Fenomena Childfree, Tokoh Mubalighoh: Bertentangan Dengan Fitrah Manusia

 


Istilah childfree belakangan marak diperbincangkan, terlebih setelah seorang influencer mengungkapkan dirinya dan pasangannya memilih untuk tidak memiliki keturunan. Keengganan memiliki anak setelah menikah (childfree) ini ternyata menuai pro dan kontra di tengah masyarakat, khususnya di Indonesia yang notabene mayoritas Muslim dan menganut nilai-nilai ketimuran. Fenomena childfree dianggap bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku. Lantas bagaimana tanggapan tokoh masyarakat terkait ide childfree ini? Kali ini tim redaksi Muslimah Jakarta telah mewawancarai salah seorang tokoh Mubalighoh Jakarta, yaitu Ustadzah Lilis ummu Hafshah. Berikut hasil wawancaranya.


Tanya: Sejak kapan ide child free ini mulai eksis?


Jawab: Ide Childfree muncul sejak abad ke 19 berbarengan dengan kemunculannya  faham sekularisme.


Tanya: Apakah benar Liberalisme-sekuler adalah paham yg melatarbelakangi ide ini?


Jawab: Benar, Liberalisme adalah faham kebebasan sebagai akibat dari faham sekularisme yang memisahkan urusan agama dari urusan kehidupan termasuk urusan pribadi seseorang.


Tanya: Apa bahaya dari ide childfree ini?


Jawab: Ide ini (childfree) melawan kodrat Ilahi dan bertentangan dengan fitrah manusia dalam memenuhi naluri rasa cinta dan kasih sayang kepada anak. Selain itu ide ini juga bisa menyebabkan populasi manusia berkurang atau bahkan punah.


Tanya: Bagaimana dalam kacamata Islam?


Jawab: Islam memandang anak adalah anugrah, rizqi dan amanah yang diberikan kepada ayah dan ibu untuk dididik dengan baik agar bisa menjadi anak yang sholih dan penyejuk jiwa.


Tanpa anak hidup akan sepi dan hampa karena anak adalah tempat curahan kasih sayang keduaorangtua yang akan tumbuh menjadi  penerus keturunan dan ketahanan keluarga.


Doa dan kasih sayang anak akan berbuah kepada ibu dan ayahnya yang sudah tua nanti, karena anak dengan ikhlas akan kembali merawat ibu dan ayah sebagaimana  telah merawat anak sejak kecil. Dan salah satu pahala jariyah yang tiada putus adalah  doa dari anak sholih.


Tanya: Lantas bagaimana Islam memandang peran dan tugas seorang Ibu?


Jawab: Ibu adalah pasangan bagi seorang ayah. Di rahim ibulah anak akan tumbuh dan berkembang. Karenanya Allah telah menciptakan naluri ibu untuk menyayangi, mendidik dan melindungi anaknya. Allah telah memuliakan  ibu dengan penghornatan seorang anak tigakali kepada ibunya baru kemudian kepada ayahnya. Allah tempatkan ibu dengan surga di bawah telapak kaki ibu.


Allah ringankan ibu dengan posisinya sebagai ummun wa robbatul bayt saja.Tidak wajib bagi ibu untuk mencari nafkah karena beban itu ada di pundak ayah. Bahkan kalaupun ibu bekerja, hasilnya bisa untuk dirinya sendiri atau bisa digunakan untuk  bersedekah Jika ibu kelelahan dengan pekerjaan rumah, maka seorang ayah yang mampu bisa mendatangkan seorang khadimah untuk meringankan pekerjaan ibu. Jika tidak seorang ayah dengan cinta kasih dan keridhoannya bisa saling membantu karena hubungan ayah dan ibu dalam Islam bukanlah atasan dan bawahan tapi saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan. Dan semua itu akan bernilai pahala.


Jika syariat Allah tentang fungsi ibu ini difahami, maka tidak akan ada bagi para ibu milenial hari ini yang salah faham dan gagal faham.


Reporter: WID



Posting Komentar

0 Komentar