Jebakan Jokowi End Game, Buktikan Rezim Zalim



Jokowi End Game tampaknya masih hangat diperbincangkan di jagat tanah air. Terutama setelah ketiadaan aksinya di dunia nyata pada Sabtu, 24/7/2021 setelah viral seruan demo di jagat maya atas ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan pandemi Covid-19. Sementara sebanyak 3.385 personel kepolisian telah dikerahkan. Kendaraan lapis baja telah disiapkan di beberapa titik. Tak kelupaan barikade kawat berduri pun dipasang di kawasan Harmoni Jakarta Pusat yang menuju ke Jalan Majapahit dan Istana Negara. Ditambah dengan penutupan jalan protokol Medan Merdeka Utara dan Medan Mereka Barat, pihak Polda Metro Jaya akhirnya menyatakan tidak ada demo pada hari itu. (cnnindonesia.com, 25/7/2021). 


Beberapa pihak menuding bahwa viralnya aksi demo itu didalangi oleh barisan sakit hati, dimana mereka mencari kekuasaan seperti disampaikan oleh Kepala Pusat Kajian Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Hermawan Sulistyo dalam kompastv pada 25/7/2021. Hal senada disampaikan Said Didu dengan menyatakan adanya “orang dalam” pada viralnya isu Jokowi End Game ini. (kabar24.bisnis.com, 30/7/2021). Lantas, apakah rezim hari ini sudah masuk dalam kategori rezim yang rentan dengan artifisial? 


Dalam buku Media Komunikasi: Diskursus Profetik, Agama, dan Pembangunan karya M Ghozali Moenawar, disebutkan bahwa teknologi digital membawa dampak buruk bagi masyarakat. Salah satunya adalah hadirnya masyarakat yang rentan dengan artifisial, yakni tidak sempat mencerna informasi dengan baik. Pola komunikasi tanpa verifikasi, tanpa klarifikasi, dan tanpa crosscheck, langsung sebar. (medcom.id, 26/7/2021).


Menyikapi peristiwa ini, tak penutup kemungkinan bahwa pemerintah terkait telah terjangkit dampak buruk teknologi digital. Sebab, telah mengerahkan personel dan juga seperangkat alat pertahanan lainnya guna menyikapi tagar viral aksi demo di media sosial tanpa melakukan verifikasi, klarifikasi, atau crosscheck terlebih dahulu. Padahal, sejumlah alat negara dapat digunakan untuk mendeteksi aktivitas masyarakat, seperti Badan Inteligen Negara (BIN) atau bagian khusus dalam kementerian telekomunikasi. Bagaimana mungkin tindakan pengerahan besar-besaran ini dilakukan tanpa koordinasi dengan pihak terkait?


Bisa jadi rezim “khawatir” akan kekuasaannya. Terlebih pemilu 2024 telah dipersiapkan, dimana petugas partainya telah berlomba mengangkat baliho setinggi-tingginya. Karena itu, rasa “kepanasan” mulai muncul dan agresif memutuskan untuk menurunkan ribuan personel dalam rangka menjaga ketat para pendemo. Meski pada akhirnya mereka pulang dengan santai seperti bebas tugas.


Alasan diserukannya demo Jokowi End Game ini juga sangat relevan dengan keadaan. Kegeraman masyarakat tentu menjadi layak, sebab setiap hari mereka disuguhkan dengan kematian lebih dari seribu warga per hari akibat Covid-19, yang memuncak di bulan Agustus 2021. Penyelesaian pandemi juga tampaknya dilaksanakan dengan perhitungan keuntungan segelintir elit semata. 


Menyikapi penyelesaian pandemi Covid-19 yang sudah lebih dari 1,5 tahun awet menyebar di Indonesia, kini suara hati masyarakat diungkapkan oleh seorang pedagang angkringan, Muhammad Aslam. Ia secara resmi mengajukan gugatan Perbuatan melanggar Hukum oleh Presiden ke Pengadilan Tata Usaha Jakarta. Pasalnya karena Presiden telah menerapkan PPKM Darurat atau istilah lainnya yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 tentang Kekarantinaan Kesehatan. 


Selain itu, Presiden juga digugat Aslam karena telah mengangkat Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) . Padahal dalam Pasal 1 angka 29 UU 6/2018 dinyatakan: "Pejabat Karantina Kesehatan adalah Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di bidang Kesehatan yang diberi kewenangan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan untuk melaksanakan Kekarantinaan Kesehatan". (law-justice.co, 8/8/2021) 


Seperti diketahui, Luhut yang bertugas sebagai Menko Maritim dan Investasi telah ditunjuk oleh Jokowi sebagai Koordinator PPKM Darurat untuk Pulau Jawa dan Bali pada 2 Juli hingga 20 Juli 2021. Kilas balik sebelumnya, pada 14 September 2020, Jokowi memutuskan menunjuk Luhut menangani lonjakan kasus Covid-19 di 8 provinsi utama. Delapan provinsi utama tersebut yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Papua. (cnbcindonesia.com, 30/6/2021)


Jokowi juga meneken Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2020 tentang perombakan struktur Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) dimana mereka bukan ahli dalam menangani pandemi. KPC PEN justru diisi oleh mayoritas orang-orang yang berfokus pada perekonomian, dimana ketuanya adalah Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan wakilnya Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Polhukam Mahfud MD, Menko PMK Muhadjir Effendi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, lalu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ditambah Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sebagai perwakilan dari bidang kesehatan. Terakhir ada satu wakil ketua yang merangkap sebagai ketua tim pelaksana yang diisi Menteri BUMN Erick Thohir.


Adapun Kementerian Kesehatan dan yang terkait dengan Pejabat Kementerian Kesehatan hanya berposisi sebagai Wakil Ketua Satgas. Selain Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, sub bagian lainnya adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri. (nasional.kompas.com, 13/11/2020). 


Jauh panggang dari api. Apa yang diamanatkan pendahulu kesehatan Indonesia tak ada refleksi pada kenyataan yang detik ini dialami publik. Karantina yang diamanatkan undang-undang hanya menjadi wacana. Pejabat kesehatan yang harusnya ditugaskankan menjauhkan publik dari pandemi pun hanya jadi pelengkap semata. Akibatnya menyebabkan pandemi yang berkepanjangan dengan korban yang terus berjatuhan. 


Dengan demikian, paket kebijakan pandemi di Indonesia dapat dikatakan melanggar ketentuan Undang-Undang dan keliru sejak awalnya. Jokowi End Game hanyalah satu bentuk pengungkapan yang sesuai dengan realita yang ada. Keadaan ini sungguh jauh dari pandangan Islam.


Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah. Ia tak layak jadi rebutan apalagi sampai dilakukan dengan tipu daya. Dalam Islam, kekuasaan merupakan bencana bagi seseorang kelak di akhirat, meski dia menikmatinya selagi di dunia. Abu Hurairah ra. meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya kalian akan berantusias untuk menjadi pemimpin. Hal itu akan menjadi penyesalan di Hari Akhir. Kepemimpinan adalah kenikmatan di dunia, tetapi ia adalah bencana di akhirat.”


Dalam Islam, kekuasaan juga tidak boleh diberikan kepada manusia yang berambisi terhadap kekuasaan atau ia memintanya sendiri. Rasulullah saw bersabda:


إنَّا لَا نُوَلِّى هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ


“Sesungguhnya kami tidak menguasakan jabatan ini kepada orang yang memintanya, dan juga kepada orang yang sangat menginginkannya. (HR. Al-Bukhari)


Beratnya tugas sebagai pemimpin pun bisa didapatkan dari cerita para pemimpin Islam. Mari tengok apa yang diungkapkankan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dikisahkan dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah karya Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif bahwa salah seorang terdekat Umar bin Abdul Aziz datang menghadapnya setelah ia dibaiat sebagai khalifah, lalu Umar mengatakan: “Aku khawatir telah menjerumuskan diriku sendiri.” 


Para khulafa ar Rasyidin pun betul-betul menjaga titah sebagai pemimpin dengan betul-betul menjadikan keteladanan Rasulullah dalam memimpin rakyat. Berat hati mereka menerima tugas sebagai khalifah, namun dengan anggapan bahwa kemaslahatan rakyat akan lebih terjaga dengan diterapkannya aturan Allah oleh pemimpinnya, tugas sebagai khalifah pun tak terelakkan.


Para khalifah pun sangat selektif dalam memilih pegawai pemerintahan, baik sebagai wakil-wakilnya atau pun petugas administratifnya. Setiap orang dipekerjakan sebagaimana keahliannya. Mereka khawatir akan terjerumus pada kehancuran jika memilih orang dengan posisi yang hanya sesuai dengan hawa nafsunya, sebagaimana digambarkan Rasulullah saw yang mulia. 


إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانتَظِرْ السَّاعَةَ.


“Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Al-Bukhari)


Begitulah kekuasaan dalam pandangan Islam. Ia tidak diperebutkan oleh orang-orang beriman, sebab pertanggungjawabannya sangatlah besar di sisi Allah Swt. Oleh karena itu, setiap mendapat amanah menjadi pemimpin, mereka akan mendasarkan aturan pada pelaksanaan hukum Allah Swt semata. Paradima berpikir Islam inilah yang dibutuhkan saat ini oleh rakyat seluruh Indonesia, terutama untuk menyelesaikan pandemi yang berkepanjangan dan kezaliman lainnya. Wallahu a’lam.


Oleh Annisa Al-Munawwarah

(Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Generasi)


Posting Komentar

0 Komentar