Kondisi covid19 masih tinggi, tercatat kasus per hari ini saja 14 Agustus 2021: Pasien Positif Tambah 28.598 Kasus, Sembuh 31.880, Meninggal 1.270 dalam satu hari. Namun, seolah angka tersebut hanya jumlah angka statistik biasa saja, belum lagi kondisi pemberlakuan PPKM sesuai levelingnya masih diberlakukan sampai tanggal 16 Agustus 2021, menambah berat beban hidup rakyat yang setiap hari harus terus berusaha bertahan hidup dalam keterbatasan.
Dalam kondisi ini berharap ada empati dari pejabat dan politisi negeri ini terkait kondisi sulit yang dialami rakyat, tapi justru yang terlihat baru-baru ini mereka memiliki agenda tersendiri, diantaranya adanya perang baliho di beberapa tempat, hal ini mengisyaratkan ada target-target politik yang ingin di tempuh untuk pemilu 2024 ke depan yang jangkauan waktunya masih relatif lama, tampak baliho Ketua PDI Perjuangan yang juga Ketua DPR Puan Maharani, baliho Ketua Umum Golkar yang juga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PKB yang juga Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, ada juga baliho yang menampilkan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. (PikiranRakyat.com, 10/8/2021).
Seolah seirama dengan deretan respon publik terkait hal ini, para pengamat politik dan ahli merespon hal ini, diantaranya analis sosial politik UNJ, Ubedilah Badrun, mengatakan, cara elite menaikkan popularitas lewat baliho merupakan cara yang tidak sopan pada rakyat. Pasalnya, rakyat sedang berjibaku kerja keras menghadapi pandemi dan krisis ekonomi yang panjang dan berat. “Elite malah buang uang,” ujarnya dalam keterangannya kepada Tempo.co, Senin, 9 Agustus 2021. Fenomena baliho elite partai menurut Ubed menunjukkan pertama, elite politik republik ini miskin nurani dan empati terhadap derita rakyat. Kedua, menunjukkan ketakutan tentang hilangnya ingatan publik pada elite politik tersebut, sehingga ingin merawat ingatan publik dengan memasang baliho besar di tengah masyarakat. Ketiga, Ubed mengatakan pemasangan baliho menunjukkan nafsu berkuasa yang sangat tinggi sehingga terburu-buru kampanye meski rakyat sedang menderita.
Senada dengan itu, Pengamat Polisik yang juga Direktur Eksekutif Political and Policy Public Studies (P3S) Jerry Massie menilai munculnya wajah-wajah para elite politik lewat baliho-baliho di sejumlah wilayah menunjukkan bagaimana cara mereka mencari kesempatan dalam kesempitan.(tribbun News.com, 5/8/2021).Dia juga menilai dalam kondisi pandemi ini, seharusnya para elite politik mencoba ke langkah yang lebih nyata ketimbang muncul di baliho-baliho jalan, misalnya mmbagi sembako, pembagian masker, handsanitizer dan pengadaan tabung oksigen yang sangat dibutuhkan rakyat akhir-akhir ini.
Sama juga disampaikan Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menyatakan bahwa pemasangan baliho elit partai hanya akan menjadi sampah visual. Pemasangan baliho ini sangat membuat ruang publik menjadi sesak dan sama sekali tidak ada urgensinya. Tidak ada maksud lain, pemasangan baliho itu hanya untuk pencitraan, menaikkan popularitas untuk pemilu 2024, ujarnya.(JabarNews.com, 11/8/2021). Tak ketinggalan Politikus senior yang juga salah satu pendiri PAN, Abdillah Toha, mengkritik baliho para politisi yang terpasang di beberapa daerah dalam akun Twitternya @AT_AbdillahToha. "Halo Puan, Erlangga, Muhaimin, AHY, apa tidak risih dan malu memajang gambar diri besar-besar di sekujur Indonesia bersaing untuk pilpres yang masih 3 tahun lagi, ketika rakyat sedang bergulat atasi pandemi dan kehidupan sehari-hari? Kenapa tak gunakan uang baliho itu untuk bantu rakyat saja?" tulis Abdillah.
Baliho merupakan bagian dari upaya memasarkan dan mendongkrak popularitas calon. Di sisi lain, baliho juga bisa menjadi semacam test case untuk menakar respons masyarakat dan elektabilitas calon di mata konstituen. Seperti memasarkan produk industri budaya, baliho di berbagai sudut kota adalah bagian dari upaya mendongkrak popularitas. Siapa yang tak dikenal, maka tak mungkin akan disayang. Hal seperti inilah tampaknya yang menjadi pertimbangan sejumlah elite politik nekat memasang baliho di tengah situasi pandemi Covid-19.(koran.tempo.co, 10/8/2021).
Dalam kondisi serba sulit sekarang tidak cukup mendongkrak elektabilitas hanya dengan kampanye dan menunjukkan diri dengan sekedar memajang gambar, tapi lebih dari itu rakyat butuh aksi nyata bukan retorika tanpa makna, hal ini terbukti elektabilitas Puan dan Airlangga bahkan kalah dari nama-nama yang tidak memasang baliho di banyak daerah.
Hal ini disampaikan Lembaga survei Charta Politika pada hari ini merilis hasil survei dengan mensimulasikan 10 sosok yang dikaitkan dengan pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Ada 10 nama, Ganjar Pranowo berada di tingkat pertama 20,6 persen, Anies Baswedan menyusul 17,8 persen, Prabowo 17,5 persen, di bawah Prabowo, ada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (7,7 persen) dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (7,2 persen). Lalu, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (4,2 persen).Disusul Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Puan Maharani mengungguli Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.(Republika.co.id, 12/8/2021).
Dalam perpolitikan demokrasi, adanya perebutan opini untuk berkuasa dengan mendongkrak elektabilitas itu biasa, tidak peduli rakyat dalam kondisi apapun, tetap perebutan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan mutlak dilakukan dengan sebuah pergerakan yang berarti. Seorang filsuf yang bernama Nietszche pernah mengatakan bahwa dalam diri manusia sudah terkandung kehendak untuk berkuasa atau der wille zur macht. Kehendak untuk berkuasa ini dilihat sebagai hakikat manusia. Sejalan dengan Nietzsche, Machiavelli menegaskan bahwa untuk mencapai kekuasaan itu, manusia rela menghalalkan segala cara baik positif maupun negatif. Inilah yang disebutnya dengan politik menghalalkan segala cara.
Tidak jauh berbeda dengan kedua filsuf tersebut, Michel Foucault mengatakan bahwa kekuasaan merupakan dimensi hidup sosial yang fundamental dan tidak dapat dielakkan. Kekuasaan memiliki bentuk-bentuk transformasi selama beberapa abad yang lampau. Sepanjang abad XIX, kekuasaan lebih terlihat dalam kepentingan monarki absolut, yang dilihat sebagai sovereign power (kedaulatan kekuasaan) absolut (Pospowardoyo dan Seran, 2016: 198). Karakteristik dari kekuasaan seperti itu adalah pertama, cenderung brutal, yang meliputi penyiksaan dan hukuman fisik. Kedua, dioperasikan terus-menerus dan menjadi contoh hanya ketika ada pelanggaran atas peraturan-peraturan. Ketiga, lebih menekankan ketaatan pada tata cara (ritual) dan penuh dengan simbolisme. Keempat, berada di dalam ruang publik.(detikNews.com, 3/4/2018). Maka, wajar jika sehari-hari rakyat disuguhkan pertarungan elite politik sementara rakyat berjibaku sendiri untuk bertahan hidup.
Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia, maka cobalah menengok bagaimana peran politisi dalam peradaban Islam. Dalam Islam, kekuasaan itu adalah amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT, bukan sesuatu yang diperebutkan. Dari Ibn Umar ra. Dari Nabi saw, beliau bersabda : “ Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya, demikian pula seorang isteri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya.Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungtawaban atas kepemimpinan kalian”.(HR. Bukhari dan Muslim). Sehingga Pemimpin-pemimpin dalam sistem Islam yang amanah dan dicintai rakyat mudah ditemui tanpa banyak retorika, simak saja bagaimana salah satu Khalifah di era Khulafa'ur Rasyidin dan salah satu Khalifah di era Bani Umayyah mereka menorehkan sejarah yang gemilang untuk mengelola dan mengurusi umat ini.
Prof Dr Ahmad Syalaby dalam buku Masyarakat Islam (1961) melukiskan persaudaraan dan kebersamaan yang terbina dalam kehidupan umat Islam di zaman khalifah al-rasyidin. Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, umat Islam di sekitar Madinah ditimpa bencana kelaparan yang telah menyebabkan wabah penyakit dan kematian. Kelaparan dan penderitaan rakyat itu dirasakan oleh Umar sebagai penderitaan bagi dirinya. Karena itu, beliau bersumpah tidak akan mengecap daging dan minyak samin. ''Bagaimana saya dapat mementingkan keadaan rakyat, kalau saya sendiri tiada merasakan apa yang mereka derita,'' begitu kata Khalifah Umar yang amat berkesan pada waktu itu.
Kali lain, Umar bin Khathab pernah berkata, ''Kalau negara makmur, biar saya yang terakhir menikmatinya, tapi kalau negara dalam kesulitan biar saya yang pertama kali merasakannya.'' Sampai seorang sahabat pernah berkata, bila Allah tak segera mengakhiri bencana itu, maka Ali adalah orang pertama yang mati kelaparan.
Teladan kepemimpinan Umar bin Khathab ditemukan kembali pada sosok Umar bin Abdul Aziz, di masa pemerintahan Bani Umayyah tahun 717-720 M. Istri Umar bin Abdul Aziz, ketika menjawab pertanyaan orang-orang yang datang bertakziah atas wafatnya pemimpin teladan ini, menceritakan, ''Demi Allah, perhatiannya kepada kepentingan rakyat lebih besar daripada perhatiannya kepada kepentingan dirinya sendiri. Dia telah serahkan raga dan jiwanya bagi kepentingan rakyat.''( Republika.co.id, 1/11/2019).
Demikianlah, perbedaan diametral politisi dalam demokrasi dan Islam, maka barangkali sudah saatnya rakyat mengganti demokrasi yang minim empati menjadi peradaban Islam yang mensejahterakan.Wallahu a'lam Bi asshawwab.
Oleh Hanin Syahidah
0 Komentar