Ada Apa di Balik Tertunggaknya Insentif Nakes dan Dana Faskes?

 


Di tengah melonjaknya kasus Covid-19, tenaga kesehatan (nakes) dijanjikan akan diberikan insentif oleh pemerintah. Insentif ini disebut-sebut sebagai bentuk apresiasi pemerintah atas kerja keras para nakes dalam menangani pasien Covid-19. Sayangnya, insentif ini ternyata macet diterima oleh nakes, terutama oleh nakes yang berada di daerah-daerah. Apa yang menyebabkan kemacetan ini terjadi? Ada beberapa asumsi yang dinyatakan oleh beberapa pihak, tetapi di mana sebenarnya letak sumber masalahnya? Kita coba menelisik beberapa fakta berikut. 

Kesalahan Proses Pengajuan di Alur Pemberian Insentif

Insentif nakes RS rujukan Covid-19 seperti di daerah Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tenggara dilaporkan belum diterima sejak bulan Januari-Mei 2021. Menurut Jajat Sudrajat, Ketua Satgas Covid-19 DPP PPNI pada detikcom, banyak keluhan diajukan oleh nakes terkait belum dibayarnya insentif sejak Januari 2021. Terlambatnya insentif nakes ini, kata Jajat, mungkin terjadi karena ada kesalahan dalam proses pengajuan dari RS atau Dinas Kesehatan.

Berdasarkan alurnya, pemberian insentif untuk program pemerintah pusat, fasilitas pelayanan kesehatan harus mengajukan ke BPPSDM Kemenkes. Sedangkan program daerah pengajuannya dilakukan melalui Dinas Kesehatan. 

Merujuk pada surat Kementerian Kesehatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber daya Manusia Kesehatan yang dikeluarkan bulan Mei 2021, perihal surat permintaan data dukung insentif nakes tahun 2020 dinyatakan bahwa, pengumpulan data pendukung seperti SK penetapan lokasi atau instansi penanganan Covid-19 dan daftar hadir nakes dibatasi hingga 31 Mei 2021. Karenanya, jika data dukung tersebut tidak dibuat hingga 31 Mei 2021, maka insentif tahun 2020 tidak bisa dibayarkan walaupun sudah pernah diusulkan.

Berbelitnya birokrasi yang menghambat turunnya insentif ini terbukti amat merugikan nakes. Karenanya, Jajat berharap pemerintah segera bertindak menyelesaikan permasalahan birokrasi ini.

Penyaluran Anggaran yang Harus Melewati Sejumlah Proses

Tunggakan klaim RS rujukan Covid-19 sejumlah Rp 22,08 triliun hingga saat ini belum dibayarkan oleh Kementerian Kesehatan. Rita Rogayah, Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan, dalam keterangan pers-nya pada Jumat (25/6/2021) menyatakan bahwa, tunggakan tersebut masih diproses. 

Proses yang dilakukan, disamping pertemuan dengan pihak RS yang dilakukan melalui Zoom sering terkendala, juga harus melalui sejumlah proses _review_ dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kementerian Keuangan. Sedangkan _review_ dengan BPKP tersebut harus dilakukan dengan sekitar 1.500 RS yang mengajukan klaim dana penanganan Covid-19. Hal ini menyebabkan diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk melakukan proses-proses ini.

Seretnya pembayaran penanggulangan Covid-19 juga dirasakan oleh hotel-hotel penyedia layanan isolasi bagi pasien terpapar Covid-19. Maulana Yusran, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) pada 18 Juni lalu mempertanyakan kapan pemerintah akan melunasi kekurangan pembayaran dana tersebut. Sejak membludaknya pasien terpapar Covid-19, hotel-hotel memang mengikuti jejak wisma atlet, untuk dijadikan fasilitas isolasi pasien tanpa gejala, dan akomodasi tenaga kesehatan.

Hotel-hotel di berbagai kota di negeri ini memang telah lebih dari satu tahun mengalami kesulitan pemasukan. Sejak menurun dengan drastisnya pelanggan hotel akibat berbagai pembatasan wilayah selama masa pandemi Covid-19, maka hotel-hotel sudah terkuras seluruh dana dan modalnya untuk biaya operasional hotel dan menggaji karyawan. Karenanya jika harus menutupi biaya penanganan isolasi pasien Covid-19, mereka mengalami kesulitan. 

Di Jakarta, ada 15 hotel yang memberikan layanan isolasi bagi pasien tanpa gejala dan 16 hotel menyediakan akomodasi bagi tenaga medis. Semua biaya bagi hotel-hotel tersebut ditangani oleh BNPB bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta. 

Tagihan atas penggunaan kamar hotel untuk fasilitas isolasi pasien tanpa gejala dan akomodasi bagi tenaga kesehatan ini harus melalui proses verifikasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk dinilai apakah tagihan tersebut layak dibayar atau tidak. Proses verivikasi ini memerlukan waktu, karena memerlukan pendataan yang mendetil. Alhasil, dari tagihan sebesar Rp 200 miliar, baru Rp 60 miliar yang terbayarkan kepada sejumlah hotel.

Tunggakan pembayaran BNPB kepada sejumlah RS dan hotel penyedia layanan isolasi menjadi sekelumit gambaran tentang banyaknya masalah dalam pengelolaan dana penanganan Covid-19. Data yang harus diverifikasi, laporan pemanfaatan dana, klaim tagihan, birokrasi yang berbelit-belit, lambatnya pencairan dana, dan lain-lain adalah beberapa masalah yang menyebabkan terjadinya hambatan turunnya dana. Sedangkan masalah lain terkait penanganan pandemi Covid-19 sesungguhnya masih lebih banyak lagi di negeri ini.

Kebijakan Islam Menangani Kesehatan

Kebijakan menurut Islam dalam menangani masalah kesehatan dimulai dari peradigma Islam dalam memandang masalah Kesehatan. Paradigma pertama, Islam memandang bahwa terjaminnya kesehatan warga negara harus setara dengan terjaminnya kebutuhan pangan. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya, “Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya, aman jiwanya, jalan dan rumahnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia dan seisinya (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad, Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Paradigma kedua, negara bertanggung jawab dalam menjamin pemenuhan kesehatan, karena masalah kesehatan dan pengobatan jika tidak terpenuhi akan menyebabkan dharar (kemudaratan). Sedangkan suatu dharar wajib dihilangkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya, “Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri.”(HR Imam Malik). Karenanya, negara adalah pelaku utama yang berkewajiban mengurus dan menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan. Sedangkan seorang kepala negara adalah pelaku utama yang harus bertanggung jawab atas pengurusan kasehatan warga negaranya.

Dalam Sistem Kesehatan menurut Islam, ada tiga pilar yang harus ditegakkan. Pertama, peraturan berupa aturan baku menurut syariat Islam, kebijakan maupun pengaturan teknis administratif terkait penanganan kesehatan. Data seluruh warga negara yang tinggal dalam Daulah Islam harus lengkap, mendetil dan selalu up-date. Hal ini memungkinkan dilakukannya diagnosa kepada warga negara yang sakit menjadi lebih mudah dan cepat dilakukan. Pencarian identitas dan pendetilan kondisi terhadap pasien menjadi lebih simpel dan akurat, sehingga penanganan terhadap penyakitnya dapat lebih cepat dilakukan.

Kedua, nakes yang tersedia meliputi dokter, perawat laki-laki, perawat perempuan, tenaga medis lain yang menangani berbagai alat medis, tenaga medis di laboratorium, dan ahli obat-obatan yang menangani fasilitas apotek harus terjamin jumlah dan kemampuannya. Hal ini akan menjadikan penanganan terhadap pasien menjadi lebih berkualitas karena tidak kekurangan nakes. Tenaga ahli di bidang penyuluhan kesehatan, dan ahli gizi juga harus tersedia dengan cukup. Hal ini karena prinsip kesehatan dalam Islam adalah mengutamakan mencegah penyakit dari pada mengobatinya. Kemudian nakes di bidang rehabilitasi juga penting untuk tersedia, karena Islam menghargai manusia sebagai makhluk yang sempurna tubuhnya.

Ketiga, sarana kesehatan seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana pemulihan kesehatan harus tersedia dengan baik dan mencukupi. Hal ini supaya jangan sampai terjadi ada pasien yang tidak bisa ditangani pengobatannya karena rumah sakitnya penuh, atau alat medisnya tidak tersedia.

Seluruh sarana dan nakes harus dibangun dan disediakan oleh negara. Pelayanannya harus diberikan secara gratis bagi setiap warga negara, tanpa kecuali. Khalifah sebagai pemimpin negara harus membangun RS dan menyediakan semua sarana kesehatan, serta menggaji semua nakes dengan mengambil pembiayaan dari kas negara. Uang kas negara yang disimpan di Baitul Mal mempunyai sumber-sumber pemasukan yang tidak sedikit. Hal ini karena Daulah Islam tidak mengandalkan terpenuhinya kas negara dari penarikan pajak. Sistem Islam memiliki sumber pemasukan yang berbeda dengan sumber pemasukan dalam sistem Kapitalisme. 

Kemudian dalam pelayanan bagi masyarakat, sistem Islam mempunyai prinsip-prinsip baku yang harus diterapkan. Prinsip-prinsip tersebut adalah: pertama, sederhana dalam peraturan. Kedua, cepat dalam pelayanan. Ketiga, profesional dalam pelayanan. Ketiga prinsip ini harus diterapkan dalam pelayanan kesehatan bagi warga negara, maupun di semua pelayanan. Alhasil, tidak akan ada lagi birokrasi yang panjang dan berbelit-belit dalam penanganan kesehatan secara individu ataupun di saat ada pandemi. Hal ini sangat penting dalam pandangan Islam yang sangat menghargai jiwa dan keselamatan manusia. Bertolak belakang dengan penanganan kesehatan ala Kapitalisme yang selalu mencari celah keuntungan, walaupun nyawa manusia dipertaruhkan. []


Oleh Dewi Purnasari

Aktivis Dakwah Politik

Posting Komentar

0 Komentar