Cuitan di akun Twitter dari seorang dosen ilmu komunikasi UI yaitu Ade Armando menuai cukup kontroversi, pasalnya, pada Minggu, 18 Juli 2021 cuitan di Akun Twitter nya yang membandingkan jumlah kematian akibat Covid 19 di Inggris dengan jumlah kematian di Indonesia bahkan turut menyertakan jumlah penduduk di kedua negara disambut netizen, wartawan bahkan Pakar sosiolog.
"Penduduk Inggris 68 juta, meninggal karena COVID 128 ribu. Penduduk RI 270 juta, meninggal karena COVID 73 ribu," tulis Ade Armando di akun twitter nya.
Akibat cuitan tersebut, tanggapan demi tanggapan terus berdatangan.
Akun "Kawal Covid-19" turut memberikan teguran dan kecaman keras terhadap Ade Armando, pihak "Kawal Covid 19" meminta Ade Armando untuk mengklarifikasi terkait cuitannya yang menimbulkan sejumlah polemik, pihak nya menyebut bahwa seharusnya Ade Armando memperhatikan konteks dan memberikan respon simpati.
Namun bukan lantas memberikan tanggapan yang relevan, Ade Armando melanjutkan Tweet sebelum nya dengan cuitan yang sangat tendensius.
"Selama ini kaum SJW dan Kadrun senang menunjukan jumlah korban meninggal Covid di Indonesia jauh lebih tinggi dari Singapura dan Malaysia. Sekarang kok murka ketika saya menunjukan jumlah korban meninggal akibat Covid di Indonesia jauh lebih rendah dari di Inggris?," kata Ade Armando.
Padahal untuk membandingkan data, maka seharusnya kita memperhatikan pula unsur Siginifikasi statistik yang meningkat, bukan hanya sekedar angka, karena variabel dalam data kuantitatif bukan hanya unsur angka numerik melainkan juga jangka waktu, nilai, hubungan timbal balik antar variabel, sebagai contoh apabila kasus Covid di tinjau dari data interval maka angka bukan satu-satunya variabel yang menjadi barometer, jangka waktu juga tentu menjadi variabel penentu signifikansi data, sebab tolak ukur meningkat atau menurunnya sebuah indeks, tentu tidak lepas dengan nilai rata-rata yang ditentukan dari estimasi waktu.
Sejalan dengan hal tersebut, Pakar sosiologi bencana dari Universitas Teknologi Nanyang Singapura, Prof Sulfikar Amir, turut menanggapi cuitan Ade Armando di Twitter. Menurutnya, membandingkan angka kematian membutuhkan kehati-hatian.B
Dilansir dari detik.com "Membandingkan angka kematian membutuhkan kehati-hatian agar kita paham validitas angka-angka itu dan faktor-faktor pembedanya," tulis Sulfikar Amir lewat akunnya, @sociotalker, Senin (19/7/2021).
Sulfikar menganggap bahwa cara Ade membandingkan angka kematian merupakan bentuk kebodohan dan menunjukkan sikap menyepelekan nyawa manusia yang meninggal, sepatutnya angka kematian yang lebih kecil atau lebih besar bukan hanya dibaca lewat kacamata prestasi melainkan sebagai alat introspeksi dan penentu intervensi kedepannya terlebih sebagai akademisi dan ilmuwan.
"Dalam ilmu bencana, mortalitas dan morbiditas adalah indikator untuk mengukur keparahan suatu bencana. Tetapi para ilmuwan juga beri catatan kritis bahwa angka-angka ini sangat sensitif, politis, dan tidak serta-merta mewakili realitas yang kompleks. Karena itu, butuh wisdom untuk memaparkannya," Ujarnya menambahkan.
Tentunya sebagai Akademisi rasa sensitif dan berhati-hati harus mengiringinya dalam bersikap dan beropini, selain rentan keliru, membandingkan data angka kematian ditengah rasa duka yang dialami masyarakat karena hilangnya nyawa sanak keluarga akibat Covid, adalah tindakan yang amoral dan terkesan meremehkan nyawa dan bukan tidak mungkin justru berpotensi menambah luka, bagi Ade Armando angka kematian hanyalah sekedar angka, namun bagi keluarga yang ditinggalkan, mereka yang pergi adalah sahabat, kerabat, saudara bahkan ayah ibu dan anak.
Ditengah gelombang kedua pandemi Covid 19 tak khayal memberikan duka yang mendalam, tentu saja duka ini tak mudah sembuh terlebih di tengah kondisi terpuruk nya ekonomi dan akses mobilitas karena kebijakan PPKM. Kebijakan PPKM yang juga menjadi sorotan sejumlah tokoh diantaranya Pakar hukum yaitu Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, beliau mengaku heran karena pemerintah memilih menggunakan istilah baru untuk mengambil kebijakan lonjakan kasus Covid 19, pemerintah tidak menggunakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, namun di lain sisi pemerintah menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai alat untuk menghukum warga negara yang melanggar aturan pembatasan kegiatan. Beliau menyimpulkan bahwa ini merupakan akal-akalan pemerintah agar dapat menghindari kewajiban untuk menanggung Kebutuhan dasar warga bahkan hingga hewan ternak milik warga yang tentu ketentuan itu tertera pada UU karantina wilayah.
Maka singkatnya pemerintah kini krisis keuangan, juga moral, selain tidak mampu membiayai kebutuhan dasar warga negara nya kala pandemi, pemerintah pun tidak transparan dan tak berperasaan sesuka hati bongkar pasang instrumen untuk intervensi.
Selain itu sikap pemerintah yang sangat represif dan koersif terhadap warga yang masih bekerja ditengah PPKM berlangsung terkesan primitif dan kuno, memaksa bahkan serangan fisik dilayangkan oleh aparat untuk menertibkan warga yang masih mencari nafkah, terlebih mereka yang hanya dengan penghasilan harian seperti para pedagang kaki lima.
Kini kita dapat menyaksikan bahwa rakyat hanya menjadi korban keteledoran pemerintah di awal masuknya pandemi, yang memilih berguyon dan meremehkan Covid 19, kini ketika warga yang tetap bekerja karena tuntutan kebutuhan sehari-hari yang seharusnya merupakan tanggungjawab pemerintah, justru dianggap meremehkan dan melanggar hukum, Dimanakah pemerintah saat dulu virus masih bisa dicegah dan masih bisa ditangani sedini mungkin? Setelah lonjakan kasus kian meningkat akibat keegoisan penguasa kini warga yang menjadi tumbal nya.
Namun ditengah tekanan kebijakan PPKM, Alih-alih uluran tangan yang datang, cuitan tajam justru datang merobek-robek harapan rakyat, padahal dengan membandingkan angka tentu tak membantu menuntaskan masalah justru terkesan pongah dengan pencapaian yang pada kenyataannya justru berbagai media asing menyoroti lonjakan kasus Covid yang amat signifikan di Tanah air.
Cuitan pengalihan ini seharusnya tak keluar dari lidah anjing istana, ketika rakyat hanya butuh jaminan sosial yang tentu sudah menjadi tanggungjawab Negara, namun hanya menelan angin dan ocehan yang hanya memperdalam sembilu, sudah cukup rakyat dikecewakan oleh kebijakan yang tumpang tindih dan inkonsisten, kebijakan yang tak fokus pada kemaslahatan rakyat, yang hanya lari dari tanggung jawab, sudah kenyang rakyat menderita dengan segala hiruk-pikuk kebijakan yang menuai keresahan dan kesusahan, maka dengan cara apalagi pemerintah terus memperpanjang derita rakyat?
Bukan hanya krisis Kesehatan dan ekonomi, kini negeri mengalami krisis elektabilitas, ketika pemerintah tak berkapasitas menjadi pemimpin, kekuasaan hanya menjadi jalan pemenuhan kepentingan pribadi nya semata, kini negeri pun mengalami krisis moral, tak berperasaan mengakali hukum demi lari dari tanggungjawab, melemparkan kebijakan yang menghukum rakyat di tengah kesusahan dan kesengsaraan, bahkan tanpa rasa simpati, duka yang dialami warga justru hanya dianggap angka statistik belaka.
Inilah gambaran kebobrokan penguasa di bawah genggaman sistem neoliberal, di mana orientasi kekuasaan hanya alat pemuas hasrat politik dan nafsu pribadi, perangkat transaksi kepentingan, dan bukan mustahil, nyawa rakyat tak menjadi prioritas dan bahkan dikorbankan demi kepentingan penguasa.
Kini sadarilah dan bangunlah dari mimpi panjang mengharap sistem pemerintahan ini lekas membawa kemaslahatan, kita tak usah lagi bermimpi di siang bolong, berharap nanti akan lahir pemimpin yang adil dari sistem yang bobrok, semua yang ditawarkan hanya manisan bibir kala kampanye sebagai bunga Demokrasi, padahal telah bertubi-tubi narasi pembenaran datang lewat hukum yang dipelintir, berkali-kali rakyat dibohongi dengan janji, segalanya hanya pemanis buatan yang sekejap menghipnotis mata, namun pada akhirnya semua hanya soal waktu negeri ini hancur dilahap oleh kebodohan dan kebobrokan sistem neoliberal serta penganutnya.
Wallahu A'lam Bisowwab.
Oleh Dian Fitriani (Pegiat Opini, Mahasiswi Kesejahteraan Sosial)
0 Komentar