Tingginya kasus kematian akibat isolasi mandiri (isoman) di Kota Bogor dilansir SindoNews.com pada hari Senin, 12/07/2021, sebanyak 40 pasien covid-19 Kota Bogor melakukan isoman di rumah meninggal dunia selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Kota Bogor. Tercatat, rekor pasien isoman yang meninggal dunia mencapai 11 orang pada Minggu 11 Juli 2021. Wakil Walikota Bogor Dedie A. Rachim menyebutkan, pada umumnya kondisi pasien itu hanya bergejala ringan sehingga melakukan isolasi mandiri. Tetapi kemungkinan mereka mengalami penurunan drastis terutama pada saturasi oksigen.
Kasus kematian pasien covid-19 yang sedang melakukan isoman di rumah, erat kaitannya dengan terbatasnya daya tampung rumah sakit yang ada di Kota Bogor, sehingga mereka terpaksa harus melakukan isoman, tanpa disertai pengawasan dan pelayanan secara intensif dari tenaga kesehatan. Tidak dipungkiri, sejak serangan gelombang covid-19 yang kedua ini membuat panik seluruh jajaran pemegang kekuasaan dan membuat kewalahan tenaga kesehatan dalam menanggulangi pasien yang terpapar covid-19. Oleh karenanya, rumah sakit-rumah sakit mengambil kebijakan hanya menerima pasien yang kondisinya gawat, sedangkan pasien yang bergejala ringan diarahkan untuk melakukan isoman di rumah.
Ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi gelombang kedua serangan virus covid-19, menjadi bukti minimnya pelayanan kesehatan yang disediakan oleh negara. Kalaupun ada rumah sakit yang kosong dengan fasilitas yang lengkap, rumah sakit tersebut adalah rumah sakit milik swasta yang tentu saja biayanya sangatlah mahal. Sehingga yang mampu mendapatkan akses pelayanan di rumah sakit tersebut adalah orang-orang yang berduit dan mampu untuk membayar biaya rumah sakit tersebut. Sedangkan yang tidak mampu harus berjuang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari rumah sakit umum, bahkan tak jarang ada yang meregang nyawa sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan sama sekali.
Ironis, negara kita yang dikenal zamrud khatulistiwa mengalami krisis ekonomi dan krisis keuangan sedemikian rupa. Ini semua terjadi karena pengelolaan kekayaan alam yang melimpah ruah diserahkan secara kepada asing dan aseng. Walhasil negara hanya mendapatkan sekian persen saja dari hasil kekayaan alamnya. Sebagai institusi berwewenang seharusnya negara memiliki tanggung jawab untuk mengelola kekayaan alam tersebut dan hasilnya diberikan untuk menjamin semua kebutuhan pokok rakyat termasuk dalam hal ini adalah pelayanan kesehatan.
Namun yang terjadi justru pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan diserahkan pada mekanisme pasar atau swasta. Sehingga pelayanan kesehatan di kala pandemi pun tak luput dari unsur bisnis demi meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Pihak yang paling diuntungkan dalam hal ini adalah para korporasi yang dijembatani oleh pemerintah. Alih-alih memikirkan nasib rakyat untuk menyelamatkan jiwa mereka dari wabah virus, yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah lebih berkhidmat pada para korporasi.
Inilah potret penerapan sistem kapitalisme yang masih terus bertahta di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme negara hanya memposisikan dirinya sebagai regulator (pembuat aturan) saja. Pelaksana teknis diserahkan pada mekanisme pasar dengan melibatkan swasta. Oleh karenanya, untung rugi menjadi landasan lahirnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, walaupun nyawa rakyatnya harus dipertaruhkan. Sejak awal masuknya covid-19 di negeri ini, penanganan yang diberikan oleh rezim sarat dengan orientasi materi. Pertimbangan ekonomi lebih utama dibandingkan nyawa rakyatnya.
Gambaran di atas sangat berbeda jauh dengan sistem islam, yakni khilafah. Khilafah menjadikan kesehatan sebagai salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh negara tanpa ada kompensasi apapun. Islam menetapkan paradigma pemenuhan kesehatan ini sebagai sebuah jaminan yang harus dipenuhi oleh negara. Khilafah mengadakan layanan kesehatan berikut sarana dan prasarana pendukungnya dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin. Semua mendapatkan layanan yang sama dengan kualitas terbaik.
Institusi khilafah yang dipimpin oleh khalifah tidak lain adalah pelayan urusan masyarakat (riayah su’unil ummah). Rasulullah saw bersabda: “Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Al-Bukhari). Khilafah tidak mengkomersilkan layanan kesehatan kepada rakyatnya. Khilafah justru wajib menyediakan sarana kesehatan, rumah sakit, obat-obatan, tenaga medis dan sebagainya secara menyeluruh.
Rasulullah Saw. dan para khalifah telah melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Nabi Saw. sebagai kepala negara di Madinah pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi Saw. mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat. Dari Annas ra menuturkan bahwa serombongan orang dari kabilah Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah Saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola oleh baitumal dekat Quba. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim).
Semua itu menjadi dalil bahwa pelayanan kesehatan wajib dilakukan oleh negara dan bukan yang lain. Negara harus mandiri dan tidak bersandar maupun bekerjasama dengan pihak swasta. Pada masa penerapan islam sebagai aturan kehidupan bernegara, hampir setiap daerah terdapat tenaga medis yang mumpuni dan ahli dibidangnya. Negara tentu sangat memperhatikan penempatan tenaga ahli kesehatan di setiap daerah. Islam tidak membatasi kebolehan pasien menginap selama sakitnya belum sembuh tanpa harus memikirkan biaya yang harus dibayarkan karena negara memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma (gratis).
Selain itu, negara juga bertanggung jawab untuk mengelola penyelenggaraan sistem kesehatan termasuk pendidikan kedokteran dan keperawatan. Kebijakan sistem pendidikan khilafah yang bebas biaya dengan kurikulum yang berbasis akidah islam menjadi jalan lahirnya para dokter dan tenaga medis lainnya dengan kompetensi unggul dan jumlah yang memadai. Para dokter dan tenaga medis inilah yang kemudian dipekerjakan pada institusi-institusi pelayanan kesehatan. Mereka digaji secara layak dan diberikan tugas sesuai kompetensinya.
Demikian pula dengan pengadaan sarana prasarana terkait bidang kesehatan. Khilafah mencurahkan segenap potensinya untuk memenuhi kebutuhan kesehatan seluruh masyarakat. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak swasta maupun masyarakat. Jika hal ini terjadi, maka pemerintahnya berdosa dan akan dimintai pertanggungjawaban secara langsung oleh Allah swt.
Jaminanan pemenuhan kebutuhan kesehatan oleh negara tidak lantas menutup peluang bagi masyarakat untuk saling membantu antar sesama. Islam justru menganjurkan kaum muslimin saling membantu (ta’awun) sesama manusia, sebagaimana dalam firman-Nya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan (TQS Al Maidah: 2). Namun konsep ta’awun dalam kehidupan islam sangat berbeda dengan kondisi penerapan sistem kapitalis yang justru menempatkan bantuan dari sesama rakyat sebagai pengalihan atas ketidakmampuan negara dalam menjamin kebutuhan rakyatnya.
Dalam Islam, potensi intelektual muslim juga tidak boleh terbajak oleh kepentingan bisnis industri kesehatan. Kehidupan yang didesain untuk memberdayakan kehidupan manusia, bukan menghidupkan mesin-mesin pemutar uang untuk industri kesehatan ala kapitalis. Kapitalisme telah gagal karena menjadikan sumber daya alam bahkan sumber daya manusia sebagai aset bagi mekanisme putaran pasar/uang semata. Dalam model kesehatan Islam, intelektual para ahli di bidang kesehatan difungsikan untuk menginovasi produk-produk kesehatan termasuk obat agar negara mampu melayani seluruh rakyatnya dengan baik. Ilmu didedikasikan bukan untuk industri global. Negara punya peran untuk mengurus kemaslahatan rakyat, yang tidak semua hal harus dipandang dengan kacamata bisnis.
Inilah gambaran sistem pelayanan kesehatan dalam islam, yang dibutuhkan oleh rakyat saat ini. Tentunya penerapan sistem pelayanan kesehatan bisa sempurna ketika terintegrasi dengan sistem kehidupan lainnya secara keseluruhan. Disinilah nilai penting tegaknya khilafah yang menerapkan seluruh aspek kehidupan sesuai dengan aturan Allah Swt, zat yang Maha Sempurna.
Cengkeraman kapitalisme yang menaungi rakyat saat ini, hanya menjadikan rakyat sebagai tumbal atas keserakahan sistem batil dan rusak. Sudah saatnya rakyat beralih dan memperjuangkan sistem ilahi agar kembali tegak dalam kehidupan saat ini. Sistem kehidupan islam yang akan mewujudkan kesejehteraan dan keselamatan setiap jiwa rakyat. Sistem kehidupan yang diberkahi Allah Swt. di dunia dan di akhirat. Wallahu a’lam.
Penulis : Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)
0 Komentar