Ironi TKA Masuk Saat PPKM Darurat

Pemerintah telah memberlakukan kebijakan untuk taat protokol kesehatan (prokes) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat, yang diterapkan mulai tanggal 3-20 Juli 2021, bahkan akan memberikan sanksi kepada masyarakat yang melanggar. Nyatanya tenaga kerja asing (TKA) dengan mudah berdatangan pada saat PPKM Mikro Darurat berlangsung. Menurut informasi, 20 pekerja asing asal Tiongkok itu tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanudin pada Sabtu 3 Juli, 2021 pukul 20.10 WITA dengan menumpangi pesawat Citilink QG-426 dari Jakarta. Mereka selanjutnya akan bekerja di PT Huadi Nickel untuk membangun smelter di Kabupaten Bantaeng. Sebelumnya Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulsel, Andi Darmawan Bintang mengatakan ada 9 orang TKA China yang datang pada tanggal 29 Juni 2021 dan 17 orang lainnya pada tanggal 1 Juli 2021.

Hal tersebut mengundang kritik dari berbagai kalangan, salah satunya dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan bahwa kedatangan TKA dari China dan India menggunakan pesawat sewa di tengah pandemi Covid-19 merupakan ironi yang menyakitkan dan mencederai rakyat.

“Ibaratnya buruh dikasih jalan tanah yang becek, tetapi TKA diberi karpet merah dengan penyambutan yang gegap gempita atas nama industri strategis…” ujarnya, (Sumber: Bisnis.com pada Selasa (11/5/2021).

Kritik juga datang dari Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang meminta pemerintah melarang warga negara asing  (WNA) masuk ke Indonesia selama penerapan PPKM Mikro Darurat.

"Selama pemberlakuan PPKM Darurat saya meminta kepada pemerintah agar mengambil langkah tegas dengan melarang WNA masuk ke Indonesia, dengan alasan berwisata maupun bekerja," kata Dasco, (Sumber: CNNIndonesia.com pada Minggu (4/7/2021).

Menurutnya kebijakan larangan WNA masuk Indonesia selama penerapan PPKM Mikro Darurat bisa menjadi langkah antisipasi varian virus baru dari luar negeri masuk ke Indonesia. 

Disamping itu, sebelumnya menurut Jubir vaksinasi Kementrian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengatakan di beberapa negara saat ini sedang terjadi lonjakan kasus Covid-19. Beberapa faktor yang menjadi penyebab peningkatan kasus di negara-negara tersebut adalah mobilitas pergerakan masyarakat, adanya varian baru virus Covid-19 yaitu B.117 asal Inggris, kemudian B.1351 asal Afrika Selatan dan varian mutasi ganda dari India B.1617, sumber:padk.kemenkes.go.id pada Selasa (4/5/2021).

Maka dari itu, masuknya TKA termasuk pada saat PPKM bukankah merupakan salah satu peluang masuknya imported case? Namun hal ini lagi-lagi dibantah oleh pihak pemerintah, salah satunya dari Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi yang mengatakan bahwa masuknya TKA ini seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, karena TKA yang masuk memang berasal dari investor yang menjalankan suatu proyek tersebut. Bahkan koordinator PPKM Darurat sendiri yaitu Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan tidak melarang jika WNA masuk ke Indonesia asal bisa tunjukkan kartu vaksin per 6 Juli, 2021.

Sungguh miris negeri ini, pemerintah menyuruh patuh terhadap PPKM tapi membiarkan WNA masuk ke dalam negeri membuktikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak mandiri dan berasal dari kepentingan asing. Skema investasi yang digembor-gemborkan untuk kepentingan rakyat nyatanya malah tampak jelas hanya untuk kepentingan asing. Bagaimana mungkin rakyat akan percaya dengan pemerintah dan penguasa, jika kebijakan yang dibuat cenderung memprioritaskan pihak asing? Inilah bukti nyata kedzaliman yang terjadi dalam sistem kepemimpinan kapitalisme, fokus pemerintah adalah untuk kepentingan penguasa dan korporat, bukan rakyat. Meski teorinya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat akan tetapi faktanya malah menjadi dari korporat, oleh korporat dan untuk korporat. Karena modal untuk menjadi penguasa dalam sistem kapitalisme ini mahal, alhasil untuk mendapatkan posisi penting dan biaya untuk mendapatkan dukungan yang besar, mereka menggandeng pengusaha sebagai penyuntik modal kampanye dan pencitraan terhadap rakyat. Sehingga pada akhirnya setelah mendapatkan jabatan yang diinginkan, mereka akan menjadi abdi pengusaha bukan abdi negara untuk membalas budi. Fasilitas kesehatan yang belum memadai, pendistribusian bantuan sosial (bansos) yang tidak adil dan merata, hingga pemangkasan biaya pendidikan untuk kepentingan ekonomi merupakan hasil dari kepemimpinan kapitalisme saat ini. Dapat dipastikan kepemimpinan seperti ini tidak akan mampu menangani kondisi di masa pandemi yang semakin parah ini.

Lain halnya apabila negara menggunakan sistem kepemimpinan Islam yang disebut Khilafah. Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan di hari akhir, seperti sabda Rasulullah SAW:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dia pimpin” HR Bukhari. 

Dalam Islam, pemimpin akan berupaya mencurahkan segala potensi yang ada dan tampilnya seorang pemimpin dalam penyelesaian pandemi bagian dari amanah Allah SWT yang akan dipertanggungjawabkan di hari akhir. Orientasi kebijakan pemimpin dalam sistem Islam di masa pandemi pun untuk menjaga nyawa rakyatnya, bukan untuk menjaga stabilitas ekonomi semata dan mengesampingkan keselamatan jiwa rakyatnya seperti yang terjadi saat ini. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat yang menjadi tanggung jawab negara, sehingga dalam Islam fasilitas dan layanan kesehatan akan diberikan secara gratis dan berkualitas kepada rakyatnya. Hal ini juga akan ditunjang dengan anggaran yang kokoh yaitu dari Baitul Mal, yaitu badan yang mengelola keuangan negara berupa zakat yang didapatkan dari rakyat yang memenuhi syarat menjadi muzakki, pajak (jizyah) yang didapatkan dari kafir dzimmi yaitu non-muslim yang berada dalam naungan khilafah sesuai dengan kesepakatan,  hasil dari pengelolaan sumber daya secara mandiri tanpa intervensi asing dan dari hasil usaha yang dilakukan oleh negara lainnya.

Maka dalam kondisi pandemi seperti ini, khilafah akan menyediakan jasa dokter, penggunaan alat medis, obat-obatan dan sarana-sarana penunjang lainnya yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan. Dan untuk proses penyembuhan yang efektif, sedari awal negara akan melakukan pemisahan antara orang yang sakit dan orang yang sehat dengan menggunakan tracing masal gratis, melakukan lockdown lokal untuk mencegah transmisi virus agar tidak menyebar dan orang yang sehat akan tetap dapat menjalani aktivitas seperti biasa dengan menerapkan prokes yang dibutuhkan. Hal ini pun telah terbukti dalam sejarah kepemimpinan Islam pada saat Khalifah Umar bin Khattab, dimana pada saat itu terjadi wabah penyakit tha’un amwas, yaitu penyakit kulit menular yang menyebabkan munculnya benjolan di seluruh tubuh yang apabila benjolan tersebut pecah, penderita akan mengalami pendarahan hingga kematian. Wabah ini merenggut sekitar dua puluh ribu orang dan jumlahnya hampir separuh dari penduduk Syam termasuk di dalamnya ada Abu Ubaidah yang pada saat itu menjadi wali di Syam. Akhirnya Umar bin Khattab mengangkat Amr bin Ash untuk menggantikan Abu Ubaidah sebagai wali di Syam, Amr bin Ash menghimbau masyarakat untuk saling menjaga jarak agar tidak saling menularkan penyakit dan berpencar dengan menempatkan masyarakat di gunung-gunung. Penularan wabah pun dapat diredam dan Syam kembali normal. Ketaatan pada pemimpin dan adanya tanggung jawab dari Khilafah inilah yang membuat rakyat percaya dan patuh terhadap prokes, sehingga wabah dapat ditangani dengan baik. Jika negara saat ini kembali dan menerapkan sistem Khilafah maka niscaya masa pandemi ini akan segera berakhir.

Wallahu a’lam bissawab.


Oleh Deti Kutsiya Dewi




Posting Komentar

0 Komentar