Partai Amanat Nasional atau PAN akhirnya bergabung dengan koalisi pemerintah. Menyusul PKB yang sebelumnya terlebih dahulu merapat ke rezim. PAN secara terbuka menyatakan bergabung ke koalisi pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Partai berlambang matahari terbit ini pun dikabarkan akan mendapat jatah menteri di kabinet.
Terlepas dari pertanyaan apakah PAN yang dikenal kritis selama kepemimpinan Amin Rais sebelumnya, ke depannya akan tetap konsisten untuk objektif kepada pemerintah? Dan terlepas pula apakah ada kepentingan yang lebih besar untuk umat Islam dengan mereka merapat ke rezim?
Sejumlah tokoh, salah satunya Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin justru menilai apabila PAN masuk koalisi, sebenarnya rugi. Karena bisa jadi elektabilitasnya akan turun,” katanya kepada Tempo, Jumat, 27 Agustus 2021.
Partai koalisi dan oposisi ibarat bejana yang berbeda. Jika elektabilitas koalisi pemerintah sedang stagnan atau turun, maka elektabilitas partai oposisi akan naik. Dalam beberapa survei belakangan ini, elektabilitas partai opisisi cenderung naik, seperti Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. Sementara partai koalisi pemerintah, seperti PDI Perjuangan, turun dari 20 persen menjadi 14-15 persen, meski masih tertinggi.
Tak dapat dipungkiri, turunnya elektabilitas partai koalisi tak lain karena kepercayaan publik kepada pemerintah saat ini yang sedang turun. Terlebih lagi sejak krisisnya penanganan pandemi oleh pemerintah yang telah memperparah krisis kepercayaan yang terjadi di tengah masyarakat.
Adapun keuntungan dan kepentingan jelas berada di pihak rezim. Sebagaimana citra yang ditampakkan, keputusan ini dianggap sebagai kesuksesan pemerintah dalam menyatukan dua parpol PKB dan PAN yang merepresentasikan sebagai dua ormas Islam besar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Seperti kita ketahui, roda politik di negeri ini secara turun-temurun dipengaruhi oleh keberadaan dua ormas tersebut sebagai representasi dukungan politik mayoritas umat Islam negeri ini.
Di sisi lain, rezim akan diuntungkan dengan masuknya PAN ke koalisi karena akan menambah dukungan di parlemen. Dan hal ini justru memperkuat adanya dugaan skenario orang-orang di lingkaran Presiden Joko Widodo yang ditengarai bermanuver menggolkan wacana masa jabatan presiden 3 periode.
Merujuk laporan Majalah Tempo edisi 19 Juni 2021, beberapa skenario pun diduga disiapkan untuk mewujudkan rencana ini. Skenario pertama ialah membuka peluang periode ketiga selama lima tahun melalui pemilihan umum. Adapun skenario kedua memperpanjang masa jabatan presiden maksimal tiga tahun.
Untuk mendukung skenario ini, tentunya membutuhkan amandemen yang meniscayakan kemungkinan pasal dalam konstitusi yang akan diubah. Perubahan itu semisal menyelipkan ayat perpanjangan masa jabatan presiden dalam keadaan darurat di Pasal 7 serta menambahkan kewenangan MPR untuk menetapkan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam kondisi darurat. Sebut saja kondisi pandemi Covid-19 sebagai alasan utama serta kelesuan ekonomi.
Tinggal satu problem lagi, untuk mencapai skenario tersebut. Tentu saja rezim membutuhkan dukungan yang besar. Strateginya dengan mengecilkan serangan musuh politik atau oposisi. Oleh karenanya, keputusan untuk merangkul PAN ke dalam koalisi pemerintah merupakan strategi jitu untuk memperbesar dukungan serta melumpuhkan oposisi.
Kembali pertanyaannya, apakah keputusan ini benar-benar win-win solution yang juga menguntungkan kedua belah pihak? Karena parpol oposisi yang berkoalisi justru riskan mengalami krisis integritas. Buruk bagi pendidikan politik dan buruk di mata masyarakat kalau partai-partai hanya berorientasi 'power seeker' alias politik dagang sapi, serta merupakan bunuh diri politik.
Alih-alih sistem demokrasi melahirkan kelompok oposisi atau kelompok yang kritis terhadap pemerintahan, sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan berpolitik. Pada kenyataannya demokrasi hanya akan melahirkan oligarki politik. Sehingga kekuasaan dikendalikan oleh segelintir orang, terutama para pemilik modal. Padahal kelompok oposisi atau kelompok yang kritis ini sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan pemerintahan yang baik.
Maka dibutuhkan kejelian di tengah masyarakat dalam memandang isu ini. Dan hendaknya sebagai umat Islam, merujuk pada sikap berpolitik Islam. Yang mana justru senantiasa memberikan sikap yang berseberangan bahkan menentang apabila sistem tersebut zalim, represif, serta memiliki kecenderungan anti terhadap syariat Islam, seperti yang telah terjadi pada rezim saat ini. Terlebih lagi, apabila wacananya akan diperpanjang kembali menjadi 3 periode. []
Wallahu a'lam biashshawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar