Bukan Kota Layak Anak, Tetapi Negara Pelindung Anak



Penghargaan Kota Layak Anak (KLA) tingkat Madya kembali dimiliki oleh Kota Bogor. Penghargaan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) kembali menyambangi Kota Hujan untuk ketiga kalinya. (www.tempo.co) 

Adapun Kriteria Kota Layak Anak adalah kota yang memiliki sistem pembangunan berbasis hak anak. Pembangunan itu dilakukan lewat pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Ada lima klaster kategori penilaian:

1. Pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak

2. Pemenuhan hak anak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif

3. Pemenuhan hak anak atas kesehatan dan kesejahteraan

4. Pemenuhan hak anak atas pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya

5. Perlindungan khusus anak.

Kriteria ini dirumuskan berdasarkan program yang dirancang oleh lembaga global. Gagasan awal pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) sendiri diperkenalkan pada Konferensi Habitat II atau City Summit di Istanbul, Turki, 1996. Pada konferensi tersebut UNICEF dan UNHABITAT memperkenalkan “Child Friendly City Initiative. Dalam versi Indonesia, program tersebut terwujud dalam Kota Layak Anak, Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030. Namun program tersebut tentu saja dibangun berasaskan pandangan hidup Barat, yaitu kapitalisme sekuler.

Berdasarkan pandangan ini, tidak akan didapat solusi tuntas untuk pemenuhan hak anak karena hanya bersumber pada fakta yang ada. Kapitalisme sesungguhnya hanya dapat memberikan solusi parsial yang tidak menyelesaikan akar permasalahan. Di sisi lain, target KLA tersebut dibangun dengan paradigma kapitalistik, berasas manfaat, sehingga secara nyata membela kepentingan para pemodal. Akibatnya anak hanya dieksploitasi untuk kepentingan mereka, dan hak anak pun hanya tinggal janji.

Slogan 'perlindungan anak' pun tidak membuat anak menjadi sejahtera dan terpenuhi kebutuhan dasarnya. Karena hanya menjadi alat untuk mencapai target para kapitalis, yakni menyiapkan mereka menjadi 'mesin produksi' untuk memenuhi kebutuhan perputaran dan pertumbuhan ekonomi yang menjadi nyawa kapitalisme. Oleh karena itu tidak heran jika masih ditemukan fakta miris terkait nasib anak-anak. Seperti masih tingginya angka putus sekolah. Bahkan, angka putus sekolah semakin tinggi dikala pandemi. (www.republika.co.id) Fakta lain anak-anak masih menjadi salah satu korban kekerasan dan asusila. Anak-anak terpapar konten porno atau kecanduan gadget. Belum lagi tidak tersedianya pangan yang layak untuk memenuhi nilai gizi tinggi pada masa pertumbuhan anak. Hal ini tidak lepas dari belitan kemiskinan yang menimpa orang tua mereka. Fakta anak jalanan, atau anak yang terpaksa bekerja, dan lain-lain.

Paradigma kapitalisme tentang anak di atas sangat berbeda dengan paradigma Islam yang menjadikan anak sebagai calon generasi penerus peradaban, dan bukan objek eksploitasi. Islam mewajibkan negara menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok anak, termasuk pendidikan, kesehatan, dan keamanannya. Islam sudah memiliki mekanisme sempurna yang dapat menjamin kesejahteraan anak sepanjang hidupnya. Dan sistem sempurna itu hanya dapat diwujudkan melalui tegaknya negara khilafah islamiyah.

Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak. Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Kedua, lingkungan. Dalam hal ini masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi munkar kepada siapa pun. Ketiga, negara sebagai pengurus utama. Dalam hal ini, fungsi negara adalah memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak.

Begitulah sistem Islam kaffah dan kepemimpinannya bekerja memenuhi segala kebutuhan anak dan melindungi mereka. Anak-anak itu amanah, hanya boleh dididik sesuai keinginan yang menitipkan, bukan sesuai hawa nafsu kita.  Mendidik dan membentuk generasi Rabbani haruslah disokong dengan sistem yang berdasarkan syariat Islam kaffah, yaitu negara khilafah islamiyah. Jika khilafah islamiyah tegak, maka negara akan berfungsi sebagai pelindung anak.


Oleh: Rini Sarah











Posting Komentar

0 Komentar