Hustle Culture: Helpful or Harmful

 


Istilah Hustle Culture kembali eksis di tengah masyarakat terutama kaum muda untuk menggambarkan suatu produktivitas seseorang. “Hustle Culture” adalah gaya hidup yang mendorong seseorang untuk bekerja terus menerus, kapanpun dan dimanapun atau sering disebut juga dengan istilah budaya “gila kerja” atau workaholic. Budaya bekerja yang terburu-buru, seakan-akan dikejar-kejar oleh sesuatu. Semakin meningkatnya penggunaan sosial media untuk menjaga eksistensi diri ternyata semakin menumbuh suburkan budaya “Hustle Culture” ini, dimana adanya mahasiswa/masyarakat merasa insecure ketika dirinya tidak memiliki kesibukan yang banyak. Adapun banyaknya tugas atau pekerjaan yang tengah dikerjakannya menjadi kebanggaan tersendiri bagi dirinya sehingga setiap kesibukannya pun diunggah di sosial media agar orang lain tahu betapa sibuk atau produktifnya dirinya saat ini.

Banyak masyarakat membanggakan kesibukannya. Semakin sibuk semakin keren, bahkan diunggah di sosial media agar publik mengetahui kesibukannya. Sekitar 45% orang, khususnya pekerja bangga memposting kesibukannya ke sosial media untuk menunjukan bahwa mereka adalah orang yang paling produktif dan menyukai kesibukan. Rasa bangga ini muncul karena kesibukan tersebut bisa menjadi sumber pundi-pundi uang, sehingga dianggap sebagai calon orang kaya. Pernyataan Elon Musk “Agar bisa ubah dunia, seseorang perlu kerja hingga 100 jam seminggu” juga sering dijadikan dalih. Sehingga “orang-orang hebat dunia” ini dijadikan sumber inspirasi jam kerja, agar bisa sukses seperti mereka.

Banyak masyarakat dunia telah menjadi korban akibat terlalu banyak bekerja dan melupakan istirahat. Hasil pengamatan WHO bersama ILO, di tahun 2016 sekitar 745.000 orang di dunia meninggal akibat stroke dan serangan jantung yang diakibatkan bekerja lebih dari 55 jam/minggu. “Kerja lebih dari 55 jam/minggu memicu orang terkena stroke 35% dan serangan jantung 17% lebih tinggi” (Riset WHO dan ILO). 57% Pekerja di Amerika Serikat dan Kanada mengalami stress karena pekerjaan (Gallup’s 2021 Report). 53% Millenials di Amerika Serikat sudah mengalami burn-out sejak sebelum pandemi, dan kini menjadi 59%. (Menurut Forbes). Sepanjang tahun 2015, jumlah kasus bunuh diri di Jepang karena persoalan pekerjaan mencapai 2.159 (catatan Kementerian Kesehatan dan Tenaga Kerja Jepang).

Budaya “gila kerja” atau workaholic sudah ada sejak masa revolusi industri di Eropa, sekitar abad ke-18 hingga ke-19. Namun, istilah ini semakin ramai saat ini karena pengaruh media sosial saat ini yang penggunaannya semakin intens, terutama pada masa pandemi yang semuanya dituntut untuk tetap tinggal di rumah saja. Dimana sosial media memberikan ruang untuk “pamer”. Selama pandemi ga ada yang bisa diposting selain pekerjaan di rumah aja. Jika sebelum pandemi masyarakat banyak yang menunjukan kegiatan-kegiatan di luar rumah seperti liburan ke pantai, gunung, mall, dan lainnya. Istilah Hustle Culture lahir dari barat yang tamak atau rakus untuk mengejar dunia sehingga tidak bisa disamakan dengan produktivitas kaum muslimin atau para ulama yang mencari ridho Allah melalui ibadah maupun proses menuntut ilmu. 

Jika diamati lebih lanjut, sistem kapitalisme menjadi akar penyebab munculnya “Hustle Culture”. Sistem kapitalisme menciptakan masyarakat yang berprinsip untuk meraih keuntungan materi sebesar-besarnya, sehingga semangat untuk bekerja lebih banyak dengan tujuan meraih materi lebih besar pun semakin menjadi-jadi, tanpa mempertimbangkan kesehatan, lingkungan, maupun keimanan. Sistem kapitalisme adalah sistem yang berlandaskan materi. Masyarakat yang hidup di tengah sistem kapitalisme menjadikan materi sebagai standar kesuksesan. “Semakin besar gaji/upah, semakin sukses”, dimana gaji/upah tersebut akan diberikan oleh para pemilik modal (kapitalis).

Sistem kapitalisme menjadi alasan kuat tetap bertahannya budaya “gila kerja” ini karena dalam sistem kapitalisme “Hustle Culture” sangat menguntungkan para kapitalis. Prinsip kerja yang menguntungkan para kapitalis (pemilik modal) menyebabkan para pekerja rela bekerja melebihi batas kapasitas normal. Konsep berpikir “semakin sibuk semakin kaya” pun dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk meningkatkan kinerja para pegawai yang nantinya akan menguntungkan para kapitalis. Konsep Hustle Culture ini pun dimanfaatkan oleh para kapitalis dengan dalih “semakin sibuk bekerja, semakin besar gajinya maka semakin sukses.” Kapitalis dapat untungnya, pegawai dapat sakit dan lelahnya. Keuntungan materi ini menjadi faktor penyebab munculnya/bertahannya “Hustle Culture” saat ini.

Standar kesuksesan yang berdasarkan besarnya materi akibat pengaruh sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme membentuk masyarakat yang menjadikan materi sebagai standar hidup, bukan ridho Allah atau pahala sebagaimana konsep yang terdapat dalam sistem islam. Standar kapitalisme ini semakin menjauhkan masyarakat dari keimanan. Perlu dipahami bahwa Kegiatan produktif adalah kegiatan yang sejalan dengan tujuan hidup manusia. Adapun tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mengabdi Kepada Allah. Manusia diciptakan dengan berbagai macam potensi dan ciri khasnya bukan hanya untuk menghabiskan waktunya untuk bekerja apalagi menjadi budak korporat. Potensi yang diberikan Kepada manusia hanyalah untuk memaksimalkan pengabdiannya Kepada Allah. Sedangkan Hustle Culture justru menyebabkan manusia lupa dengan hakikatnya sebagai manusia.

Hustle Culture terlalu menekan manusia untuk bekerja semaksimal mungkin tanpa pertimbangan tujuan hidup kita sebagai hamba Allah. Hustle Culture muncul karena adanya keinginan meraih keuntungan materi sebesar-besarnya, maka sangat wajar jika hustle culture ini tidak sejalan dengan tujuan hidup manusia yakni mengabdi dan taat Kepada Allah swt. Maka, Hustle Culture termasuk budaya kerja yang tidak produktif, bahkan cenderung membahayakan diri manusia sebagaimana fakta yang telah dijelaskan sebelumnya.

Maka, masyarakat saat ini terutama kaum muslimin harus mengupayakan perbaikan. Umat harus memahami tujuan hidup manusia di dunia dengan mengkaji islam. Tujuan hidup manusia adalah untuk mengabdi untuk beribadah Kepada Allah swt. Maka, kita seharusnya senantiasa mempertimbangkan segala kegiatan atau aktivitas kita berdasarkan standar yang Allah ridhoi. Serta pahami standar amal/perbuatan terbaik dalam islam. Agar setiap amal perbuatan manusia senantiasa sesuai dengan apa yang Allah ridhoi, maka perhatikan dua perkara, yaitu: Niat yang ikhlas dan Cara yang benar. Niat ikhlas semata-mata hanya untuk meraih ridho Allah, bukan untuk dipuji, eksistensi, maupun keuntungan materi. Serta dengan cara yang benar, yaitu cara-cara yang sesuai hukum syariat islam. 

Untuk menyelesaikan akar masalah Hustle Culture, tentu haru menyelesaikan akar penyebab munculnya hustle culture yaitu sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme harus diganti dengan sistem kehidupan islam secara kaffah agar terwujud masyarakat yang memiliki peraturan, pemikiran maupun perasaan yang islami. Untuk mengganti sistem kapitalisme tersebut maka perlu diwujudkan dengan sistem yang paripurna yaitu penerapan sistem islam secara paripurna sehingga terwujudlah sistem kehidupan islam yang rahmatan lil’alamin. Perjuangan untuk mewujudkan sistem islam yang paripurna tersebut telah dicontohkan oleh suri tauladan kita, Rasulullah saw, dengan cara berdakwah berjamaah. Maka, mari kita wujudkan sistem islam kaffah ini dengan mendakwahkan islam bersama-sama. Wallahu a’lam bishshowwab.


Oleh: Isra Novita



Posting Komentar

0 Komentar