TWK KPK dan Kapitalisasi Narasi Radikalisme sebagai Alat Gebuk Lawan Politik

Tes wawasan kebangsaan atau biasa disingkat TWK sempat menjadi perbincangan hingga menggemparkan situasi politik tanah air. Betapa tidak, TWK yang dijalankan di tubuh KPK berimbas pada puluhan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberitakan tak lulus melewati ujian TWK tersebut.

Sebelum kita mengulas mengenai ada apa di balik kontroversi dan kisruhnya TWK KPK ini, patut kita mengenal dulu apa sebenarnya tes wawasan kebangsaan atau TWK?

Dikutip dari laman resmi Badan Kepegawaian Negara (BKN), tes wawasan kebangsaan adalah tes materi yang bertujuan untuk menguji seberapa baik wawasan dan pengetahuan calon ASN tentang Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, nasionalisme, Bahasa Indonesia, dan wawasan pilar negara.

Tes wawasan kebangsaan sendiri selama ini jadi salah satu tolak ukur utama dalam seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) atau ASN lainnya. Biasanya dalam seleksi CPNS yang diselenggarakan pemerintah, tes wawasan kebangsaan diujikan bersamaan dengan tes karakteristik pribadi (TKP) dan Tes lntelegensia Umum (TIU).

Sebagai contoh tes wawasan kebangsaan yang sudah-sudah yakni seperti bagaimana seorang mengamalkan sila pertama Pancasila dalam kehidupan beragama di lingkungan tempat tinggalnya. Contoh materi soal lainnya TWK yakni pertanyaan terkait pemahaman calon ASN terhadap pilar-pilar negara seperti fungsi DPR MPR, hingga sistem pemerintahan yang dianut Indonesia.

Namun ada yang menarik pada TWK di KPK ini yang berdampak pada pemberhentian puluhan pegawai yang tidak lulus tes yang bahkan disebut oleh Amnesty Internasional dan pengamat sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia. Serta upaya untuk menghabisi dan menyingkirkan lawan politik yang tentu saja berpotensi untuk merugikan kepentingan di salah satu pihak lainnya.

"Pemberhentian 51 pegawai KPK ini bisa dilihat dari "pelanggaran hak asasi manusia yang berat" sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 94 UU 39/1999 karena jelas merupakan praktik diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination)," ujar pegiat HAM yang juga Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

TWK yang kontroversial itu juga dinilai Usman dan pengamat sejarah dari Universitas Nasional, Andi Achdian mirip dengan cara Orde Baru melalui program penelitian khusus (litsus) untuk menyingkirkan orang-orang yang "berbeda pandangan dan nilai" dari posisi-posisi publik. (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia)

Pegawai KPK yang mengikuti TWK ini mengatakan sejumlah soal dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat peralihan status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) didominasi pertanyaan tentang radikalisme.

Sumber internal KPK ini mengatakan contoh-contoh pertanyaan tersebut seperti seputar Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), hingga Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Juga seputar OPM, DI/TII, PKI, narkoba hingga kebijakan pemerintah.

"Kemarin nuansanya 70-80 persen soal-soal itu tidak terkait dengan kebangsaan. Lebih banyak terkait dengan radikalisme," kata sumber tersebut.

(CNNIndonesia.com)

Seputar pertanyaan terkait kenal Rizieq [Rizieq Shihab] atau tidak? Lalu tanggapan tentang pembubaran FPI dan HTI seperti apa. Kemudian isu LGBT, wacana LGBT dilarang di Indonesia, lalu tanggapan mereka seperti apa?

Sebanyak 75 pegawai KPK yang dikabarkan tidak lolos tes wawasan kebangsaan tersebut justru kebanyakan dari mereka merupakan Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) penyidik dan penyelidik dari unsur internal, pengurus inti Wadah Pegawai (WP) KPK hingga pegawai berintegritas dan berprestasi lainnya.

Bukankah hal ini patut dicurigai bahwa ada upaya untuk menyingkirkan pegawai lembaga antirasuah tertentu melalui tes ini dengan dalih radikalisme. Terutama untuk pihak-pihak yang memiliki perbedaan pandangan, yang pada akhirnya akan beresiko menjadi lawan politik. Lawan politik ini dinilai akan berseberangan serta menghambat terlaksananya motif dan tujuan tertentu. Namun selama ini motif tersebut justru kental dengan keuntungan dan kepentingan pribadi dan bukannya semata untuk kepentingan rakyat.

Radikalisme yang selama ini digaungkan sejalan dengan opini yang berkembang di konstelasi politik internasional. Istilah radikalisme pun begitu masif digaungkan. Hal ini menunjukkan adanya skenario global demi menyatukan opini tentang gerakan radikal yang membahayakan. Serta dijadikan common enemy atau musuh bebuyutan yang harus ditumpas habis.

Isu radikalisme menjadi alat strategi politik dalam rangka blame of victim. Isu ini digiring untuk menutupi keburukan dan kerusakan rezim, sementara korban (umat Islam dan ajarannya dengan stigma radikal) didemonisasi dan dijadikan kambing hitam. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, selain untuk menyingkirkan gaung formalisasi syariat Islam, isu radikalisme juga dijadikan alat untuk menjatuhkan lawan politik. 

Menurut mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas di Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam melawan radikalisme dianggap upaya pengalihan isu-isu korupsi. Isu radikalisme sengaja dibuat dan dimunculkan seperti pernah dilakukan Orde Baru.

“Radikalisme bersumber dari kesalahan yang disengaja atas tata kelola sumber daya alam dan dampak dari kesenjangan ekonomi serta keadilan sosial. Radikalisme agama sengaja dihadirkan sebagai jualan politik,” ucapnya.

(www.gatra.com)

TWK KPK ini membuktikan bahwa di balik penggiringan opini radikalisme sebagai ancaman dan bahaya bagi negara yang masih berlangsung hingga kini, dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan lawan politik. Terutama dalam lembaga KPK ini. Alih-alih radikalisme, sengkarut korupsi yang telah nyata merugikan ekonomi negara serta kesejahteraan rakyat bukankah lebih patut menjadi musuh utama dan musuh bersama yang harus diberangus?

Oleh karena itu, semestinya rakyat patut jeli, narasi radikalisme ini nyatanya bias dan dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Karena pada faktanya pun tidak ada kriteria jelas terkait radikalisme ini.

Pada akhirnya, penerjemahan makna radikalisme secara sepihak hanya akan menjadi propaganda untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan yang tentu saja tidak pro terhadap rezim maupun golongan tertentu. Propaganda gerakan radikalisme sejatinya akan menutupi problem dan persoalan utama apa yang sebenarnya terjadi. []

Wallahu a'lam biashshawab.


Oleh Novita Sari Gunawan


Posting Komentar

0 Komentar