Tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menjadi polemik hingga hari ini. Tes tersebut merupakan asesmen dalam proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Meskipun polemik terus bergulir, pelantikan pegawai KPK yang dinyatakan lolos TWK tetap dilangsungkan. Dari 1.349 pegawai KPK yang mengikuti TWK, 75 pegawai dinyatakan tidak lolos. 75 pegawai yang tak lolos itu, 51 pegawai diberhentikan dan 24 pegawai akan dibina kembali.
Kini Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri resmi melantik 1.271 pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (1/6). Angka itu merupakan jumlah pegawai yang dinyatakan lolos melalui tes wawasan kebangsaan (TWK) alih status menjadi ASN. Prosesi pada akhirnya digelar juga setelah sempat diwarnai solidaritas lebih 600 pegawai yang meminta pelantikan ditunda di tengah polemik TWK. (cnnindonesia.com, 01/06/2021)
Padahal sampai hari ini, isi soal TWK KPK masih menjadi sorotan publik. Walaupun hasil dari tes TWK KPK beberapa hari yang lalu telah meloloskan 700 pegawai yang kini diangkat sebagai ASN. Masih banyak publik yang mempermasalahkan isi soal tes TWK KPK, karena pertanyaan dalam tes wawasan kebangsaan sempat bocor dan menjadi kontroversi di media sosial. Banyak yang mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam TWK dinilai tidak punya korelasi dengan wawasan kebangsaan.
Pewawancara melayangkan pertanyaan pilihan kepada pegawai KPK untuk memilih Al-Qur’an atau Pancasila. “Seolah-olah Al-Qur’an dan Pancasila tidak bisa berjalan beriringan,” ujar Tri Artining Putri dalam diskusi daring bertajuk: 'Mengurai Kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Minggu (30/5/2021). Selain itu, juga ada pertanyaan, lanjut dia, apakah bersedia atau tidak membuka hijab demi bangsa dan negara. (Tribunnews.com, 29/05/2021)
Belum reda polemik isi soal TWK KPK, muncul pula gagasan dari Kementerian Agama (Kemenag) yang berencana menggelar sertifikasi wawasan kebangsaan untuk para pendakwah. Sertifikasi ini merupakan bagian dari program moderasi beragama. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan para pendakwah akan mengikuti bimbingan teknis (bimtek) terlebih dahulu. Setelah lulus, mereka akan mendapat sertifikat dari pemerintah. "Diharapkan para dai yang sudah terbina akan bertambah wawasan serta kompetensi keilmuannya dan memiliki integritas kebangsaan yang tinggi," kata Yaqut dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama, Senin (31/5). (cnnindonesia.com, 02/06/2021)
Fenomena ini seperti mengonfirmasi bahwa pemerintah menjadikan wawasan kebangsaan untuk menutupi kegagalan dalam mengelola persoalan ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya, khususnya permasalahan korupsi yang semakin menggurita dan juga penanggulangan pendemi Covid-19 yang semakin buruk. Jelas sudah, atas dalih wawasan kebangsaan, para pejuang anti korupsi ramai-ramai disingkirkan. Apakah pendakwah akan menjadi sasaran berikutnya? Apakah atas nama wawasan kebangsaan akan membersihkan orang-orang yang ‘bersih’ di seluruh aspek kehidupan berbangsa di negeri ini?
Di Balik Massifnya Pengarusan Wawasan Kebangsaan
KPK mengatakan bahwa TWK dilakukan guna mengukur penguatan integritas dan netralitas ASN. Akan tetapi, dalam tes tersebut muncul sejumlah soal yang dinilai aneh lantaran tidak berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi. Seolah tes wawasan kebangsaan dilayangkan untuk menguatkan ideologi bangsa, namun yang terlihat justru semakin menyudutkan agama (Islam), bahkan tidak lolosnya 75 pegawai semakin menegaskan bahwa pemerintah mengganggap mereka tidak memiliki wawasan kebangsaan, tidak memiliki sikap toleransi dan menolak pluralisme. Tampaknya, pegawai KPK harus bersih dari pemahaman agama yang diklaim ‘radikal’. Radikalisme sendiri masih didefinisikan secara sepihak oleh pemerintah berdasarkan keiinginan dan kepentingan mereka.
Gencarnya arus wawasan kebangsaan ini sejalan dengan arus moderasi beragama. Tujuannya pun sama-sama untuk menjaga kebhinekaan dan diperlukan untuk membendung tantangan yang datang dari kelompok radikal. Bahasa mudahnya adalah mengarahkan pada pembentukan kepribadian yang moderat dan mengasah karakter keindonesiaan.
Sementara itu, perjuangan politik Islam dan kesadaran umat Islam untuk mengembalikan Islam sebagai solusi kehidupan menjadi kewaspadaan utama bagi Barat dan anteknya di Indonesia. TWK pun pada akhirnya di-design untuk memetakan umat Islam, mana yang kawan atau lawan dari rezim, mana yang prorezim dan yang kritis terhadap kebijakan rezim. Pada akhirnya Islam pun akan berubah menjadi agama ruhiyah saja, lalu dihilangkan sisi politisnya sebagai solusi seluruh aspek kehidupan termasuk dalam mengatur rakyat.
Bahaya Moderasi Islam dalam Wawasan Kebangsaan
Agenda moderasi Islam sudah diaruskan sejak lama, di level global sampai level dalam negeri. Moderasi Islam di level dalam negeri diaruskan melalui moderasi beragama dan dikuatkan dengan wawasan kebangsaan. Moderasi Islam dianggap bisa menghadirkan wajah baru Islam yang lebih toleran dan pemahaman Islam dengan rasa baru yakni secara moderat.
Pada laporan penelitian RAND Corporation (lembaga milik AS) berjudul ‘Building Moslem Moderate Network’ dan disebarkan ke seluruh dunia Islam bahwa moderat yang dimaksud adalah tidak menolak paham-paham dari Barat termasuk toleransi beragama. (suaranasional.com, 28/10/2018). Artinya, menjadi Muslim tidak perlu berislam secara sempurna tetapi harus terbuka dengan mengakui keyakinan agama lain dan nilai-nilai dari luar, meski bertentangan dengan syariat. Hal ini tampak jelas pada TWK KPK.
TWK jauh dari pemahaman wawasan kebangsaan itu sendiri, bahkan setiap pertanyan justru mengarahkan pada pemahaman sekularisme dan liberalisme. Muslim digiring untuk menyatakan identitasnya sebagai Muslim moderat. Semoderat apa dia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Apakah loyalitasnya pada agama mengalahkan loyalitasnya pada negara? Apakah Islam dijadikan sebagai ibadah ritual saja, ataukah sebagai pengatur kehidupan secara totalitas? Narasi ini berbahaya, bisa berakibat pada pendangkalan akidah, pelemahan keagungan Islam, serta menjauhkan umat Muslim dari agamanya sendiri. Bahkan, memicu perpecahan kaum Muslimin. Maka, lambat laun umat Muslim tidak akan lagi bangga dengan agamanya dan identitasnya sebagai seorang Muslim.
Moderasi Islam merupakan upaya untuk menjadikan Islam yang pertengahan bukan ketaatan secara total kepada Allah SWT, Islam yang tidak kaku dan dapat disesuaikan zaman. Padahal, Islam adalah satu-satunya agama sekaligus pedoman hidup yang jika diterapkan secara sempurna akan terwujud kesejahteraan dan keberkahan bagi seluruh makhluk.
Sementara itu, perlu diketahui makna umat ‘wasath’ dalam tafsir Al Qurthubi bermakna adil, dalam tafsir Ibnu Katsir maknanya adalah terbaik. Bukan diartikan sebagai sikap kompromistik, jalan tengah, atau moderat dengan mengambil nilai-nilai lain di luar syariat sebagaimana yang disuarakan rezim hari ini. Bukti riil dari makna adil dan terbaik justru akan terwujud apabila syariat ditegakkan dengan khilafah. (al-waie.id, 25 Agustus 2018). Sudah sangat jelas, ke arah mana narasi ini dibuat? Narasi ini dibuat untuk kepentingan hegemoni Barat dan pengikutnya.
Penerapan Islam Kaffah, Penguat Ideologi Islam
Kesadaran Barat akan ancaman penerapan Islam kaffah (khilafah) dapat dilihat dari berbagai pernyataan para pemimpin Barat sendiri. Presiden George W. Bush (Jr) pada 2006 pernah mengatakan, “This caliphate would be a totalitarian Islamic empire encompassing all current and former Muslim lands, stretching from Europe to North Africa, the Middle East, and Southeast Asia.” (Khilafah ini akan menjadi imperium Islam yang totaliter yang akan melintasi negeri-negeri Muslim kini dan dulu, membentang dari Eropa hingga Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Tenggara).
Kekhawatiran Barat terhadap khilafah mendorong mereka untuk menyiapkan serangkaian konspirasi, strategi dan kebijakan politik luar negeri dalam rangka menghadang berdirinya khilafah kembali. Barat sadar, jika khilafah benar-benar berdiri dan mempersatukan umat Islam sedunia dengan segenap potensi dan kekuatan yang mereka miliki, maka dapat dipastikan hegemoni dan kepentingan Barat akan hancur di seluruh dunia.
Peradaban yang sekian lama dibentuk oleh ideologi kapitalis sekular pada faktanya hanya menyebabkan konflik semata, menambah kesempitan hidup dan kesengsaraan. Untuk mengembalikan kehidupan manusia yang beradab, adil, sejahtera dan damai adalah dengan mengembalikan berlakunya syariah Allah SWT dalam naungan khilafah. Ini bukan soal pemaksaan kehendak satu agama, melainkan tanggung jawab sebuah ideologi shahih dalam menata peradaban manusia.
Sejarah telah mencatat bahwa Khilafah Islamiyah merupakan negara yang mewujudkan keadilan dalam kehidupan. Keadilan terwujud karena Khilafah Islamiyah memperlakukan rakyatnya secara adil di depan hukum dan peradilan, tanpa memandang strata sosial, suku, bangsa, maupun agamanya. Khilafah juga merupakan negara yang memelihara urusan rakyatnya, menunaikan kemaslahatan mereka, menjamin kebutuhan mereka dan menjaga mereka dari segala marabahaya.
Khilafah juga merupakan negara yang menebarkan petunjuk kepada manusia, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya kebenaran Islam. Sebab, politik luar negeri khilafah adalah menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Khilafah Islam pun dengan cepat tersebar ke seluruh antero dunia, wilayah kekuasaanya terbentang luas.
Bahkan khilafah menjadi negara adidaya berabad-abad lamanya. Namun kini, umat Islam hidup tanpa khilafah. Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin tidak terwujud lagi dalam kehidupan. Sebaliknya, kehidupan dunia dikuasai oleh kezaliman dan ketidakadilan, seperti yang dialami umat Islam di negeri ini dan di berbagai belahan dunia lainnya. Kemiskinan terus membengkak, utang luar negeri bertambah banyak, berbagai kriminalitas semakin marak, korupsi kian melonjak, kekayaan umat terus dijarah, bahkan negeri mereka pun dijajah.
Oleh karena itu, mengembalikan Khilafah Islamiyah yang menerapkan syariah secara kâffah merupakan jalan satu-satunya yang wajib ditempuh untuk mewujudkan Islam rahmatan li al-‘âlamîn . Kehidupan penuh rahmat benar-benar terwujud dalam sistem khilafah. Rahmat bukan hanya dirasakan oleh kaum Muslim, tetapi juga orang-orang kafir. Karena itu tidak aneh jika manusia dari berbagai bangsa berbondong-bondong masuk Islam dengan sukarela. Untuk itu, menegakkan Khilafah bukan sekadar wajib, bahkan merupakan mahkota kewajiban, yang dengan itu berbagai kewajiban lainnya dapat ditegakkan. Khilafah akan menghasilkan kebaikan di dunia dan di akhirat.[]
Oleh Retnaning Putri, S.S., Aktivis Muslimah
0 Komentar