Buntut panjang dari unggahan meme yang berisi gelar "lip service" Kepada Presiden Jokowi lewat akun media sosial resmi milik BEM UI tak berhenti sampai di pemanggilan 10 anggota BEM oleh pihak rektorat, bahkan peretasan akun sosial media, dan serangan digital turut menjadi bagian dari episode buntut panjang kritikan tersebut.
Sikap 'kebakaran jenggot' yang terlihat dari 'grasak grusuk' pihak rektorat dengan segera memanggil 10 anggota BEM pasca unggahan viralnya, serta permintaan penghapusan dan klarifikasi ngaco yang menyebut kritikan BEM UI menghina lambang negara pun menjadi pusat perhatian media, tentu saja bukan hanya ketua BEM yang disorot, isu pemanggilan anggota BEM pun menarik status Rektor UI ke media publik.
Usut punya usut, ternyata Rektor UI Ari Kuncoro merangkap jabatan Wakil Komisaris utama di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga diduga sikap represif terhadap kritik BEM UI kepada Presiden Jokowi ditenggarai oleh statusnya yang juga merangkap sebagai Penjabat BUMN.
Mengacu pada statuta UI yang melarang Rektor merangkap jabatan, maka hal ini pun menjadi sorotan para tokoh, diantaranya Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid, beliau mendesak Rektor untuk mundur dari jabatannya sebagai Rektor, pasalnya apa yang dilakukan Ari, menurut Ubaid, merupakan sebuah contoh perilaku cacat moral.
Dilansir dari Liputan6.com
"Sebagai pertanggungjawaban publik dan cacat moral, mestinya dia mundur dari jabatan rektor," kata Ubaid, Selasa (29/6/2021).
Statuta UI yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia, rangkap jabatan yang dilakukan rektor UI tersebut merupakan tindakan melanggar hukum.
Pada pasal 35 Statuta UI disebutkan bahwa rektor dilarang rangkap jabatan pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta.
Namun alih-alih desakan mundur dan kecaman keras dari berbagai pihak disambut Rektor UI dengan mundur secara terhormat dari jabatannya, namun publik justru dihebohkan oleh kabar terbitnya revisi Statuta UI pada Rabu, 21 Juli 2021.
Statuta yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 ini menggantikan aturan sebelumnya dalam PP Nomor 68 Tahun 2013. Statuta UI tahun 2013 memuat larangan rektor UI untuk rangkap jabatan sebagai komisaris BUMD/BUMN.
Yang menjadi sorotan media yaitu Pasal 35 huruf C Statuta UI 2013 berbunyi "Rektor dan wakil Rektor dilarang merangkap sebagai: pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta."
Pada versi yang lama, diksi yang digunakan adalah 'penjabat' sedangkan pada versi terbaru diksi yang digunakan adalah 'direksi' sehingga diperbolehkan bagi Rektor UI merangkap jabatan selama tidak menjadi direktur sebuah instansi.
PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI ini sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 2 Juli 2021 silam.
Revisi Statuta UI pun menuai banyak tanggapan, diantara tanggapan yang dilayangkan yakni dari Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Bramantyo Suwondo, mengomentari hal ini, menurutnya perubahan aturan itu mengindikasikan bahwa perubahan ini hanya langkah reaktif pemerintah untuk meredam kekecewaan publik. Ia pun menyinggung sikap pemerintah yang seenaknya merubah aturan sesuai kepentingan penguasa, “Kalau aturan bisa disesuaikan dengan selera penguasa, akan menjadi negeri apa kita? Kalau kampus seharusnya menjadi benteng terakhir terkait integritas dan kredibilitas. Kali ini Universitas Indonesia malah seakan dirusak kredibilitasnya oleh aturan ini,” pungkasnya.
Selain datang dari Anggota DPR, tanggapan keras pun datang dari Pengamat politik, Ujang Komarudin. Beliau menilai bahwa revisi Statuta UI adalah upaya rezim Jokowi untuk mengendalikan kampus dari dalam,
Ujang menambahkan, ada kepentingan pemerintah untuk 'menjinakkan' kampus. Supaya kampus menjadi tidak kritis dan bisa dikendalikan pemerintah.
"Kepentingannya tentu, pemerintah ingin rektornya jinak, ingin pemimpin tertinggi di kampus UI tersebut tak kritis pada pemerintah, dan agar rektornya bisa dipegang dan dikendalikan," Pungkasnya.
Tanggapan serupa pun datang dari anggota DPR Fraksi PKS, Mardani Ali Sera. Beliau menilai bahwa revisi Statuta UI ini sarat akan kepentingan bahkan menyebut adanya transaksi kekuasaan.
Dilansir dari Suara.com "Ini sangat menyedihkan. Institusi harus tunduk pada kepentingan pribadi. Mengurus UI yang besar dan jadi tumpuan negara mencerdaskan kehidupan bangsa saja sudah amanah besar, perlu waktu sepenuhnya," ucap Mardani, Rabu (21/7/2021).
Revisi Statuta UI merupakan reaksi dari ancaman masyarakat terhadap aktivitas penjabat kampus yang sarat kepentingan penguasa, tindak lanjut dari ancaman dan kecaman ini justru di bungkam dengan terbitnya hukum baru yang melegitimasi pelanggaran hukum sebelum nya, sikap rezim yang hanya memandang hukum sebagai kalimat yang dengan ringan dapat di edit menyesuaikan selera tanpa instrumental, maka peraturan tak lebih hanya sekedar prosedur tanpa makna, peraturan dibuat hanya berdasarkan kepentingan penguasa, inkonsistensi pada peraturan akan merusak makna kredibilitas dan stabilitas hukum, terlebih jika menemukan adanya gejala politis dan kepentingan penguasa dalam fenomena revisi hukum.
Tingginya elastisitas dan fleksibilitas hukum terhadap penguasa justru merupakan manifestasi hukum yang goyang dan rusak, padahal hukum merupakan kaidah batasan-batasan yang mengatur pranata sosial, lantas bagaimana jadinya jika hukum hanya dijadikan sebagai alat pemenuhan kepentingan dan nafsu penguasa yang tak memiliki batasan? Maka tentu saja, fungsi hukum pun akan hilang sebagai instrumen formal untuk menegakkan keadilan, sebab kepentingan politik dan pribadi penguasa bersifat informal, lantas bagaimana jadinya jika hukum yang seharusnya bersifat formal dan mengikat justru beralih jadi senjata penguasa untuk menyerang pihak manapun yang tak sejalan dan menjadi perisai untuk melindungi dirinya dari kesalahan?
Merevisi hukum setelah melanggarnya merupakan tindakan yang tidak bermoral, memalukan, dan menyedihkan, hukum yang tunduk pada penguasa tak lagi bersifat konstitusional, hukum pun seharusnya bersifat konvensional karena keputusan hukum konsitusi yang seharusnya diputuskan oleh negara adalah yang juga setujui oleh seluruh perangkat negara dan publik salah satu nya Warganegara yang merupakan salah satu perangkat pembangun dari negara, sebab negara bukan hanya berisi penguasa, bukan soal siapa yang menjadi otoritas melainkan juga tentang siapa saja yang berada pada wilayah yang menjadi kesatuan bangsa, ketika monopoli hukum terjadi kemudian dipegang oleh penguasa, maka hukum hanyalah soal transaksi kepentingan, tak lagi berorientasi pada kebenaran, kemaslahatan, keadilan dan moralitas bangsa.
Inilah gambaran hukum yang berasaskan kepentingan, hukum yang lahir dari cengkraman penguasa penganut neoliberal, dimana konsentrasi kekuasaan adalah transaksi kepentingan, dimana hukum adalah hasil negosiasi penguasa dan pengusaha, ketika sistem operasional negara hanya tentang prosedur pemenuhan nafsu penguasa, maka negara tentu akan jauh dari keadilan dan kemaslahatan. Karena hukum buatan sebagian kecil manusia dipaksa untuk digunakan dan mengatur hidup sebagian besar manusia, ketika sebagian kecil manusia memiliki kepentingan yang berbeda, manusia yang lain dipaksa untuk menyelaraskan dan menyesuaikan mau dan kehendak manusia lainnya.
Revisi Statuta UI merupakan satu dari sekian banyak peraturan yang menabrak asas moral penegakkan dan pembentukan hukum. Maka dapat disimpulkan, bahwa ini adalah hasil dari hukum yang di buat oleh manusia yang tak mungkin lepas dari sifat manusiawi nya yaitu memiliki kepentingan dan kebutuhan dalam menjalani hidupnya, manusia tentu tak lepas dari perniagaan kepentingan, mereka butuh perangkat pendukung untuk memudahkannya dalam menjalani hidup yang penuh dengan kebutuhan materil, manusia tak bedanya seperti hewan yang membutuhkan ekosistem untuk beradaptasi, hubungan timbal balik pun diciptakan sesuka hati, tanpa peduli bahwa yang hidup bukan hanya yang kini sedang berada pada kursi kekuasaan.
Maka bukan mustahil, ekosistem itu diciptakan hanya untuk kemaslahatan pribadi. Tentu saja kita dapat menyimpulkan hukum dari sang pencipta alam semesta tentu saja yang paling sejalan dengan ketentuan, Pencipta memiliki perangkat hukum yang dapat adil dalam membentuk ekosistem yang ideal, tak berpihak hanya pada satu kutub, melainkan semua makhluknya, karena sang Pencipta tidaklah seperti makhluk yang punya kepentingan dan keberpihakan, Pencipta pula tak terikat dengan keterbatasan.
Maka jelaslah sampai disini, hukum Allah SWT adalah hukum terbaik, yang jelas pada firmanNya dalam surah Al Maidah Ayat 50
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
Demikianlah penjelasan akhir, semoga kita senantia termasuk dari kelompok orang yang memperjuangkan hukum Allah untuk ditegakkan secara kaffah. Aaminn ya rabbal a'lamin.
Wallahu A'lam Bisowwab
Oleh Dian Fitriani (pegiat opini dan mahasiswi kesejahteraan sosial)
0 Komentar