Serangan badai Covid-19 kedua yang menghantam negeri ini menyisakan berbagai macam permasalahan baru. Salah satunya kelangkaan obat yang dibutuhkan oleh pasien yang terpapar Covid-19 akibat ulah pemilik apotik di Kota Bogor. Di lansir dari Radar Bogor pada 16 Juli 2021, Polresta Bogor Kota berhasil menangkap tiga pemilik apotik yang menjual obat hingga dua kali dari harga pasaran yang telah ditetapkan. Obat-obatan jenis ivermectin, favipiravir dan oseltamivir dijual pelaku dengan memanfaatkan penjualan secara online dengan harga tinggi hingga menjual obat di luar wilayah Kota Bogor.
Kondisi pandemi seperti saat ini tidak serta merta membuat orang prihatin. Namun, kondisi ini justru dimanfaatkan orang-orang tertentu untuk meraup keuntungan. Hal ini membuktikan menurunnya tingkat kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap apa yang menimpa anggota masyarakat lainnya. Hingga obat pun tak luput dipandang dari kacamata bisnis.
Kebutuhan obat-obatan yang cenderung meningkat kala pandemi menyebabkan obat-obatan tersebut mengalami kelangkaan yang dibarengi kenaikan harga. Hal ini dimanfaatkan oleh pelaku bisnis untuk melakukan penimbunan obat dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Tidak dipungkiri, sistem kapitalisme yang diterapkan pada seluruh aspek kehidupan manusia, secara tidak langsung telah memfasilitasi aksi penimbunan. Aksi penimbunan menjadi sangat mungkin, bahkan sangat mudah dilakukan. Pasalnya, kebebasan kepemilikan menjadi prinsip dasar dalam ekonomi kapitalisme.
Masyarakat yang lemah iman dan cinta dunia serasa mendapat angin segar demi meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan cara melakukan penimbunan. Hal yang sah-sah saja terjadi dalam ekonomi kapitalis. Bukan hanya penimbunan obat, bahkan semua kebutuhan pokok masyarakat tak luput dari aksi para penimbun yang sering dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu, seperti kemarau yang mengakibatkan gagal panen sehingga pasokan beras menurun. Kebutuhan pokok lainnya pun tak lepas dari penimbunan oknum pengusaha. Mereka yang ingin memperkaya diri tanpa memikirkan nasib masyarakat yang kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok tersebut. Hal ini sering terjadi berulang-ulang tanpa ada solusi komprehensif untuk menanggulanginya.
Aksi penimbunan ini jika dibiarkan terus menerus akan membahayakan jiwa masyarakat, apalagi jika terkait dengan kesehatan. Sehingga diperlukan solusi komprehensif untuk mencegah dan mengantisipasi agar aksi penimbunan tidak terulang kembali. Bukan hanya terhadap obat-obatan yang dibutuhkan kala pandemi, melainkan juga semua kebutuhan pokok masyarakat lainnya. Karena itu semua merupakan hajat hidup masyarakat yang memerlukan peran negara sebagai institusi yang diberikan amanah untuk mengurusi urusan masyarakat.
Islam sebagai agama sekaligus ideologi, memiliki aturan yang sempurna dalam mengatur semua urusan manusia dalam kehidupan termasuk bernegara. Dalam Islam, penimbunan (al-ihtikar) adalah aktivitas yang diharamkan secara mutlak. Hal ini ditegaskan dalam hadis. Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah orang yang melakukan ihtikar itu melainkan berdosa” (HR. Muslim). Islam memandang bahwa praktik penimbunan barang (al-ihtikar) sebagai praktik curang yang dapat menggelembungkan harga akibat langkanya barang di pasaran. Karena kelangkaan bukanlah fakta yang terjadi sebenarnya, melainkan rekayasa pemilik barang. Selain itu, praktik penimbunan sebagai bentuk kejahatan yang diharamkan, karena dapat merugikan dan mempersulit masyarakat.
Adapun jika terjadinya kenaikan harga-harga pada masa peperangan atau krisis politik yang bisa berakibat tidak tersedianya barang disebabkan penimbunan, maka dalam hal ini khalifah selaku penanggung jawab urusan rakyat wajib menyediakan barang itu di pasar dengan mendatangkannya dari berbagai tempat. Langkah ini sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kelangkaan barang dan kenaikan harga yang bisa merugikan masyarakat. Pada saat yang sama khalifah akan menindak tegas para pelaku penimbunan tersebut.
Khalifah Umar bin Khattab, pada masa paceklik dan terjadi kelaparan di Hijaz akibat kelangkaan makanan serta melonjaknya harga barang, khalifah tidak mematok harga tertentu untuk makanan. Akan tetapi, khalifah Umar bin Khattab mengirim surat kepada wali Mesir dan Syam, agar mendatangkan makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz sehingga harga turun tanpa perlu melakukan pematokan harga yang tidak diperbolehkan dalam Islam.
Dalam hal ini, Islam memiliki solusi tuntas untuk memberantas aksi penimbunan, yakni dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Al Muhtakir (orang yang menimbun) akan diberikan sanksi ta’zir dengan mengharuskannya menawarkan barangnya di tempat dagang agar masyarakat membelinya dengan harga pasar. Jika barang itu hanya ada pada dia saja, maka negara harus menyediakan barang tersebut di pasar. Sehingga pedagang itu tidak dapat mengendalikan harga barang tersebut.
Dalam bidang kesehatan, syariat Islam menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang menjadi tanggung jawab negara. Negara sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi kebutuhan kesehatan dan memastikan bahwa setiap rakyatnya mendapatkan jaminan kesehatan yang layak dan berkualitas dari negara. Sehingga negara akan menutup rapat celah-celah bagi para spekulan mencari keuntungan dengan memainkan harga.
Khilafah tidak akan menyerahkan urusan kesehatan rakyatnya kepada siapapun yang bertujuan mencetak keuntungan bukan untuk melayani rakyat. Islam meletakkan dinding tebal antara kesehatan dengan kapitalisasi, sehingga kesehatan bisa diakses oleh siapapun tanpa ada kastanisasi secara ekonomi. Semua pelayanan kesehatan tersebut diberikan secara gratis kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Untuk membiayai semua pelayanan kesehatan dan pelayanan kebutuhan pokok lainnya, khalifah mengambil dananya dari baitul mal yang bersumber dari harta milik negara baik fai, ghanimah, jizyah, usyur, kharaj dan lain-lain. Dan dari harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam dan barang tambang. Jika semua itu belum cukup, khalifah akan membuka peluang infak yang disebut sebagai tabarruat dari kaum muslimin. Jika masih belum cukup juga, barulah negara akan memungut dharibah (pajak) hanya kepada laki-laki muslim dewasa yang kaya.
Dengan sumber dana dari baitul mal, khilafah akan dengan mudah memenuhi dan menjamin pelayanan kesehatan bagi rakyatnya secara gratis. Hal ini tentunya menutup celah bagi para penimbun yang hendak memainkan harga. Inilah fakta pelayanan kesehatan pada masa kekhilafahan yang terukir dalam tinta emas sejarah kegemilangan peradaban Islam dalam rentang waktu yang sangat panjang. Model pelayanan kesehatan terbaik, buah penerapan Islam secara kaffah, hanya dapat terwujud dalam naungan Khilafah Islamiyyah. []
Penulis : Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)
0 Komentar