Demokrasi Berdalih Islam

 


Beberapa waktu lalu, sistem demokrasi semakin dibuktikan kerusakannya oleh beberapa kebijakan konyol bagi sebagian pihak namun bisa saja dianggap hal yang wajar dan benar bagi pihak yang lain, seperti pembuat kebijakan itu sendiri. Salah satu contoh kebijakan konyol yang membuat ramai dunia maya adalah revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 menjadi PP Nomor 75 tahun 2021 tentang Statuta UI. Dalam aturan sebelumnya, rektor dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat perusahaan BUMN/BUMD, lalu diubah menjadi rangkap jabatan di BUMN/BUMD hanya dilarang untuk jabatan direksi, sehingga ada celah untuk rangkap jabatan di posisi lain bagi rektor (Kompas.com). 


Perubahan Statuta UI ini semakin menarik perhatian publik karena Rektor UI ternyata sedang merangkap jabatan sebagai wakil direktur komisaris BRI saat perubahan statuta UI tersebut disahkan. Kritik publik mengenai rangkap jabatan itu pun tak dapat dielakkan. Ditambah lagi adanya upaya pembungkaman berpendapat Mahasiswa UI dari pihak rektorat UI sehingga surat panggilan pun ditujukan kepada beberapa perwakilan Mahasiswa UI yang terlibat dalam pembuatan poster kritik Presiden RI, The King of Lip Service.


Dari fakta tersebut, terlihat jelas kebebasan hak berpendapat yang dijamin oleh sistem demokrasi ternyata sangat bias bahkan memicu munculnya permasalahan lain. Suara rakyat seakan-akan hanya dimaksudkan kepada yang memiliki kekuasaan dan kepentingan politik saja, sedangkan pendapat sebenar-benarnya rakyat justru diabaikan. Hal ini sangat wajar dalam sistem demokrasi karena landasan kebenarannya dibuat oleh manusia itu sendiri,  manusia pada hakikatnya sangat berpotensi konflik karena setiap manusia memiliki sudut pandang maupun cara berpikir yang berbeda. Hal ini dikarenakan setiap manusia memiliki perasaan, pengalaman maupun sumber informasi yang berbeda. 


Itulah mengapa sistem demokrasi sangat bertolak belakang dengan sistem Islam yang menjadikan syariat dari Allah SWT sebagai landasan dalam mengambil kebijakan atau keputusan karena pada hakikatnya Allah SWT yang Maha Mengetahui dan Maha Mengatur, sedangkan manusia terbatas pengetahuannya bahkan tentang diri manusia itu sendiri.

Namun, konsep demokrasi Islam atau theistic democracy yang digagas oleh Moh. Natsir justru menganggap demokrasi sejalan dengan Islam. Menurut Moh. Natsir demokrasi dianggap sebagai jalan yang harus ditempuh umat Islam Indonesia untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Baginya mewujudkan cita-cita politik Islam harus secara konstitusional karena menurutnya Islam juga mengajarkan tentang musyawarah yang mirip penerapannya dengan Demokrasi. Pada akhirnya, Moh. Natsir, pejuang teistik demokrasi itu pun harus dipenjarakan karena dianggap sebagai pemberontak oleh Presiden RI Soekarno. Pemenjaraan tersebut berawal dari kritik Moh. Natsir terhadap Soekarno yang telah bertindak inkonstitusional (jejakislam.net).


Lalu, apakah demokrasi sejalan dengan Islam? Jawabannya tentu saja tidak karena demokrasi memandang kedaulatan ada di tangan rakyat (manusia) bukan Sang Maha Mengatur, sedangkan Islam memandang Kedaulatan hanya milik Allah SWT sehingga sistem peraturan kehidupan bersumber dari peraturan yang Allah ciptakan. 


Adapun musyawarah dalam Islam bukan untuk mengompromikan suatu hukum, namun untuk memutuskan perkara muamalah atau kerja sama antar manusia agar diambil keputusan yang adil. Bahkan kerusakan demokrasi tersebut pun harus ditanggung oleh pejuang teistik demokrasi itu sendiri yang harus dipenjara, yakni Moh. Natsir. 


Ada beberapa faktor yang bisa memengaruhi cara pandang Moh. Natsir mengenai demokrasi, di antaranya adalah faktor pendidikan yang sistemnya dibangun oleh kaum penjajah. Salah satu strategi penjajah mengokohkan posisi adalah melalui kurikulum pendidikan karena para kaum terdidik atau pelajar memiliki pengaruh yang kuat di tengah masyarakat (An-Nabhani). 


Pengaruh pendidikan sekuler tidak hanya memengaruhi sudut pandang kaum Muslimin pada masa penjajahan saja, bahkan pengaruh tersebut masih dapat dirasakan hingga sekarang melalui kebijakan global sebagai bentuk neo-kolonialisme atau bentuk penjajahan gaya baru. Maka, perlu adanya penanaman tsaqafah Islam yang komprehensif untuk mencegah maupun memperbaiki tsaqafah atau pola pikir asing yang dianut oleh kaum Muslimin saat ini melalui pengkajian tsaqafah Islam secara intensif. 


Untuk mewujudkan pemahaman Islam yang komprehensif bagi kaum Muslimin tentu harus adanya upaya saling mengingatkan atau dakwah secara berjemaah. Dakwah jemaah ini pun diwajibkan Allah SWT bagi setiap Mukmin sebagai salah satu konsekuensi keimanan. Dakwah juga merupakan metode yang dicontohkan oleh SAW untuk mewujudkan kehidupan Islam secara menyeluruh dan paripurna. Wallahu a’lam bishshowwab.[]


Oleh: Isra Novita


Posting Komentar

0 Komentar