“Halu teroosss”, “Masih pagi, jangan halu!”, “Halu doang kok bangga” dan masih banyak pernyataan lainnya. Kata “halu” mulai trend di kalangan generasi muda sekitar 2019. Trend ini muncul karena banyak pernyataan-pernyataan orang yang dianggap sebagai halusinasi atau sesuatu yang tidak mungkin digapai atau dilakukan. Pada akhirnya “halu” mulai banyak digunakan dalam berbagai kesempatan dan dalam berbagai situasi yang terjadi pada anak muda.
Sebenarnya “halu” merupakan singkatan dari kata halusinasi, sedangkan halusinasi ini merupakan salah satu gangguan presepsi yang terjadi pada manusia, jika hal ini dicocokkan dengan maksud dari “halu” yang berkembang saat ini maka sangatlah berbeda definisinya. Dikutip dari detik.com, Psikiater dr I Gusti Rai Wiguna, SpKJ menjelaskan, “halu” atau halusinasi itu hubungannya dengan panca indera, seperti suara peluit dianggap sebagai suara orang atau yang lainnya. Intinya berkaitan dengan indera pendengaran, indera rasa, indera raba, indera pengelihatan. Sedangkan orang yang perkataannya terlalu tinggi atau memiliki kecemasan yang berlebihan disebut delusi. Pada pembahasan kali ini, kita menganggap bahwa “halu” yang dimaksud dengan anak muda saat ini adalah sebuah delusi karena tidak berhubungan dengan alat indera, cenderung pada keinginan atau perkataan yang terlalu tinggi.
Trend halu melekat sekali dengan hallyu, bahkan sudah menjadi aktivitas sehari-hari bagi mereka yang mengikuti hallyu ini. Hallyu sendiri memiliki pengertian “Gelombang Korea” atau Korean Wave. Hallyu mulai berkembang pada 1990-2000 an, yang meliputi penyebaran kebudayaan Korea. Menurut wikipedia.org The Korean Wave (Hallyu) mengacu pada popularitas global ekonomi budaya Korea Selatan yang mengekspor budaya pop, hiburan, musik, drama TV dan film.
Kita semua paham bahwa saat ini demam K-Pop, K-drama dan konten-konten Korea lainnya begitu diganderungi sebagian besar generasi muda terutama kaum akhwat. Adanya trend halu ini generasi muda menggunakan untuk membuat dirinya bahagia dengan berbagai macam konten-konten halu. Memang tidak melulu tentang Korea, halu juga digunakan para pecinta anime, mereka yang mengidolakan artis-artis Barat atau sekali pun sekadar artis dalam negeri.
Konten yang banyak sekali dibuat adalah video, sekadar komen, rekaman suara atau hanya sekedar gambar yang diserta kalimat-kalimat yang mendukung untuk “halu”. Bahkan banyak juga ditemukan konten halu yang terkesan vulgar atau mengandung bayang-bayang pornografi. Didukung dengan pesatnya perkembangan teknologi termasuk sosial media, halu menjadi hal yang biasa. Apalagi bagi mereka yang mengidolakan para artis atau idol K- Pop, meng-halu bersama adalah hal yang biasa dilakukan.
Jika ingin melihat kecintaan mayoritas generasi muda saat ini kepada idola, kita bisa flashback beberapa waktu lalu salah satu idol K-Pop BTS yang bekerja sama dengan restoran makanan cepat saji yaitu McDonald’s. Gelombang pecinta Korea ini sampai menyita banyak perhatian masyarakat, karena respon yang luar biasa, McD mendapat keuntungan luar biasa karena mengeluarkan menu bertajuk BTS Meal.
Selain itu mereka juga rela mengeluarkan uangnya hanya untuk bertemu dengan idol kesayangan mereka dengan membeli tiket konser yang harganya mencapai jutaan rupiah atau hanya sekadar membeli merchandise idol favorite yang harganya pun tidak murah. Apapun dikerahkan demi oppa kesayangannya. Berlaku juga dengan mereka yang menyukai anime atau hanya sekedar artis-artis dalam negeri. Disini kita bisa melihat, kecintaan dan semangat generasi muda saat ini terpaku pada idola mereka, yang sebenarnya idola mereka adalah manusia biasa layaknya mereka hanya saja memiliki “segudang bakat” dan ketenaran yang luar biasa.
Pesatnya trend hallyu dan halu ini memunculkan bahaya baru bagi individu generasi muda. Tidak sedikit yang mengkhayal idola mereka adalah kekasih mereka, suami mereka atau yang lainnya sehingga sebuah pemahaman muncul “idolaku adalah milikku” biasa disebut dengan Bias is Mine. Bahkan sang idola sendiri pun merasa risih dengan hal ini, karena kita tahu bahwa artis atau idola adalah manusia biasa yang juga membutuhkan kehidupan seperti kita layaknya manusia normal.
Para idola tersebut juga sering mengatakan bahwa “Kami tidak bertanggung jawab atas kehidupan kalian (para fans)”, “Kami ada hanya untuk menghibur kalian (fans) tidak lebih”, “Kami adalah manusia biasa yang juga butuh privasi” dan banyak kalimat-kalimat lainnya yang diutarakan para idol. Kecintaan terhadap idola yang berlebihan pernah merenggut beberapa nyawa anak-anak muda.
Pada 2017 salah satu member idol group di Korea meninggal karena memutuskan bunuh diri, dunia internasional terutama para K-Popers berduka luar biasa, sampai ada beberapa di antaranya yang ikut memutuskan bunuh diri karena idolnya sudah tidak ada di dunia, tidak ada lagi yang memotivasi dia untuk menjalani kehidupan. Berita tokoh anime yang meninggal juga pernah terdengar, tokoh ini banyak diidolakan anak-anak muda sehingga ada kasus seorang remaja yang bunuh diri karena tokoh anime favorite nya meninggal. Astaghfirullah, sangat miris dan memprihatinkan sekali.
Kasus-kasus demikian banyak kita temukan di zaman sekarang, di luar negeri maupun di dalam negeri. Kecintaan terhadap idola secara berlebihan terbawa ke dunia nyata, sehingga memaksakan dunia nyata dengan dunia fiksi, kedua kehidupan yang harus dipaksa untuk sama. Padahal kita sebagai manusia itu diberikan potensi oleh Allah SWT agar bisa berpikir. Akal yang kita miliki seharusnya bisa kita gunakan untuk membedakan mana yang nyata mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.
Sayangnya di zaman sekarang filter untuk membedakan yang baik dan buruk tidak mudah ditemukan. Filter ini ada jika mereka yang paham tentang agamanya, batasan syari’at yang Allah turunkan serta, hal-hal yang Rasulullah SAW contohkan. Dalam Islam, Allah menciptakan manusia berikut dengan potensinya, yang secara fitrah memang dimiliki setiap manusia, di antaranya adalah kebutuhan jasmani (hajatul ‘udhowiyah), naluri (gharizah) dan akal. Naluri sendiri terdiri dari 3 macam, antara lain naluri mempertahankan diri (gharizah al baqa’), naluri seksual/berkasih sayang (gharizah an nawu’) dan naluri mengkultuskan sesuatu/beragama (gharizah at tadayyun).
Dalam pembahsan kali ini, halu dan hallyu sangatlah berhubungan dengan gharizah an nawu’. Lihatlah bagaimana mereka begitu mencintai idolanya, bagaimana bahagianya mereka ketika mereka ber-halu ria menganggap idolnya ada di kehidupannya saat ini, bagaimana bahagianya mereka jika keinginan mereka dipenuhi oleh idolanya, naluri ini jelas terpuaskan oleh konten-konten tersebut. Reaksi mereka melihat para idolanya mengumbar aurat, menari, mereka tonton di layar handphone mereka di setiap harinya. Lagi-lagi semuanya berhubungan dengan syahwat. Konten yang tak ter-filter, tontonan yang bebas, kebebasan ekspresi yang dilakukan adalah makanan sehari-hari dan hal yang lumrah terjadi.
Kebebasan yang dilakukan generasi muda saat ini dalam menerima berbagai macam kebudayaan asing dikarenakan bercokolnya paham liberal di tengah-tengah masyarakat saat ini. Gaungan demi gaungan menuntut kebebasan dan hak untuk melakukan apapun yang diinginkan semata-mata hanya untuk memuaskan nafsu saja, tidak memperhatikan koridor syara’, apa yang Allah perintahkan dan apa yang Allah larang. Entah di mana posisi Tuhan di kehidupan kita saat ini jika kita mengedepankan kebebasan.
Sistem kapitalisme saat ini memang digunakan dihampir seluruh negara dunia. Akidah sekularismenya yang berprinsip memisahkan agama dengan kehidupan adalah hal utama yang ditanamkan. Sehingga segala macam aktivitas kehidupan, baik itu mencintai idola, mengikuti trend atau kebudayaan asing sama sekali tidak berhubungan dengan agama tapi berhubungan dengan kesukaan dan keinginan pribadi saja.
Jauhnya Islam dari kehidupan generasi muda saat ini menjadi penyebab mudahnya budaya asing masuk dan mengobrak-abrik akidah generasi muda Muslim. Pemuda Muslim lupa akan jati dirinya, bahwa seorang Muslim harus berperilaku dan berpikir dengan landasan Islam pula. Semuanya bergantung pada hukum syara’, tergantung pada perintah dan larangan Allah SWT. Mencontoh bagaimana Rasulullah SAW melakukan aktivitas sehari-harinya semasa beliau hidup dan iniah satu-satunya idola yang pantas kita jadikan teladan bukan yang lain.
Mudahnya generasi muda yang terpapar dengan kebudayaan asing diakibatkan karna masyarakat sekarang tidak memiliki pondasi yang kuat. Individu yang bertakwa, masyarakat yang mengontrol dengan ber-amar ma’ruf nahi munkar serta negara yang memiliki kekuasaan untuk menjaga individu serta masyarakatnya untuk selalu taat kepada Allah. Bahkan saat ini negara memfasilitasi kebebasan itu, individu diperkenankan melakukan apa yang mereka suka, perihal agama? ya tanggung jawab masing-masing.
Padahal dalam Islam jelas, negara dan pemimpin tanggung jawabnya mengurusi segala urusan umat, menjaga agar umat tidak terpapar dengan pemahaman, pemikiran serta kebudayaan asing yang mengancam akidah umat Islam. Sewajarnya generasi muda saat ini peka terhadap hal ini, kebudayaan asing bukanlah sekadar kebudayaan saja tapi mereka memang memiliki misi untuk mempertahankan eksistensinya dan pemahamannya agar di adopsi mayarakat dunia.
Mereka juga ingin mempertahankan ideologi yang mereka bawa. Hal ini bukanlah perkara main-main bagi umat Islam, ini sangat berbahaya terhadap akidah kita. Kita bisa lupa kalau kita ini hidup untuk apa dan untuk siapa. Seolah-olah kehidupan ini hanya milik kita, kita yang memilik otoritas terhadap kehidupan kita. Padahal kita diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, manusia adalah seorang hamba yang seharusnya tunduk pada Sang Pencipta. Pemahaman dan akal kita pun harus tunduk pada aturan yang Allah buat, bukan pada yang lain.
Generasi muda Muslim saat ini harus dipahamkan betapa pentingnya memahami dan menambah tsaqofah Islam untuk menjaga kita dari pemahaman sekuler yang ada di sistem kapitalis saat ini dan juga ikut mendakwahkannya agar umat menyadari hal yang sama. Penjagaan yang kuat terhadap akidah umat dan penerapan Islam secara kaffah demi menjaga umat dari serangan pemahaman asing tidak akan bisa dilakukan dengan efektif tanpa adanya negara yang menaunginya, negara yang memang menerapkan sistem Islam sebagai pengatur kehidupannya bukan menggunakan undang-undang yang diadopsi dari pemahaman Barat. Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya metode yang bisa menjaga umat dan memperbaiki tatanan kehidupan umat saat ini. Walahu’alam[]
Oleh: Albayyinah Putri, S.T., Alumnus Politeknik Negeri Jakarta
0 Komentar