Pemerintah berencana untuk memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang pada awalnya ditetapkan berlaku sampai tanggal 20 Juli 2021. Perpanjangan masa PPKM ini karena melihat angka lonjakan kasus covid-19 di Kota Bogor semakin hari semakin tak terkendali. Dilansir pada Radar Bogor 14/07/2021, kasus covid-19 di Kota Bogor mencapai rekor tertinggi sempat berada pada angka 648 orang per hari. Wakil Walikota Bogor Dedie A. Rachim menyatakan sejak awal mencemaskan lonjakan yang terjadi secara beruntun. PPKM darurat selama dua pekan belum terbukti menekan laju penyebaran wabah yang semakin luas.
Kota Bogor menyatakan dukungannya terkait kebijakan pemerintah pusat memperpanjang PPKM darurat, untuk menekan mobilitas masyarakat yang berakibat jumlah orang yang terpapar covid-19 semakin bertambah banyak. Hal ini juga dilakukan mengingat ketersediaan fasilitas kesehatan yang semakin berkurang ditambah tenaga kesehatan (nakes) juga banyak yang terpapar. Sehingga perpanjangan PPKM ini dianggap sebagai langkah ampuh pemerintah untuk mencegah dan mengantispasi penyebaran covid-19.
Perpanjangan masa PPKM ini tentu saja menuai polemik di tengah masyarakat terutama para pedagang, supir angkot dan masyarakat kecil menolak kebijakan tersebut. Pasalnya, kebijakan ini sangat berdampak pada perekonomian mereka. Mereka kesulitan mendapatkan sumber penghasilan sejak Covid-19 melanda negeri ini. Perpanjangan PPKM akan membuat kehidupan mereka semakin terpuruk. Sementara kebutuhan perut menuntut untuk dipenuhi, belum lagi kebutuhan-kebutuhan yang lainnya.
Walaupun pemerintah memberikan bantuan sosial sebesar Rp. 600.000,- kepada 77.526 warga yang terdampak PPKM darurat, sejatinya bantuan tersebut tidaklah mencukupi kebutuhan sehari-hari masyarakat selama sebulan. Karena masyarakat tidak hanya butuh makan, tetapi juga memerlukan biaya pendidikan bagi anak-anak mereka serta biaya air dan listrik yang juga harus dibayarkan setiap bulannya.
Gambaran kondisi yang dialami oleh masyarakat saat ini ibarat makan buah simalakama. Jika mereka hanya berdiam diri di rumah, mereka akan kelaparan. Namun jika mereka keluar untuk mencari nafkah, mereka sangat rentan terpapar virus Covid-19. Mereka dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama memiliki kosekuensi yang berat. Miris nian nasib rakyat yang hidup di negeri yang dikenal gemah ripah loh jinawi. Alih-alih dapat merasakan kehidupan yang tenteram dan makmur, namun sebaliknya kemiskinan menjadi potret sehari-hari yang harus dijalani oleh rakyat.
Kebijakan perpanjangan PPKM ini menunjukkan kegagalan penguasa kapitalis dalam meriayah urusan rakyatnya. Karena kebijakan ini hanya menambah penderitaan rakyat di kala pandemi, yang menjadikan kehidupan rakyat semakin menderita. Seharusnya kebijakan PPKM ini tidaklah perlu untuk dilakukan, jika pemerintah sejak awal wabah menerapkan lockdown untuk mencegah penyebaran wabah agar tidak meluas. Namun, pemerintah selalu memberikan dalih bahwa negara tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat jika menerapkan lockdown.
Yang lebih membuat miris lagi, pada saat masyarakat diberlakukan PPKM darurat, di sisi lain penguasa memberikan kelonggaran pada tenaga kerja asing (TKA) dengan leluasa masuk ke Indonesia. Padahal masuknya TKA menjadi salah satu sumber masuknya wabah ke dalam negeri ini. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah hanya pro kepada para korporasi, dengan menjadikan rakyat sebagai ‘tumbal’ dari berbagai kebijakan tambal sulam yang diberlakukan.
Fakta ini sangat berbanding terbalik dengan syariat islam yang diterapkan oleh daulah islam (khilafah). Khalifah sebagai kepala negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin kebutuhan pokok rakyatnya baik dalam kondisi ketika terjadi wabah maupun pada saat tidak ada wabah. Rasulullah Saw bersabda, ”Pemimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Islam memiliki tuntunan penanganan wabah penyakit yang menimpa masyarakat jauh sebelum wabah Covid-19 melanda dunia, sejak 14 abad yang lalu dengan prinsip karantina (lockdown) sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran wabah penyakit. Selain itu negara pun melakukan test dan tracing untuk memisahkan yang sakit dengan yang sehat. Yang sakit dikaratina dan diberikan fasilitas kesehatan yang berkualitas, sedangkan yang sehat bisa menjalankan aktivitasnya tanpa ada rasa khawatir akan terpapar wabah penyakit.
Negara pun wajib menjamin dan memenuhi kebutuhan dasar rakyat di wilayah yang diterapkan lockdown. Jaminan kebutuhan pangan dengan kadar gizi terbaik dan halal, vitamin untuk mendukung imunitas bagi setiap rakyat. Selain itu, negara harus menyediakan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, poliklinik, puskesmas, laboratorium pengobatan dan fasilitas lainnya secara memadai. Wajib memberikan perlindungan ganda berlapis bagi para nakes baik dokter, perawat, laboran dan lainnya karena mereka yang berjuang di garda terdepan dalam menangani pasien.
Mekanisme penanganan pandemi seperti ini, tentu saja membutuhkan sistem yang handal dan pemimpin yang bervisi akhirat yang memahami benar tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sebagai pihak yang diberikan amanah oleh Allah Swt. Realitanya, sistem handal seperti ini hanya bisa diwujudkan dengan penerapan islam kaffah dalam bingkai khilafah. Sebab mustahil berhasil menangani wabah jika sistem dan pemimpinnya bukan berdasarkan aturan Islam, aturan dari Sang Khaliq, Allah Swt. []
Penulis : Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)
0 Komentar