Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan 7 ketua umum dan sekjen partai koalisi untuk membicarakan sejumlah hal. Pertemuan yang dihadiri oleh Partai PAN, juga menjadi simbol bergabungnya mereka ke lingkar kekuasaan. Pertemuan ke-7 pimpinan partai tersebut dikaitkan dengan berbagai hal salah satunya tujuan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD 1945). Benarkah demikian?
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) LPPSP FISIP UI, Aditya Perdana, menjelaskan terkait adanya potensi amendemen UUD 1945 menjadi perbincangan. Dia awalnya menyinggung bersatunya PAN ke dalam pemerintahan kini makin mempermudah pemerintah dalam membuat kebijakan, (news.detik.com, 27/8/2021).
Pertemuan tersebut menjadi titik awal yang eksplisit tentang keterlibatan PAN sebagai bagian dari koalisi pemerintahan. Artinya, kekuatan koalisi pemerintahan memang dominan di lembaga legislatif dan eksekutif sehingga ada harapan pembuatan kebijakan menjadi lebih mudah.
Meskipun sejumlah pihak yang ikut dalam pertemuan tersebut telah membantah adanya pembicaraan berkaitan dengan amendemen UUD 1945. Tak hanya itu, berdasarkan pengakuan berbagai pihak. Pembicaraan memang berkaitan evaluasi tata kelola pemerintahan di masa pandemi.
Namun, Aditya meyakini sulit untuk menghentikan rencana amendemen UUD 1945. Sebab, dukungan politik untuk melakukan amendemen UUD 1945 sudah memenuhi syarat, meskipun masih terdapat partai saat ini mengklaim tak mendukung usulan tersebut, (republika.co.id, 22/8/ 2021).
MPR dan partai politik hanya tinggal menunggu momentum yang tepat untuk merealisasikannya. Tujuan MPR untuk mengamendemen UUD 1945 dapat terlaksana dengan mulus jika penanganan, situasi dan kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia semakin membaik.
Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan, proses amendemen UUD 1945 masih sangat panjang. Karena itu, pihak yang keberatan tidak perlu emosional dengan proses ini.
Saat ini, Badan Pengkajian MPR disebutnya sedang menyelesaikan kajian terhadap Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Bamsoet berharap hasil kajian yang dilakukan Badan Pengkajian MPR terkait PPHN bisa selesai awal 2022 dan MPR merasa mendapatkan dukungan karena adanya legitimasi konstitusional.
Disisi lain, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai bila rencana Amandemen UUD 1945 pun mengatakan tidak ada relevansinya ketika dilakukan pada saat pandemi Covid-19, (Liputan6.com, 18/8/2021).
Ferry menyakini amandemen Ini menjadi ruang permainan yang membuat pembahasan sangat melebar nantinya. Konsekuensinya, MPR berpotensi merasa dirinya sebagai lembaga tertinggi. Sehingga nantinya, MPR dapat membuka ruang kekuasaan lebih jauh.
Di atas kertas memang bisa ditunjukkan pasal-pasal yang kemungkinan direvisi. Tetapi dalam prosesnya tentu saja bisa meluas. Misal, siapa yang akan mengawasi presiden, memberikan sanksi jika tidak menjalankan sesuai haluan negara, lalu akankah MPR seperti di masa Orde Baru.
Proses ini tentu saja dapat terjadi kesepakatan yang tidak baik antar para politisi-politisi partai. Preseden tidak baik sebelumnya dapat saja terjadi kembali, misal, terjadinya pertukaran kepentingan antara dihadirkannya DPD dengan pemilihan presiden langsung, yang mengakibatkan DPD memiliki kewenangan terbatas seperti sekarang, tetapi pemilihan presiden berhasil diterapkan.
Melihat situasi ini, dapat dikatakan lebih baik, politisi-politisi di Senayan tidak menggulirkan rencana amandemen UUD 1945. Jika hanya sekadar ingin mengakomodir adanya haluan negara, lebih baik menggulirkan haluan negara di dalam undang-undang. Sehingga, pembahasannya tidak menguras energi bangsa ini, konsentrasi masih dapat dilakukan dalam mengatasi pandemi Covid-19.
Di sisi lain, tentu saja menggulirkan isu amandemen terbatas UUD 1945, menghadirkan banyak isu dan wacana yang juga bergulir liar mengarah ke Senayan. Jangan lupakan, saat ini kondisi politik di Indonesia tidak dalam situasi yang tenang, meski terlihat baik.
Ini nampak jelas bahwa proses amandemen merupakan proses politik. Sementara, anggota MPR sebagian besar adalah politisi dari DPR. Sehingga, kepentingan politik masing-masing partai jelas terlihat selama proses amandemen dan tarik menarik antar kekuatan politik pun dipertaruhkan.
Pengamat politik Akhmad Khozinuddin melihat bahwa kemungkinan melakukan amandemen UUD 1945 dengan kehendak politik para elit. Terdapat dua skenario untuk mempertahankan kekuasan Jokowi. Yakni, menambah periode jabatan 2 atau 3 tahun, atau menambah masa jabatan (dipilih kembali untuk ketiga kalinya). Kompensasinya, untuk DPR menjadi 7 atau 8 tahun masa jabatan, (alenia.id, 23/6/2021).
Untuk DPD, menyetujui amandemen berarti bisa mengajukan terkait persyaratan mencalonkan presiden. Misalkan parlemen threshold dibuat jadi nol atau dari DPD dapat mengusulkan presiden, yang sebelumnya oleh parpol dengan parlemen threshold 25, jadinya simbiosis mutualisme.
Dan masa jabatan presiden 3 periode merupakan bentuk pelanggaran pembatasan kekuasaan. Sebab, dunia demokrasi modern sepakat jika penguasa eksekutif hanya boleh dipilih maksimal dua kali. Namun sistem demokrasi acapkali melakukan pelanggaran nilai.
Jika jabatan presiden 3 periode benar-benar terwujud maka dapat menimbulkan konflik of interest. Sebab, semakin lama suatu kekuasaan maka kemampuan untuk mengumpulkan sumber daya menjadi lebih kuat dan kekuasaan dapat menjadi lebih absolut.
Panjangnya perdebatan soal urgensitas amandemen UUD 1945, sesungguhnya tidak dapat diselesaikan hanya dengan motif politik untuk melanggengkan oligarki kekuasaan. Bukan pula dengan pendekatan regulatif, dan normatif yang menyebutkan bahwa UUD 1945 memerlukan pembaharuan untuk kemajuan tata kelola pemerintahan.
Permasalahan utama dari UUD 1945 bukanlah dengan amandemen, karena akhir dari amandemen hanyalah melanggengkan kekuasaan. Faktanya UUD 1945 adalah sebuah aturan tertinggi di negeri ini yang merupakan produk legislasi buatan manusia yang dipenuhi intrik, kepentingan dan tamaknya elit dengan kekuasaan.
Namun demikianlah realitas hukum jahiliyah atau hukum demokrasi sekuler sedangkan dalam hukum Islam, UUD dan UU mutlak bersumber dari Al-quran dan Assunnah, artinya seluruh produk legislasi harus terikat dengan hukum syara’ bukan yang lain. Setidaknya terdapat tiga alasan, mengapa produk hukum jahiliyah senantiasa memunculkan masalah.
Pertama, bahwa pembuat hukum dalam sistem sekuler adalah manusia yang mempunyai sifat terbatas, lemah dan penuh kekurangan. Sebagai contoh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digunakan di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda dan menurut Pecker dalam The Limit of The Criminal Sanction skema pemidanaan yang diterapkan selama ini adalah konvensional maka konsekuensi absolutnya tanpa pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan. Kondisi ini, membongkar hipokrisi sistem sekuler.
Kedua, Hukum buatan manusia bersifat subyektif dan hanya mempertimbangkan kepentingan individu dan kelompoknya saja. Akibatnya, produk hukum yang dihasilkan hanya untuk mengakomodir kepentingan legislatif, eksekutif dan stakeholder mereka. Misalnya UU Cipta Kerja meski menuai protes masif namun UU tersebut tetap disetujui dan diberlakukan walaupun mengorbankan hajat hidup orang banyak.
Ketiga, dalam proses pembuatan legislasi, standar yang digunakan adalah akal dan suara mayoritas. Kebenaran hanya diukur berdasarkan kesepakatan bersama lalu dijadikan sebagai standar kebenaran. Faktanya dalam sistem hukum sekuler, lumrah menghasilkan UU yang bertentangan secara diametral dengan hukum Allah SWT, semisal UU Perbankan yang melegalkan transaksi ribawi.
Dalam konteks penggunaan akal manusia yang serba terbatas, lemah dan penuh kekurangan justru dijadikan rujukan untuk membuat sebuah legislasi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah para legislator boleh membuat produk hukum? Tentu saja tidak, karena pembuat hukum hanya satu yakni, Allah SWT.
Oleh sebab itu, menjadikan standar akal sebagai rujukan dalam membuat produk hukum merupakan kesalahan fatal. Kehadiran anggota parlemen yang menjadi perancang aturan bisa dipastikan untuk kepentingan eksistensi diri, kelompok serta partainya. Kenyataan ini tentu tidak bisa dibandingkan dengan Keangungan dan Kesempurnaan Allah SWT yang memiliki hak prerogatif sebagai pembuat hukum untuk kepentingan manusia.
Allah SWT sebagai pencipta dan pengatur tidak memiliki tendensi dan kepentingan apapun dengan syariat-Nya, selain untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia. Sebaliknya, hukum buatan manusia atau hukum jahiliyah lebih didominasi oleh nafsu untuk berkuasa dan sarat kepentingan.
Olehnya, Allah SWT menyindir keras dalam al-Quran yang artinya:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya selain hukum Allah SWT bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah: 50)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat diatas dengan bahasa yang lugas. Yaitu, “Siapakah yang lebih adil daripada Allah dalam hukumnya bagi orang-orang yang mengerti akan syariat Allah, beriman kepada-Nya dan yakin serta mengetahui bahwa Allah adalah hakim diantara semua hakim serta Dia (Allah) lebih belah kasihan kepada makhluk-Nya, ketimbang ibu kepada anaknya? Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Oleh Rabihah Pananrangi
0 Komentar