Urgensi Syariat Dalam Penegakan Hukum

 


Dalam peradaban manusia, keadilan hukum adalah salah satu indikator majunya sebuah peradaban. Bisa dikatakan hukum menjadi simbol peradaban manusia. Semakin tinggi peradaban manusia, maka hukum yang ada akan semakin memanusiakan manusia. Sebaliknya semakin rendah peradaban semakin mengabaikan manusia. 

Hukum hadir dalam kehidupan manusia sebagai upaya untuk menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi secara benar dan adil, bahkan diharapkan bisa mencegah agar tidak terjadi konflik yang lebih luas. Karenanya dalam sebuah peradaban manusia ada 2 hal yang berperan untuk menegakkan keadilan hukum ini. Yang pertama adalah integritas para penegak hukum dan kedua, adalah sistem hukum yang diberlakukan

Di Indonesia, kasus Habib Rizieq Shihab dan kasus eks jaksa Pinangki adalah dua contoh kasus hukum yang justru menggambarkan bobroknya penegakan hukum. Sebab kedua hal ini (penegak hukum dan sistem hukumnya) sama-sama buruknya. Wal hasil produk hukumnya menunjukkan ketidakadilan yang nyata dan mencederai rasa keadilan dalam diri setiap orang.

Integritas Hakim

Kedudukan hakim dalam majelis persidangan adalah mulia. Kemuliaan ini disebabkan posisi hakim sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Orang-orang yang dirampas haknya akan mendapatkan kembali hak-hak mereka melalui keputusan yang adil dari seorang hakim. Jadi hakim adalah tumpuan harapan bagi setiap orang untuk mendapatkan kembali hak-haknya dengan adil. Dan ini adalah tugas mulia,

Karena itu hakim harus memiliki kapabilitas yang cukup untuk memutuskan berbagai perkara dengan bijaksana dan penuh keadilan. Jabatan hakim sangatlah berat. Sebab selain  pertanggungjawaban kepada masyarakatnya, seorang hakim juga harus mempertanggungjawabkan keputusannya kepada Allah Ta’ala. Dan aspek ini adalah aspek utama bagi seorang muslim. Karenanya selain persoalan keyakinan bahwa kelak dia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka seorang hakim juga harus memahami syariat Islam untuk dijadikan standar dalam memutuskan berbagai perkara.

Nabi SAW bersabda :

الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ، اثْنَانِ فِي النَّارِ، وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ: رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ

“Hakim-hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga : Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu dia memutuskan hukum dengan kebenaran, maka dia di surga; Seseorang (hakim)  yang memutuskan hukum dengan kebodohan, maka dia di neraka; Dan seorang (hakim) yang menyimpang didalam keputusan, maka dia di neraka.” (HR Ibnu Majah, Tirmidzi, dan  Abu Dawud).

Hadits ini memberikan gambaran pada kita bagaimana Islam memandang kedudukan seorang hakim. Dalam pandangan Islam keputusan seorang hakim haruslah selaras dengan hukum Allah dan itu identik dengan kebenaran. Sebab hukum Allah sudah pasti benar karena datang dari Dzat yang menguasai manusia.  Dalam hadits yang lain Rasul SAW bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim ingin memutuskan suatu hukum lalu ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika ia ungun memutuskan suatu hukum lalu ia berijtihad dan ijtihadnya salah, maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari Muslim)

Karenanya standar untuk menilai sebuah kejahatan, kebenaran dan keadilan diserahkan kembali pada hukum Allah swt. Dan para hakim harus memiliki standar yang sama ini dalam memutuskan berbagai perkara. Mereka harus memiliki pemahaman Islam yang cukup, mendalami fiqh Islam dan memahami realitas dengan benar. Dengan demikian hukum yang dikeluarkan adalah hukum yang sesuai dengan syariat Islam. 

Rasulullah SAW bersabda: 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ مَعَ القَاضِي مَا لَمْ يَجُرْ، فَإِذَا جَارَ تَخَلَّى عَنْهُ وَلَزِمَهُ الشَّيْطَانُ

“Sesungguhnya Allah bersama hakim selama dia tidak menyimpang, jika dia menyimpang Allah meninggalkannya, dan syetan menemaninya.” (HR Tirmizi dihasankan oleh Syaikh al Albani).

Karena itu menjadi hakim bukan perkara mudah, Dibutuhkan keilmuan dan keimanan yang cukup agar hukum yang dihasilkan tidak bersumber dari hawa nafsu dan menyimpang dari ketetapan Allah swt. Demikianlah Islam sangat memperhatikan integritas para penegak hukumnya. 

Konsep yang sangat berbeda dengan sistem hukum yang diterapkan saat ini. Hakim bisa memutuskan hukum sesuai dengan keinginannya atau kepentingan orang-orang yang ada di belakangnya. Bahkan bisa pula hakim mencari-cari pertimbangan untuk memberatkan atau meringankan vonis seorang terdakwa setelah keputusan hukum dibuat. Wajarlah jika hal ini terjadi, sistem hukum di negeri ini takkan bisa membawa keadilan bagi semua orang. 

Sistem Hukum Islam: Benar dan Adil

Islam sebagai agama yang paripurna juga memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sebuah sistem hukum diletakkan. Sebab konflik yang terjadi antar manusia sejatinya tak terlepas dari keberadaan manusa itu sendiri sebagai sosok makhluq yang diciptakan Allah swt. Karenanya Islam memberikan panduan agar hukum yang digunakan untuk mengadili manusia diposisikan mengikuti hukum Allah dan Rasul-Nya. Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).

Dalam ayat yang lain, Allah juga memerintahkan agar kaum muslimin menerapkan hukum yang berasal dari Allah swt dan tidak mengikuti hawa nafsunya. 

وَأَنِ ٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Al Maidah: 49)

Hukum yang berasal dari Allah sudah pasti adil, sebab Allahlah yang mengetahui hakikat manusia. Karenanya hukum yang diberikan Allah untuk manusia adalah hukum yang sesuai bagi setiap manusia, siapapun dia. Baik muslim ataupun kafir, laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Dan hukum Allah ini pasti bisa diterima secara logis oleh akal manusia. 

Yang tidak bisa menerima hukum Allah hanyalah orang-orang yang senantiasa memuja hawa nafsunya. Mereka adalah orang-orang yang berada di kubu syetan yang memiliki karakter sombong dan selalu menentang perintah Allah swt.  Bahkan dengan tegas Allah menafi’kan keimanan mereka saat mereka tidak lagi mau berhukum dengan hukum Allah swt. Allah berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا


“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa: 65)

Dalam ayat yang lain Allah swt juga menyebut mereka yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah sebagai orang kafir, fasik dan dzalim. 

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 44)

Dalam implementasinya, hukum Islam memang diakui sebagai hukum yang paling adil di seluruh penjuru dunia. Ada kisah yang menarik terkait hal ini. Dikisahkan seorang perempuan dari Bani Makhzum meminjam suatu barang dari orang lain tapi kemudian mengingkarinya. Diakuinya barang itu sebagai miliknya. Kasus ini sampai ke Rasulullah dan beliau langsung memerintahkan agar dipotong tangannya. Sebab perempuan tersebut dianggap telah mencuri barang orang lain dengan sengaja. 

Perintah untuk memotong tangan ini membuat kaum Qurais kelimpungan. Pasalnya pelakunya adalah perempuan terhormat dari kalangan pembesar Bani Makhzum. Oleh sebab itu mereka mengutus Usamah ra untuk meminta keringanan agar dibatalkan hukum potong tangan tersebut.

Namun Rasulullah saw menjawab dengan tegas, “Apakah kamu meminta pertolongan (keringanan) dalam masalah hudud (ketetapan hukum Allah)?” Kemudian Rasulullah saw berkhutbah, “Sesungguhnya umat sebelum kamu sekalian dihancurkan karena ketidakadilan, bila orang elit mencuri dibiarkan dan bila orang lemah mencuri ditegakkan hukum had. Demi Allah, seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri akan aku potong tangannya”. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan agar perempuan tersebut dipotong tangannya. (HR Al Bukhari dan Muslim).

Demikianlah Islam meletakkan sistem hukum mengikuti syariat Islam. Karena itu tidak mungkin bisa terwujud keadilan dan kebenaran kecuali dengan ditegakkannya sistem hukum Islam. Dan sistem hukum ini tidak mungkin bisa tegak kecuali dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Karenanya penegakan Khilafah Islamiyah ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam upaya penegakan hukum dan keadilan di dunia ini. 


Oleh Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar