Beban Berat, Insentif Nakes Macet, Adil kah?



Virus covid-19 sudah merambah Indonesia sejak Maret 2020 lalu. Sejak saat itu, satu demi satu kota maupun propinsi mengabarkan bahwa rakyatnya mulai terkonfirmasi positif dari serangan virus ini. Tenaga kesehatan setempat tentunya dengan sigap berupaya segenap tenaga agar pasien dapat sembuh.

Namun pengorbanan mereka seakan tak dihargai oleh pihak pemerintah karena selama ini insentif bagi mereka macet. Seperti dilansir dari CNN Indonesia.com, bahwa Amnesty International Indonesia (AII) memaparkan aduan dari 21.424 tenaga kesehatan (nakes) yang tersebar di 21 provinsi terkait pemberian insentif yang dijanjikan selama menangani pandemi virus corona (Covid-19) (6/8/2021). 

Hal itu ditanggapi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menegaskan bahwa negara telah membayarkan insentif sebesar Rp2,9 triliun kepada 375.000 tenaga kesehatan (nakes) pusat sejak Januari hingga 9 Juli 2021. Ia juga membantah bahwa pemerintah tidak memiliki anggaran untuk membayar para tenaga kesehatan tersebut. 

Sri katakan bahwa kabar tentang nakes yang tidak dibayar hanyalah hoax, karena ada anggarannya.    Dikatakan juga bahwa pemerintah memperpanjang insentif ini hingga akhir tahun 2021, yang sebelumnya akan diberhentikan pada Juni 2021 lalu. 

Nyatanya memang terdapat 45 daerah di Indonesia yang belum menganggarkan insentif bagi para nakes dengan alasan masih fokus dan mencermati perkembangan maraknya virus di daerah mereka. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, M Ardian Noervianto mengatakan, rendahnya realisasi insentif para nakes jangan dimaknai sepenuhnya disebabkan oleh ketidakpedulian pemerintah daerah. 

Menurut Ardian ada sejumlah hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi, pertama, belum adanya anggaran untuk nakes. Hal ini disebabkan pemerintah daerah sedang fokus dan mencermati perkembangan kasus Covid-19 di daerahnya. Karena bila kasusnya rendah maka otomatis insentif nakes tidak dianggarkan atau mendapatkan sedikit. 

Kedua, penyaluran insentif nakes tersebut masih rendah yakni karena pemerintah daerah terlampau tinggi dalam mengalokasikan pagu anggaran. Ardian mencontohkan misalnya pemerintah daerah normalnya mengalokasikan dana sebesar Rp 10 miliar. Namun, ada daerah yang mengalokasikan dananya mencapai Rp 30 miliar.

Sementara itu, beban kerja nakes sangat berat karena pasien Covid-19 terus berdatangan ke rumah sakit. Banyak nakes yang akhirnya jatuh sakit dan ikut tertular Covid-19 yang akhirnya wafat, ataupun mereka juga ikut menularkan virus ke keluarganya di rumah. Kondisi psikologis seperti ini banyak dialami oleh para nakes yang sedang berjuang di luar sana.

Akibat dari itu semua tak heran bila banyak tenaga kesehatan yang akhirnya mundur dari pekerjaannya di tengah pandemi Covid-19 yang semakin tinggi. Ketua Dokter Indonesia Bersatu, Eva Sri Diana Chaniago mengungkapkan, mereka mundur karena beban kerja dirasa berat dan insentif penanganan pandemi yang dijanjikan pemerintah belum cair.

Eva mengatakan, gaji yang dibayarkan RS untuk nakes karyawan tergolong kecil. Bahkan, para nakes yang berstatus relawan sama sekali tak digaji oleh rumah sakit. Karena itu, insentif bagi nakes di masa pandemi memang sudah menjadi suatu kewajaran. Dalam kondisi seperti ini, Eva menilai wajar banyak nakes yang akhirnya menyerah.

Insentif para tenaga kesehatan bisa dikatakan hal yang patut difikirkan secara serius oleh pemerintah. Karena terikat dengan sumpah, dalam kondisi apapun dan siapapun orangnya akan mereka bantu tanpa memperhatikan kondisi dirinya. Sungguh pekerjaan yang mulia. 

Dengan begitu terkait dengan insentif yang harus dibayarkan oleh pemerintah adalah pertama, harus ada ahli yang dapat memperkirakan berapa jumlah insentif yang sesuai bagi tenaga kesehatan di kala pandemi. Sehingga tak ada perbedaan nilai insentif yang diberikan baik di daerah maupun pusat, karena tingginya pasien Covid-19 sudah merata di semua daerah. 

Kedua, pendanaan untuk insentif tenaga kesehatan juga harus dianggarkan, hal ini terkait dengan pelayanan tehadap masyarakat. Bagaimana tenaga kesehatan merasa tenang, bila kesehatan, keselamatan juga penghidupan keluarga tidak ada jaminan. 

Islam sebagai aturan kehidupan manusia dan menyelesaikan tiap masalah hidup, sudah mengatur hal tersebut jauh-jauh hari. Dalam kitab Nidzom Iqtishody fii Al-Islam (Sistem ekonomi Islam) karya Al ‘allamah ust Taqiyuddin an Nabhany dikatakan bahwa perkiraan jasa seorang pekerja harus dikembalikan pada ahli bukan dikembalikan pada yang menggaji. 

Para ahli itulah yang akan meneliti jasa keseluruhan jasa para tenaga kesehatan tersebut secara umum, bukan hanya dalam satu sisi saja. Apalagi saat pandemi yang tidak terlihat ujung pangkalnya, jelas pekerjaan mereka sangat berharga. Setelah diteliti, maka ahli tersebut menetapkan upah yang menjadi standar. 

Dengan begitu, para tenaga kesehatan tersebut pasti akan lebih fokus dalam bekerja dan tidak lagi mengkhawatirkan keluarga yang ditinggalkan. Bila hal ini dilaksanakan, untuk meninggalkan profesinya di tengah pandemi pun tak pernah terfikirkan. 

Begitu pula pengalokasian anggaran juga harus siap dan ditetapkan. Tidak lagi memprioritaskan selain masalah kesehatan. Fokus terhadap masalah pandemi dan kesejahteraan rakyat merupakan hal yang dinantikan banyak orang.  

Oleh karena itu bila pemerintah ingin menyelesaikan masalah pelik yang berhubungan langsung dengan masyarakat, maka ikutilah aturan kehidupan yang syari’at telah tetapkan. Karena tidak ada masalah yang tidak terlewatkan oleh Islam.

Wallahu’alam.


Oleh Ruruh Hapsari

Posting Komentar

0 Komentar