Gerilya Pasukan BEM, dimana Posisi Akademisi di Tengah Krisis Elektabilitas?

Senin, 8 Februari 2021, dalam acara peluncuran laporan tahunan Ombudsman RI tahun 2020 yang diadakan secara virtual, Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik terhadap pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara.


Dilansir dari indonews.id "Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi mall administrasi, dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," Ujar Jokowi dalam pidato virtualnya. 


Sejalan akan hal ini, pidato Jokowi pada acara tersebut menuai sejumlah tanggapan dari berbagai pihak tanpa terkecuali mahasiswa. 


Akun Twitter milik Aliansi mahasiswa UGM, yakni @UGMBergerak, memposting sebuah meme yang memberikan gelar Juara Umum inkonsistensi omongan dan kenyataan kepada Presiden Jokowi, postingan tersebut berisi tanggapan mengenai pernyataan Presiden Jokowi yang meminta agar masyarakat harus aktif sampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah.


Gambar pertama menunjukkan foto Presiden Joko Widodo dengan tulisan berisikan Aliansi Mahasiswa UGM mengucapkan selamat kepada Ir H Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia, sebagai juara umum lomba Ketidaksesuaian Omongan dengan Kenyataan. Sedangkan gambar kedua menunjukkan sejumlah narasi yang dianggap bertentangan dengan apa yang disampaikan dalam pidato Presiden Jokowi. 


Di forum, Mic dimatikan


Di Jalanan, dihadang aparat


Di Sosial Media, diancam UU ITE


Beriringan dengan narasi tersebut, adapun caption yang menambahkan kesan sarkas dalam kritikan tersebut yang bertuliskan : 


"Selamat kepada bapak presiden RI @jokowi yang juga Alumni UGM. Kami sebagai mahasiswa UGM merasa bangga dengan bapak. Teruslah berkarya dengan oligarki dan para buzzer."


Tentu saja, tak menunggu waktu lama, postingan akun twitter milik Aliansi mahasiswa UGM pun disambut ramai oleh warganet.


Akan tetapi, tak hanya Aliansi mahasiswa UGM yang memberikan gelar kepada Presiden Jokowi, gerakan susulan pun hadir dari sejumlah BEM dari berbagai kampus di Indonesia yang turut memberikan gelar yang tak hanya di berikan kepada Presiden namun juga kepada jajaran otoritas lainnya.


Setelah gelar Juara umum yang di sabet oleh Presiden Jokowi pada Februari silam, tepat pada tanggal 26 Juni lalu, Presiden Jokowi turut mendapatkan gelar "The King of Lip Service " Melalui unggahan meme dari akun twitter milik BEM UI, dalam unggahan tersebut menjelaskan sejumlah fakta mengenai kebijakan yang tak sesuai dengan janji yang seringkali di umbar dalam pidato presiden Jokowi, selain narasi, BEM UI pun membubuhkan data yang kredibel terkait dengan fakta yang dipaparkan. 


Tentu saja unggahan tersebut berbuntut panjang, bermula dari pemanggilan 10 anggota BEM UI, permintaan rektorat untuk menghapus unggahan tersebut, upaya peretasan akun sosial media sejumlah anggota BEM, hingga serangan digital dari para buzzer pun dirasakan oleh pihak BEM UI pasca unggahan meme yang berisi kritik tersebut. 


Namun sejalan dengan berbagai cobaan yang dialami, dukungan dan berbagai bentuk afirmasi dari berbagai BEM di sejumlah kampus di Indonesia pun terus deras berdatangan. Berawal dari dukungan hingga pembelaan terhadap BEM UI pasca upaya Rektor UI dalam pemanggilan BEM UI yang terkesan represif. 


Pernyataan solidaritas oleh 44 BEM dan organisasi masyarakat sipil, yang di antaranya termasuk Aliansi BEM Seluruh Indonesia, Greenpeace Indonesia, dan Pusako Fakultas Hukum Universitas Andalas turut mewarnai dukungannya terhadap BEM UI.


Tak lupa, Gelar tambahan bagi periode Jokowi sebagai "Orde Paling Baru" oleh BEM UGM pun dilayangkan lewat akun instagram resminya @bemkm_ugm tepat saat Jokowi berulang tahun yang ke 60 pada 21 Juni silam. 


Selain itu bergulir gelar demi gelar yang sejenis dari sejumlah BEM sebagai kritik susulan, antara lain seperti gelar "The King of Pura-Pura Tidak Paham" Dari BEM UMY menanggapi respon dari Presiden Jokowi terhadap kritikan BEM UI yang dinilai tidak menanggapi subtansi dari isi kritikan terhadap kebijakannya. Gelar lainnya menyusul dari garda BEM UNNES kepada beberapa jajaran penguasa, seperti Wapres Ma'ruf Amin sebagai "King of Silent", Ketua DPR RI Puan Maharani sebagai "King of Ghosting" Dan tentunya turut menghadirkan gelar yang masih sama kepada Presiden Jokowi sebagai "King of Lip Service". BEM FISIP UNPAD pun memberikan sindiran dengan narasi " Kami Bersama Jokowi, Tapi Boong!" Disampaikan lewat akun instagram @bemfisipunpad, hingga gelar yang paling terbaru yakni dari BEM Universitas Udayana, Bali, yang menyematkan julukan "The Guardian of Oligarch" kepada Presiden Jokowi lewat unggahan meme di akun instagram resminya @BEM_Udayana.


Berbagai kritikan, sindirian, dan kecaman dari sejumlah BEM di seluruh Indonesia patutnya menjadi sebuah ladang intropeksi penguasa, ini pun memberikan cerminan betapa bobroknya indeks elektabilitas pemerintah Jokowi saat ini, terlebih telah berjalan dua periode Jokowi menjabat sebagai Presiden namun geram dan gusar kian bertambah dari berbagai pihak demi merasakan berbagai intervensi yang tak berpihak pada rakyat tak terkecuali datang dari mahasiswa. 


Mungkin paparan di atas mengenai sejumlah aksi dan kritik yang terbit dari gerakan mahasiswa belum lah sepenuhnya disampaikan, jika kita kupas satu persatu maka ulasan ini tak akan selesai dengan dua tiga halaman saja, maka setidaknya sampai di sini kita memahami posisi kampus sebagai apa dan siapa, seperti yang telah kita ketahui kampus merupakan civitas akademik, pusat riset keilmuan yang memproduksi jutaan sarjana tiap tahunnya, maka semestinya menjadi tonggak penyeimbang moral dan intelektual, para guru besar, petinggi kampus hingga mahasiswa sudah sepatutnya bersinergi untuk sama-sama merawat akal sehat yang jauh dari gejala-gejala politis dan transaksi kepentingan. 


Narasi kebenaran yang lahir dari kampus tak boleh dibeli dengan uang dan jabatan, setelah banyak dari jajaran agamawan tergiur dengan kepentingan dan kursi jabatan dan beralih jadi sosok anjing istana, hingga orang-orang awam yang suaranya terbayarkan lewat amplop harapan palsu dan sebungkus makan siang hingga rela membela mati-matian penguasa yang membuat rakyatnya setengah mati menahan sengsara, setelah banyak aktivis yang turut meramaikan pesta Reformasi '98' kini beralih status menjadi elit politik sedang lupa dengan gertakan dan orasinya di masa lalu.


Setelah banyak politikus bak kutu loncat pindah-pindah partai seiring dengan berubahnya gaya hidup dan kepentingan yang terus bertambah, setelah parpol oposisi kini lebih tergiur berkoalisi, setelah Parlemen yang fungsinya dibungkam lewat sistem, setelah banyak penegak hukum yang bertukar fungsi sebagai pedagang hukum yang menjadikan instrumen hukum elastis dan fleksibel sehingga dapat beradaptasi dengan penguasa, setelah melihat banyak berbagai pihak bersama-sama menyiasati keruntuhan Negeri ini, apakah tidak cukup miris melihat semua irisan fakta yang terjadi saat ini? 


Lantas dimana posisi para akademisi? Di tengah merosotnya indeks elektabilitas pemerintah saat ini, di saat hilangnya stabilitas politik, di mana semua pihak menyunggingkan senyum palsu berperangai busuk menyengsarakan rakyat. 


Bila para akademisi turut dilunakkan lewat kepentingan, uang dan jabatan. Membayangkan rektor, dosen, mahasiswa, guru, anak STM, serta pelajar menjadi alat penunggang kepentingan penguasa, sehingga kebenaran tak lagi milik mereka yang bermoral dan beragama, bukan milik mereka yang berintelektual dan beretika, bukan lagi milik konstitusi dan instrumen hukum yang katanya di sepakati bersama oleh pendiri bangsa, namun kebenaran hanya milik mereka penguasa, yang bisa sesuka hati menjadikan siapapun budak agar selalu mengangguk setuju dan membenarkan atas penyelewengan dan kebobrokan penguasa. 


Bila akademisi kini tak lain hanya seperti mereka yang telah lama pergi meninggalkan akal sehatnya, maka siapa lagi yang dapat menjadi pembela kebenaran dan logika bila tak kita rawat sejak dini akal sehat para pengemban peradaban yaitu mahasiswa. 


Kini tak lagi soal kapan Reformasi, namun juga soal revolsi, yang mungkin terjadi jika para akademisi bersatu menjadi pilar penjaga keseimbangan kebenaran. 


Wallahu A'lam Bisowwab.


Oleh Dian Fitriani

Posting Komentar

0 Komentar