Bendera adalah secarik kain yang dikibarkan untuk melambangkan sesuatu. Sebelum menggunakan bendera, dulu orang menggunakan lencana atau emblim sebagai tanda pengenal. Kemudian mengalami perkembangan, tanda pengenal kelompok atau satuan dibuat dari bahan kulit atau kain yang dapat berkibar agar mudah dilihat dari jauh.
Bahan kulit atau kain yang berkibar ini, awalnya digunakan untuk memberikan informasi dan membantu koordinasi militer di medan perang. Para kesatria, dalam seragam dan perlengkapan baju besi, membawa kain berkibar (bendera) agar membantu membedakan mana kawan dan mana lawan. Di laut, bendera semacam ini berfungsi untuk mengirimkan pesan atau komunikasi.
Di masa Rasulullah, bendera juga digunakan untuk fungsi ini. Liwa dan rayah adalah sebutan untuk bendera yang digunakan oleh kaum muslimin saat perang. Secara bahasa, keduanya berkonotasi al ’alam (bendera).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhu :
كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوبٌ عَلَيْه ِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ
“Bendera Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam, dan benderanya (liwa) berwarna putih, tertulis di dalamnya: “Laa Ilaaha Illallaah Muhammad Rasulullah”.” (HR. Ath-Thabrani)
Pada perang Badar tahun kedua hijriah, liwa (bendera putih) Islam dipegang oleh Mush’ab bin Umair. Saat itu kalangan Muhajirin di bawah komando Ali bin Abi Thalib, dan kaum Anshar dibawah komando Sa’ad bin Mu’adz, yang mana keduanya membawa bendera berwarna hitam (rayah). Pada perang Uhud, awalnya bendera dipegang oleh Mush’ab bin Umair. Namun, karena Mush’ab gugur di medan perang, estafet pemegang bendera dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya Ali bin Abi Thalib dipercaya sebagai pembawa bendera pada masa perang Khaibar.
Pada masa perang Quraizhah, pasukan muslim juga membawa bendera sebagai pembeda antara pasukan Islam dan pasukan Romawi Arab. Dalam perang ini awalnya bendera dipegang oleh Zaid bin Haritsah, kemudian Ja’far bin Abi Thalib, dan terakhir dipegang oleh Abdullah bin Rawahah.
Saat itu bendera ini tidak hanya sebagai sebuah penanda pasukan, namun juga sebagai lambang aqidah Islamiyah. Kalimat “La ilaha illallah Muhammad Rasulullah” yang tertulis di dalamnya, adalah pembeda Islam dan kekufuran.
Selain itu, bendera ini juga berfungsi sebagai alat pemersatu umat Islam, sebab kalimat tauhid yang tertulis padanya adalah kalimat yang mempersatukan umat Islam dunia sebagai satu kesatuan, tanpa melihat lagi keanekaragaman bahasa, letak teritorial ataupun mazhab dan paham yang ada di tengah umat Islam.
Kondisi di Eropa pun demikian. Hingga abad pertengahan, bendera yang digunakan dalam peperangan di benua itu adalah bendera heraldik yang berisi lambang, lencana, atau perangkat lain untuk identifikasi pribadi, pasukan dan satuan-satuan militer.
Nasionalisme dan Bendera Kebangsaan
Penggunaan bendera di luar konteks militer dimulai sejak kemunculan sentimen nasionalisme pada akhir abad ke-18 dimana saat itu arus dan suasana liberalisme merebak di bangsa Eropa. Suasana itu ditandai dengan adanya transisi dari masyarakat feodal ke masyarakat industri.
Kondisi di Eropa saat itu kekuasaan kaum feodal mulai surut dan digantikan oleh para borjuis kota. Mereka tidak mau terikat oleh ketentuan-ketentuan dalam masyarakat agraris, tetapi mereka ingin bebas melakukan usaha, bersaing dan mencari keuntungan sebanyak mungkin. Faham inilah yang kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan liberalisme. Kaum borjuis dengan revolusi industrinya itu kemudian berkembang di Eropa Barat.
Di tengah-tengah keadaan seperti itulah lahirlah nasionalisme Eropa Barat. Nasionalisme tersebut kemudian membangun kesadaran adanya perbedaan antar bangsa di Eropa Barat. Nasionalisme seperti itu tumbuh menjadi satu aliran yang penuh emosi dan sentimen, kecongkakan dan chauvinisme, sehingga nasionalisme Eropa Barat melahirkan kolonialisme, yaitu nafsu mencari jajahan di luar benua sendiri. (http://historiasejarah2k15.blogspot.com/2016/10/lahir-dan-berkembanganya-nasionalisme.html)
Berawal dari sinilah, pada abad 19 rasa nasionalisme dikobarkan dalam jiwa masyarakat untuk menunjukan identitas bangsa sebagai negara yang bersatu dan merdeka. Akibatnya banyak bermunculan negara bangsa (nation state). Terbentuknya beberapa negara juga terjadi akibat terpecahnya satu negara atau bangsa seperti bangsa India terpecah menjadi negara India, Pakistan dan Bangladesh. Kemudian Korea, China, dan beberapa bangsa Melayu yang juga terpecah. Termasuk juga Daulah Khilafah Islamiyah, negara kaum muslimin yang saat itu wilayahnya sangat luas, akhirnya terpecah menjadi lebih dari 50 negara.
Negara bangsa yang terpecah-pecah ini kemudian dianggap merdeka dan berdaulat. Dan sejak itu muncullah bendera bagi suatu negara bangsa yang berdaulat sebagai bukti konkrit kedaulatan atau kemerdekaan negara tersebut. Meski hanya sebatas kain, adanya bendera menjadi keharusan yang harus dipenuhi oleh suatu negara.
Bendera itu menjadi ciri atau identitas dari negara atau bangsa yang membedakan antara satu negara dengan negara yang lainnya. Perbedaan antar bangsa bukan dilihat dari bahasa, kebudayaan, atau warna kulitnya apalagi ideologinya, melainkan dilihat dari benderanya. Jadi jelaslah bahwa bendera berbagai negara bangsa yang saat ini digunakan di seluruh dunia tidak lepas dari adanya rasa kebangsaan dan paham nasionalisme itu sendiri. Dan paham nasionalisme inilah yang pada akhirnya membuat persatuan kaum muslimin di bawah naungan Khilafah menjadi sirna.
Di Indonesia sendiri terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 40 tahun 1958 yang menyebut, bendera merah-putih adalah lambang kedaulatan dan tanda kehormatan Republik Indonesia. Sementara Undang-undang No 24 tahun 2009 menyebut bendera sebagai sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Artinya bendera merah putih adalah simbol negara Indonesia sebagai salah satu nation state yang terbentuk atas dasar nasionalisme.
Nasionalisme, Bagian dari Ashobiyah
Pemikiran nasionalisme modern lahir di pikiran para ahli ilmu di Eropa Barat, diantaranya yaitu John Locke, J.J Rousseau dan John Gottfried Herder. Hans Kohn kemudian mendefinisikan nasionalisme sebagai sebuah paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.
Berdasarkan definisi ini, maka jelas paham nasionalisme bertentangan dengan Islam. Sebab Islam melarang menyerahkan kesetiaan dan kedaulatan tertinggi kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Sikap lebih memprioritaskan kesetiaan kepada kelompok atau golongan disebut ashabiyah. Dan Islam melarang hal tersebut. Dalam musnad Imam Ahmad no 7716, terdapat beberapa hadits yang berkaitan dengan larangan ini. Rasulullah saw bersabda
“Barang siapa yang keluar dari jemaah (kaum muslim) dan melepaskan ketaatan (dari imam/khalifahnya) lalu ia mati, maka matinya mati (dalam keadaan) jahiliah.”
“Dan barang siapa yang keluar (memisahkan diri) dari umatku dengan mengangkat pedang (senjata) melawan (penguasa) adil ataupun zalim, tidak menjaga keimanannya dan tidak menepati perjanjiannya, maka ia bukanlah bagian dari umatku.”
“Dan barang siapa terbunuh di bawah bendera kejahiliahan, (merasa) benci karena ashabiyah (fanatisme kelompok, golongan, atau nasionalisme), atau berperang atas nama ashabiyah, atau menyeru kepada ashabiyah, maka matinya mati (dalam keadaan) jahiliah.”
Ashabiyah maknanya adalah ikatan kelompok baik kelompok keturunan maupun yang lain. Nasionalisme, kesukuan, golongan, kedaerahan, jamaah, partai, kemadzhaban, dan lainnya, termasuk dalam makna ‘ashabiyah.
Hanya saja larangan atau keharaman ikatan ashabiyah itu bukan berarti tidak boleh mencintai suku, daerah, keluarga, jamaah, kelompok, golongan, madzhab. Melainkan maknanya adalah tidak boleh atau haram menjadikan ikatan ashabiyah itu di atas segalanya, di atas kebenaran dan di atas ikatan Islam dan keimanan, di atas ukhuwah Islamiyah.
Oleh karenanya, dalam Islam tidak ada istilah right or wrong is my country, my nation, my madzhab, my party, my jamaah dan lainnya. Dalam Islam tidak ada slogan, “mau benar atau salah, yang penting negara saya, bangsa saya, mazhab saya, partai saya, jamaah saya, kelompok saya, guru saya, dan lainnya. Sikap ashabiyah (fanatisme kelompok) itu harus ditinggalkan seperti yang diperintahkan Rasul SAW.
Sikap ashabiyah itulah bisa menyebabkan berbagai persoalan besar di tengah umat. Ashabiyah bisa membuat orang menolak kebenaran, merendahkan orang atau pihak lain. Bisa merusak ukhuwah islamiyah. Bahkan ashabiyah itu bisa menyebabkan orang atau kelompok mempersekusi orang lain atau kelompok lain. Bahkan lebih dari itu, ashabiyah bisa membuat kelompok bahkan bangsa saling berperang dan saling bunuh tanpa alasan yang dibenarkan. Maka ‘ashabiyah menuntun kepada kehidupan jahiliyah. Karenanya sikap ashabiyah harus dijauhkan dari kehidupan kaum muslimin.
Oleh Kamilia Mustadjab
0 Komentar