Minta Maaf ala Pejabat : Basa Basi Sekadar Lewat

Pandemi covid-19 sudah berlangsung hampir 1,5 tahun. Namun, hingga kini Indonesia belum berhasil mengendalikan pandemi. 


Penanganan pandemi yang tak terkendali akhirnya membuat sejumlah pejabat republik ini menyampaikan permintaan maaf, seperti halnya pemimpin negara lain. Tetapi bukan Presiden Jokowi, melainkan dari pemimpin daerah hingga menteri.


Para pejabat dan elit politik serempak meminta maaf kepada publik dalam waktu yang berdekatan antara lain Koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali Luhut B. Pandjaitan, Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Jawa Timur Khofifah, hingga Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. 


"Sebagai koordinator PPKM Jawa-Bali dari lubuk hati yang paling dalam saya meminta maaf ke seluruh rakyat indonesia, jika dalam penanganan Jawa-Bali ini msh belum optimal," ujar Luhut.(Kumparan.com, 17/7/2021).


Tak kalah dengan Luhut,  Menteri BUMN Erick Thohir pun meminta maaf kepada segenap rakyat Indonesia apabila penugasan yang diberikan kepada Kementrian BUMN dalam  penanganan covid-19 belum sempurna. "Kementerian BUMN dengan segala kerendahan hati memohon maaf ketika penugasan-penugasan yang diberikan kepada kami tidak sempurna, karena kesempurnaan milik Allah SWT." (CNNIndonesia.com/19/7/2021). 


Ramainya pernyataan minta maaf para pejabat publik ini tentu perlu diapresiasi. Namun, amat disayangkan, pernyataan tersebut hanya menyasar kebijakan yang dibuat selama PPKM beberapa pekan terakhir. Permintaan maaf tidak sedikit pun menyinggung hal yang fundamental, antara lain:


 Pertama, kegagalan respons pemerintah sejak pandemi bermula di Indonesia. Sebut saja Menteri Kesehatan Terawan yang  saat itu berulangkali meremehkan risiko Covid-19, Menteri Pertanian Yasin Limpo yang menawarkan solusi pseudosains lewat kalung penangkal Corona, hingga Menteri Sosial Juliari Batubara yang terjerat kasus korupsi bantuan sosial covid-19. Ini belum termasuk kompilasi sejumlah pejabat publik lainnya yang sedari awal bersikap denial terhadap covid-19,meremehkan, bahkan menjadikannya bahan guyonan. 

Dengan kata lain, kegagalan pejabat-pejabat ini adalah adalah kegagalan sistematis tata kelola pemerintahan.Maka,permintaan maaf sudah semestinya datang dari kepala negara tertinggi yakni Presiden Joko Widodo.


Kedua, sekadar meminta maaf tidak  cukup jika banyak hal kritis justru belum dilakukan secara maksimal. Misalnya, karantina wilayah yang konsisten, jaminan kebutuhan harian rakyat selama karantina wilayah berlangsung ,tes swab gratis dan mudah, akses vaksin secara gratis dipermudah dan dipercepat, insentif dan  perlindungan nakes, hukum yang adil bagi pejabat/kerabat pelanggar prokes, serta memassifkan 3T (testing, tracing, treatment).


Ketiga, permintaan maaf pejabat publik yang terkesan setengah hati menangani pandemi, seakan menegaskan bahwa yang mereka lakukan hanyalah untuk

'menambal' citra. Serta salah satu _exit strategy_ untuk keluar dari posisi terpojok karena gagal tangani pandemi. Seharusnya permintaan maaf tersebut sejalan dengan perbaikan sistem penanganan pandemi yang lebih baik, bukan malah mengurangi jumlah tes agar kasus tampak menurun(baca: Kasus Covid-19 Turun, tetapi Testing Juga Anjlok, Kompas.com,19/7/2021).


Memang benar apa yang dikatakan Erick Thohir, kesempurnaan hanya milik Allah. Namun rakyat  tidak  menuntut kesempurnaan, tapi keseriusan, fokus dan tepat dalam menangani pandemi. Agar dapat meminimalisir kematian akibat covid-19 dan menahan laju masyarakat yang terpapar. Sebab sampai hari ini saja, angka kematian harian Indonesia akibat covid-19 masih tertinggi di dunia.(Kontan.co.id,21/7/2021).


Minta maaf level pejabat tinggi yang terkait nyawa rakyat tentu tidak cukup hanya dalam pernyataan saja. Wajar jika rakyat menganggap permintaan maaf itu hanya basa basi sekadar lewat. Sebab satu persatu nyawa rakyat itu sangat berharga, setidaknya bagi keluarganya. Bahkan dalam pandangan Islam, nyawa manusia  jauh lebih berharga dibanding kepentingan satu negara atau  kepentingan satu dunia sekalipun. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ


“Musnahnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim.”  (HR. Muslim, An Nasa’i dan At Tirmidzi).


Sebab itulah ketika sistem Islam diterapkan, negara Khilafah tak akan segan-segan memberlakukan lockdown dengan tetap menjamin kebutuhan dasar rakyat tanpa terkecuali, memassifkan 3T dengan cepat dan teliti, serta memperkuat dan meningkatkan sistem kesehatan mulai dari fasilitas, tenaga kesehatan, obatan-obatan,  dan lain-lain. 


Khalifah sebagai kepala negara berada di garda terdepan dalam memikul tanggung jawab tangani wabah. Ketika terjadi musim paceklik berkepanjangan selama sembilan bulan, Khalifah Umar bin Khattab hanya memakan minyak dan cuka dan tidak pernah kenyang karenanya. Beliau merasa bersalah apabila kenyang memakan roti dan susu, sedangkan rakyatnya ada  yang terlantar dan mati kelaparan karena bencana kekeringan yang melanda wilayah Hijaz. 


Beliau cepat tanggap membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul maal hingga gudang makanan dan baitul maal kosong total.

Semua potensi negara dikerahkan untuk mengatasi bencana tersebut. Tak lagi hitung menghitung untung rugi. 


Berbeda dengan hari ini, penguasa sibuk menggenjot perekonomian, namun mengabaikan kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat. Berbagai kebijakan rem-gas yang bergonta-ganti nama  mulai dari PSBB, PPKM Mikro,PPKM darurat, dan yang terbaru PPKM level 1-4 , justru dikhawatirkan para ahli tidak akan efektif menahan laju kasus wabah. Bahkan lebih buruk lagi, menjadi bom waktu berupa ledakan kasus yang siap mengejutkan siapa saja. 


Sistem kapitalisme membuat penguasa hari ini lebih takut pada ancaman runtuhnya ekonomi dan profit pemilik modal daripada kehidupan jutaan rakyat. Jika rakyat memandang satu kematian sebagai tragedi, penguasa melihat lonjakan kematian hanya pertambahan angka-angka statistik.


Tak ada artinya minta maaf bagi penguasa jika enggan melepaskan jabatan dan hasrat kekuasaan. Padahal dalam Islam, kekuasaan bukanlah penghargaan, namun ia adalah amanah yang akan mendatangkan kerugian dan penyesalan tiada terkira bagi yang tidak kapabel untuk memikulnya. 


Untuk mengakhiri pandemi ini, kita tidak bisa lagi menggantungkan harapan kita pada penguasa yang ada dan sistem kapitalisme yang berkuasa. Sebab mereka telah terbukti gagal total atasi pandemi global saat ini. Pilihannya adalah: kapitalisme yang mengubur kita atau kita yang mengubur kapitalisme itu sendiri.[]


Oleh : Nurina P. Sari

Posting Komentar

0 Komentar