Bunuh diri menjadi satu tren dalam dekade ini di kalangan remaja. Bahkan yang terjadi masih hangat di Kabupaten Sukabumi. Tepatnya di Kecamatan Gegerbitung pada hari Kamis (3/6/2020). Seorang pelajar yang masih berusia 17 tahun, berinisial R, ditemukan gantung diri di rumahnya. Yanti Budiningsih sebagai Camat Gegerbitung pun membenarkan informasi tersebut. Remaja ini berstatus sebagai pelajar kelas 2 SMK, ironisnya dia tewas dalam keadaan masih menggunakan seragam sekolah berwarna biru lis putih dengan celana pendek warna biru muda. (SUKABUMIUPDATE.COM, 3/6/2021).
Semakin tinggi jumlah angka bunuh diri, dipastikan tingkat depresi pun melonjak. Mengapa demikian? Unsur apa saja yang bisa membentuk jiwa rapuh dan putus asa sampai berani menghilangkan nyawa sendiri?
Data bunuh diri di kalangan remaja setiap tahun meningkat. Bahkan Kemenkes memiliki catatan tentang keinginan bunuh diri di kalangan remaja, kisaran usia SMP hingga SMA, hasil survei menunjukkan 5,9% remaja perempuan dan 4,3% remaja laki-laki, itu didapatkan dari 10,837 responden. (MERDEKA.COM, 6/11/2020).
Selain itu, data WHO Global Health Estimates mencatat jumlah kematian yang diakibatkan karena bunuh diri di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 3,4/100.000 penduduk, untuk laki-laki (4,8/100.000 penduduk) menempati kondisi lebih tinggi dibandingkan perempuan (92,0/100.000) itulah rincian dari data WHO. Kondisi tersebut diramalkan WHO secara umum menjadi 2,4/100.000. Perkiraan untuk jumlah kematian akibat bunuh diri bisa mencapai 1.800 kasus per tahun. (ANTARANEWS.COM, 23/11/2020).
Depresi menjadi sebab utama terjadinya bunuh diri. Semua tentu sangat wajar terjadi, ketika sistem hidup yang dijadikan kiblat adalah kapitalisme sekuler, di mana uang dan kebebasan ditempatkan sebagai ‘Tuhan’. Tujuan manusia hanya terfokus pada bagaimana memenuhi syahwat dunia semata. Pun ditambah dengan pelajaran sekolah yang disekularisasi. Maka semakin keringlah tempayan-tempayan keimanan pada jiwa generasi. Sehingga ketika bertemu dengan masalah, tidak terbiasa mengambil hikmah, tetap berlari sejauh-jauhnya menghindari sampai memilih bunuh diri.
Memang teramat berat hidup menjadi remaja di era digital hari ini, di saat arus sekularisasi di segala bidang digaungkan, tunas-tunas muda ini semakin dijauhkan dari eksistensi Allah Ta’ala sebagai Sang Pencipta dan sandaran utama seluruh makhluk-Nya.
Kondisi yang teramat buruk ini perlu solusi yang integral, bukan sekadar harus banyak konsultasi dengan psikolog, tetapi jalan keluar sistemik yang bisa mencerabut pemahaman rusak saat ini. Sekuler-liberal yang semakin bergerak ‘nakal’ menghanguskan fondasi mental manusia yang seharusnya kukuh dan tangguh. Kondisi ini pun membuktikan kelemahan komitmen para penguasa yang abai, membiarkan rakyat digerogoti sakit mental.
Ketika akidah Islam tidak dijadikan sandaran dalam kehidupan, bahkan pemahaman tersebut ditiadakan. Bisa dipastikan setiap individu akan terjangkit miskin iman, merasa tidak punya Sang Khalik sebagai tempat bergantung semua masalah.
“Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Ab-Nisa’: 29).
Semestinya Islam harus melahirkan rasa takwa di benak dan langkah umat tak terkecuali remaja, tetapi hari ini hanya dijadikan aktivitas ritual semata. Sesungguhnya hidup di dunia hanyalah sementara, arena mencari bekal, akhiratlah yang kekal. Ketakwaan menuntun manusia menimbang perbuatan dengan neraca syariat.
Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan diazab dengan itu di hari kiamat.” (HR. Bukhari No. 6105, Muslim No. 110).
Takwa pun akan menghantar si pengemban dengan rasa takut yang mendalam, ketika mendengar atau membaca dalil balasan untuk orang yang melakukan bunuh diri atau perbuatan dosa lainnya.
Permasalahan bunuh diri ini tidak lepas dari peran negara dan keluarga. Negara seharusnya menjadi filter utama terlebih di era digital ini, bukan menjadikan perilaku dan gaya hidup Barat atau Timur yang sedang mendunia sebagai ajang komersial. Di mana bunuh diri menjadi tayangan yang sering terkesan dikampanyekan.
Begitu pun keluarga, lemahnya ketahanan menjadi sisi hitam yang menyeramkan. Generasi banyak yang lari karena tidak dihargai jati dirinya di dalam keluarga. Orang tua abai, tak peduli dengan kondisi jiwa anak, hal terpenting sudah bisa menyekolahkan. Adapun tentang kepribadian anak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri.
Liberalisme sudah melahirkan kehidupan individualis, tak ayal yang putus asa kian banyak. Anak menjadi jauh dengan orang tua, satu sama lain tak lagi saling peduli.
Seharusnya kita semakin sadar, urgensi kembalinya sistem Islam benar-benar solusi yang pasti. Islam membentuk manusia untuk sadar akan tujuan hidup yang hakiki. Islam harus menjadi asas hidup dalam bermasyarakat dan bernegara. Tren bunuh diri di kalangan remaja hari ini, hanyalah satu noktah kecil yang membuktikan bahwa sekularisme melahirkan mental bangsa yang rapuh, keropos, dan ambruk. Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh Rizka Adiatmadja
(Penulis dan Praktisi Homeschooling)
0 Komentar