Zuhudlah Terhadap Dunia

 


Siapa yang tak senang akan harta dan materi yang melimpah? Semua manusia pasti akan berupaya untuk bisa mendapatkannya. Dengan harta yang banyak tidak hanya kebutuhan pokok akan pangan, sandang dan papan yang akan tercukupi tetapi semua kebutuhan yang lainnya. Tak ada seorangpun di dunia ini yang bermimpi atau bercita-cita memiliki kehidupan yang serba kurang atau miskin. Tapi apakah semua itu lantas menjadi sesuatu hal yang baik ataukah sebaliknya?


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Yunus ayat 24


اِنَّمَا مَثَلُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَاۤءٍ اَنْزَلْنٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ فَاخْتَلَطَ بِهٖ نَبَاتُ الْاَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْاَنْعَامُ ۗحَتّٰٓى اِذَآ اَخَذَتِ الْاَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ اَهْلُهَآ اَنَّهُمْ قٰدِرُوْنَ عَلَيْهَآ اَتٰىهَآ اَمْرُنَا لَيْلًا اَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنٰهَا حَصِيْدًا كَاَنْ لَّمْ تَغْنَ بِالْاَمْسِۗ كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ


Artinya: "Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir."


Dalam tafsir Al-Wajiz, oleh Syaikh Pof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah menjelaskan makna dari surat tersebut. Ini adalah perumpamaan yang merupakan salah satu perumpamaan yang terbaik, pas dengan keadaan dunia, karena kenikmatan, syahwat, kedudukannya, dan lain-lain menjadi indah –jika ia menjadi indah dalam waktu singkat-, jika ia telah lengkap dan sempurna maka ia akan terkikis dan terlepas dari pemiliknya atau pemiliknya terlepas darinya, maka kedua tangannya hampa, hatinya penuh dengan kecemasan, kesedihan dan penyesalan karenanya, hal itu “seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu karena air itu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur.” 


Maksudnya, tumbuh padanya dari segala jenis dan pasangan yang indah. “Diantaranya ada yang dimakan manusia” seperti biji-bijian dan buah-buahan. Dan apa yang dimakan oleh “binatang ternak” seperti rerumputan dan daun-daunan yang beragam. “Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya.” Maksudnya, indah pemandangannya, ia berhias dengan daun-daunnya maka ia menjadi kebahagiaan bagi orang-orang yang memandang, ketenangan bagi orang yang membuang penat dan tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang merenungkan.


Kamu pun melihat pemandangan yang unik hijau, kuning putih, dan lain-lain. “Dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya.” Maksudnya, mereka ingin itu berlangsung terus menerus karena memang itulah yang mereka cari dan inginkan, akan tetapi manakala mereka dalam kondisi tersebut, datanglah keputusan Allah, “di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.” Maksudnya seolah-olah tak pernah ada. Ini adalah keadaan dunia, sama persis. “Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami).” Maksudnya, Kami menerangkannya dengan mendekatkan makna-maknanya kepada akal dengan membuat perumpamaan “kepada orang-orang yang berfikir”, memakai akal mereka untuk yang bermanfaat bagi mereka. Adapun orang yang lalai dan berpaling, maka tanda-tanda kebesaran Allah tidak berguna baginya, keterangan tidak mengikis keraguannya. Manakala Allah menyebutkan keadaan dunia dan hasil dari kenikmatannya, maka Dia menanamkan kecintaan manusia kepada alam akhirat yang kekal. 


Dalam tafsir Ibnu Katsir juga dijelaskan makna dari surat Yunus ayat 24 tersebut, Allah Swt  membuat perumpamaan tentang keindahan dunia dengan segala perhiasan dan kenikmatan di dalamnya, seperti tumbuh-tumbuhan yang lebat dan bermekaran karena air hujan yang diturunkan-Nya dari langit. Tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang beraneka ragam macam dan jenisnya itu ada yang dimakan manusia, ada pula yang dimakan binatang ternak. 


Dengan demikian kehidupan dunia terasa begitu indah dan nikmat, hingga manusia merasa bahwa mereka bisa menuai dan mengambil hasilnya sepuas dan sebanyak mereka mau. Ketika mereka dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datanglah angin kencang yang sangat dingin sehngga dedaunannya menjadi kering dan buahnya membusuk. Tanah yang sebelumnya hijau membentang menjadi kering kerontang seakan tidak pernah ada yang tumbuh subur disana.


Maksud dari perumpamaan tersebut adalah agar manusia mengambil pelajaran bahwa akan datang masa dimana dunia akan lenyap, tetapi manusia telah terpedaya olehnya, mereka merasa yakin dan pasti dapat memetik hasil pada waktunya, tetapi pada akhirnya dunia luput dari mereka. Karena sesungguhnya watak dunia itu selalu lari dari orang yang mengejarnya dan mengejar orang yang menjauh darinya. 


Setelah menceritakan perihal dunia dan kelenyapannya yang cepat, maka Allah menyebutkan tentang surga dan menyeru kepadanya serta menamainya dengan sebutan Darussalam, yakni rumah yang aman dari semua penyakit, semua kekurangan dan semua musibah. 


Ayat ini hanya salah satu diantara sekian banyak ayat yang memberikan peringatan kepada manusia, bahwa keindahan dan kenikmatan dunia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kenikmatan yang Allah janjikan di Surga-Nya.


Melepaskan diri dari penghambaan kepada harta dan kesenangan dunia mestinya yang dilakukan seorang mukmin, inilah yang disebut dengan zuhud. Penghambaan hanya diberikan kepada Allah semata. Ketika ditanya tentang zuhud Rasulullah Saw menjawab, “Zuhud tidak berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta benda. Yang dimaksud dengan zuhud di dunia adalah agar apa yang ada di tangan Allah lebih kamu butuhkan daripada apa yang ada di tangan manusia.”


Abu Sa’id Al-khudri ra. Berkata bahwa Rasulullah Saw duduk di mimbar dan kami pun duduk di sekitar baliau. Lalu beliau bersabda, “Yang paling aku khawatirkan terhadap kalian sepeninggalku nanti adalah jika bunga dunia dan hiasannya dibukakan untuk kalian.” (Muttafaq ‘alaih)


Nabi Muhammad Saw. sangat khawatir jika hati umatnya terikat dengan cinta dunia dan kemewahannya. Mata dan semua indera mereka menjadi sibuk dengannya meninggalkan perhatian kepada akhirat hingga agama mereka menjadi rusak, dan apa yang dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad Saw. sekarang telah terjadi. Umatnya begitu sibuk dengan perkara duniawi, berlomba-lomba mengumpulkan harta menjadi tujuan hidup bukan lagi menjadi sarana untuk di akhirat kelak. 


Materi lah yang menjadi ukuran dan standar yang berlaku di masyarakat pada saat ini, menjadi penentu apakah seseorang itu pantas untuk dihargai atau tidak, dihormati atau tidak. Hal tersebut akhirnya mendorong seseorang tidak lagi memperhatikan norma-norma yang berlaku di negeri ini, semua norma kesopanan dan kesusilaan, bahkan norma agama akan diterabas demi mendapatkan yang diinginkan. Jika ia seorang muslim tidak perduli lagi dengan halal dan haram, harga diri pun akan dengan mudah digadaikan demi meraih kemewahan dan kesenangan duniawi yang fana.


Padahal, apalah artinya dunia ini dibandingkan dengan akhirat jika kita mengetahuinya. Al-Mustauridbin Syaddad ra. Berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tidaklah dunia ini dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti jari yang dicelupkan  salah seorang di antara kalian ke dalam air laut lalu ditarik kembali. Lihatlah, betapa sedikit air yang menempel di jari itu.” (HR. Muslim). 


Abu Al-Abbas Sahal bin As-sai’idi ra. berkata, seseorang datang menemui  Nabi Saw. lalu berkata, “Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku tentang suatu perbuatan yang jika aku lakukan Allah dan manusia akan mencintaiku?” Rasulullah menjawab, “Berzuhudlah di dunia niscaya Allah akan mencintaimu dan berzuhudlah dari apa yang dimiliki manusia niscaya manusia mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah).


Menjaga diri dari yang haram dan hati-hati terhadap hal yang syubhat, bersyukur atas rezeki yang halal dan menginfakkannya untuk kebaikan. Segala yang ada dalam kehidupan ini, baik yang berupa harta maupun kesenangan lainnya, hendaknya berada di tangan manusia, bukan di hatinya. Sebab, semua itu hanya sarana, bukan tujuan. 


Zuhud bukan berarti miskin, meminta-minta, merendahkan diri, dan bermalas-malasan. Zuhud artinya kekayaan jiwa dan menjaga diri, juga mengorbankan harta dan jiwa di jalan Allah Swt. Zuhud itu tidak dilarang memiliki harta yang cukup atau melimpah di dunia ini, tetapi tidak sampai menjadikannya lupa dan lalai akan tujuan akhiratnya kelak. Jika seorang muslim yang telah ditakdirkan “tidak boleh” miskin seperti halnya sahabat Rasulullah Saw Abdurrahman bin ‘Auf, tidak lantas membuatnya lupa dan terlena dengan segala kekayaan yang ada. Justru harta yang berlimpah tadi ia infakkan untuk menolong orang lain yang membutuhkan dan untuk berjuang di jalan Allah. Adakah kita sudah bisa demikian? Semoga Allah Azza wa Jalla selalu melimpahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua sehingga bisa menjadi zuhud terhadap dunia dengan segala pernak perniknya. []


Wallahu a’lam bishshowab.


Oleh Anjar Rositawati


Posting Komentar

0 Komentar