Untuk menekan angka kasus Covid-19, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor mengadakan program vaksinasi secara masif. Berbagai upaya dilakukan Pemkot agar seluruh lapisan masyarakat mau ikut serta dalam program tersebut. Di kutip dari laman republika.co.id, pada Rabu Juli 2021, Polresta Bogor melakukan razia vaksin mengajak masyarakat pengguna jalan untuk divaksinasi di Gedung DPRD Kota Bogor. Berbagai kalangan masyarakat termasuk sopir angkot, ojek online dan tukang sayur juga diajak untuk menerima vaksin. Bahkan setelah vaksinasi, Kapolresta memberi sejumlah uang kepada seorang tukang sayur yang melintas di Jalan pemuda.
Upaya Pemkot Bogor dalam menyukseskan target vaksinasi agar selesai pada Oktober 2021, patut mendapatkan apresiasi. Pasalnya, Pemkot Bogor terus berkomunikasi dengan pusat untuk penambahan vaksin. Bahkan dalam melakukan akselerasi vaksinasi ini, Pemkot Bogor telah menggandeng dan berkoordinasi dengan aparat setingkat kecamatan, mulai dari organisasi massa, Polri, TNI, Lurah, hingga RT/RW. Berdasarkan laporan pelaksanaan vaksinasi covid-19 Kota Bogor, hingga Selasa (27/7/2021) tercatat telah menyuntik 251.637 orang dengan dosis pertama dan 131.394 orang dengan dosis kedua dari sasaran 819.444 orang.
Pemkot Bogor juga telah menyiapkan sebanyak 32 sentra vaksinasi covid-19 dengan target 15.000 perhari, dari usia 12 tahun ke atas yang menjadi sasaran program vaksinasi. Seperti yang kita ketahui bahwa vaksinasi adalah salah satu upaya pemerintah untuk menangani pandemi. Maka pengadaan vaksin harus menjadi prioritas bagi pemerintah. Karena faktanya, masifnya program vaksinasi hanya terjadi di kota-kota besar. Sedangkan di daerah mereka kesulitan untuk mengakses vaksinasi, kalaupun ada pendaftaran vaksin via online hanya berlangsung 10 menit kemudian ditutup dengan alasan stok sudah habis.
Padahal untuk mendapatkan herd imunity diperlukan persentase 70 persen orang yang sudah divaksin secara tuntas di seluruh Indonesia. Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin Irwandy SKM,MScPH, MKes menyebutkan bahwa jumlah kematian akibat covid-19 yang tinggi, bukan hanya disebabkan satu faktor saja tapi persoalannya sudah sistemik. Yaitu menyangkut tidak siapnya sistem kesehatan yang meliputi seluruh sistem kesehatan mulai dari sistem pelayanan kesehatan dasar dan lanjutan, obat dan perbekalan kesehatan, sistem informasi kesehatan, SDM kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan sebagainya.
Tidak meratanya program vaksin ini menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat, karena saat ini sertifikasi vaksin menjadi syarat utama jika mau melakukan perjalanan baik darat maupun udara, untuk semua jenis keperluan seperti bekerja, kuliah, dan lain sebagainya. Hal ini tentu akan semakin menyulitkan masyarakat yang berimbas terhambatnya pendidikan dan pekerjaan yang harus dilakukan oleh masyarakat. Jika program vaksin ini diwajibkan bagi seluruh masyarakat, seharusnya pemerintah bukan hanya memfasilitasi suplai vaksin di kota-kota besar saja, sedangkan di daerah tidak disuplai vaksin yang mereka butuhkan.
Fakta ini menunjukkan gagapnya pemerintah menangani pandemi dari sejak awal wabah menyerang negeri ini. Berbagai kebijakan dan pembatasan yang terus berganti dan berubah-ubah hingga pemerintah mencanangkan adanya program percepatan vaksinasi, terkesan sangatlah lamban. Sementara penyebaran virus berlangsung dalam hitungan menit bahkan detik.
Dan apakah memang benar bahwa program percepatan vaksinasi ini ditujuan untuk menyelamatkan nyawa rakyat dari gempuran wabah pandemi yang kian tak terkendali? Ataukah ada tujuan lain yang menjadi tujuan utama pemerintah begitu getolnya melakukan vaksin massal?
Diungkapkan oleh Menteri Koordinator dan Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang memberikan kabar baik bagi pelaku usaha untuk membuka kegiatan ekonominya tergantung pada target vaksinasi, pencapaian 3T dan penerapan protokol kesehatan 5M. Ia menjanjikan pembukaan ekonomi akan dimulai pada bulan September 2021 secara bertahap.
Lagi-lagi orientasi ekonomi yang menjadi tujuan dari program percepatan vaksin tersebut. Padahal vaksin bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi pandemi. Kebijakan yang senantiasa sarat kepentingan ekonomilah yang sebenarnya membuat negeri ini menjadi “mangsa” makhluk kecil tak kasat mata. Karena orientasi materi menjadi asas dari sistem kapitalisme yang menjadi rujukan pemerintah dalam menangani pandemi, yang mengakibatkan nyawa rakyat menjadi taruhannya.
Selain melakukan program vaksinasi seharusnya pemerintah juga melakukan test dan tracing secara massif kepada seluruh masyarakat. Sehingga bisa diketahui yang mana yang sakit dan yang sehat kemudian memisahkannya. Yang sakit dikarantina dan diberikan pengobatan yang maksimal dengan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan obat-obatan yang mampu menyembuhkan yang sakit. Sedangkan yang sehat bisa beraktivitas seperti sedia kala, sehingga di daerah yang tidak terkontaminasi dengan wabah, bisa menjalankan perekonomian dan menopang wilayah-wilayah yang terkategori zona merah. Selain itu melakukan karantina wilayah/lockdown agar wabah tidak menyebarluas ke wilayah yang lainnya.
Namun sayangnya penguasa kapitalis tidak akan melakukan hal demikian, karena perhitungan untung rugilah yang selalu menjadi dasar ketika berhadapan dengan pengurusan rakyat. Hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam (Khilafah). Khilafah bukan hanya menyediakan vaksinasi secara gratis bagi seluruh rakyatnya, lebih dari itu Khilafah memiliki kemampuan untuk melakukan riset mutakhir untuk menghasilkan vaksin dengan kualitas yang terbaik.
Masa kekhilafahan Utsmaniyah atau Ottoman merupakan yang pertama kali merintis vaksinasi cacar jauh sebelum Eropa dan Amerika mengembangkannya. Sebelum Edward Jenner memperkenalkan istilah “vaksinasi” dalam usahanya menemukan vaksin smallpox, Sudan dan Turki sudah memiliki konsep yang mirip, namanya Variolation. Praktik inipun terus menyebar di Turki lewat kaum Saljuk yang kemudian terus dilakukan oleh para dokter pada jaman kesultanan Utsmani.
Sangatlah mudah mewujudkan sistem kesehatan yang terbaik dalam naungan khilafah, karena kesehatan rakyat langsung berada dalam tanggung jawab negara, tidak diserahkan kepada swasta apalagi asing dan aseng. Pembiayaan dalam jumlah yang besar semua ditanggung oleh negara yang menerapkan sistem ekonomi dan sistem keuangan yang sesuai syariat Islam
Sejarah mencatat, bagaimana para pemimpin dalam peradaban Islam serius mengurusi kebutuhan warga negaranya. Bahkan Islam menjadi mercusuar peradaban dunia. Hal ini tak lain muncul dari kesadaran yang tinggi dalam diri pemimpin muslim bahwa mereka adalah penanggung jawab atas nasib warga negaranya. Dan kelak, Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka terhadap apa yang telah dilakukan selama memimpin warga negaranya.
Penulis : Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)
0 Komentar