajak? Tanpa pajak saja, masyarakat sudah pontang-panting untuk bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. 


Lantas apa jadinya jika pajak yang rencananya juga dinaikkan menjadi 12% itu betul-betul diberlakukan atas sembako? 

Tentu ini akan membuat kehidupan rakyat semakin sulit. Di bawah bayang-bayang ancaman corona yang semakin menggila, mereka harus terus berjuang memenuhi kebutuhan yang semakin tak terbeli. 


Sangat wajar jika masyarakat menilai bahwa negeri ini betul-betul telah bangkrut. Untuk menambal defisit anggaran belanja, negara harus menggenjot pendapatan lewat pajak. Sedangkan kita tahu betapa banyak sumber daya alam yang dimiliki bumi Nusantara ini. 


Semua itu justru dikuasai oleh para pemilik modal baik asing maupun aseng. Di sisi lain, kasus korupsi menggurita bahkan ketika negeri ini menghadapi pandemi. 

Sungguh, rezim ini telah gagal mengemban amanahnya mengelola negara. 


Para pemangku kebijakan seolah melepas tanggung jawabnya untuk mengurusi kebutuhan rakyat. Bahkan keselamatan jiwa rakyat terabaikan dengan kebijakan plin-plan dalam mengatasi pandemi.


Pajak bukan solusi untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang membelit negeri. Wacana pajak ini justru akan menjadi teror bagi rakyat yang kehidupannya semakin melarat. Kecemasan akan membayangi, akankah kebutuhan hidup tercukupi? 


Beginilah sistem sekuler-kapitalis yang meniscayakan pajak sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara. Ketika anggaran tak mencukupi, maka banyak hal yang akhirnya dijadikan objek pajak oleh penguasa. Semakin banyak pajak yang dipungut penguasa, itu artinya negara tersebut di ambang pintu kehancuran. 


Berbeda dengan Islam. Pajak atau daribah sifatnya tidak tetap. Ia hanya diberlakukan ketika Baitul mal sedang kosong atau kondisi darurat saja. Sedangkan penarikannya pun hanya untuk muslim yang mampu (kaya) tidak untuk semua kalangan. 


Definisi mampu atau kaya juga bukan berdasarkan pendapatan per bulan. Mampu ketika terdapat kelebihan harta yang dimiliki setelah dikurangi dengan seluruh beban kebutuhannya. Masyaallah. Jadi, hanya orang-orang tertentu saja yang akan dikenakan pajak. 


Lantas dari mana sumber pendapatan negara? Di dalam Islam harta kekayaan negara dikelola di Baitul mal. Ada beberapa pos pemasukan untuk Baitul mal. Di antaranya ada yang bersifat tetap dan tidak tetap. Pos tetap antara lain (1) Fai (anfal, ganimah, khumus); (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; dan (9) Harta orang murtad. Sedangkan yang tidak tetap adalah daribah yang sudah disebutkan di atas.


Dengan demikian akan ada banyak  sumber pendapatan negara untuk mengurusi urusan umat. 


Negara akan  hadir dengan sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya dengan ketaqwaan. Dia akan memastikan bahwa seluruh kebutuhan umat terpenuhi. Dan penguasa seperti ini hanya lahir dari sistem Sang Pencipta bukan akal manusia yang serba terbatas. Sistem apalagi kalau bukan Islam. 

Wallahu’alam bishowab. 


Oleh Susi Ummu Zhafira (Ibu Pegiat Literasi)

Posting Komentar

0 Komentar