Kematian Pasien Saat Isoman: Tidak Konsistennya Kebijakan?

 



"Kematian sejatinya adalah indikator keseriusan situasi pandemi di suatu negara atau wilayah. Bahkan hilangnya satu nyawa saja merupakan indikator kegagalan pengendalian pandemi atau wabah" (Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman). 


Analis data LaporCovid-19 Said Fariz Hibban mengatakan sebanyak 2.313 pasien COVID-19 di Tanah Air meninggal saat melakukan isolasi mandiri. Dari jumlah tersebut, 1.214 orang berasal dari DKI Jakarta, di mana 403 diantara mereka berdomisili di wilayah Jakarta Timur (VOA Indonesia, 23/7/2021).


Padahal menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia dr. Daeng M. Faqih bahwa isoman di rumah hanya bisa dilakukan oleh pasien Covid-19 yang tanpa gejala atau juga gejala ringan. Sementara pasien dengan gejala sedang, berat dan kritis harus menjalani perawatan di rumah sakit.


Sejurus dengan itu, Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban, telah mendesak pemerintah untuk memperbanyak rumah sakit darurat atau rumah sakit lapangan. Hal ini demi merawat pasien COVID-19 dengan gejala ringan hingga tanpa gejala atau OTG.


Zubairi menilai, kebijakan tersebut untuk mengantisipasi warga positif COVID-19 meninggal dunia saat isoman. Selain itu, dia menyarankan agar pasien COVID-19 yang boleh isoman mesti memiliki hasil rontgen paru dengan kondisi normal dan juga saturasi oksigen yang baik.


Mencermati hal tersebut, Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan bahwa kita telat dalam mengadakan testing dan tracing dari awal pandemi. Sehingga gagal dalam menemukan kasus-kasus infeksi sejak awal.


Belum lagi adanya temuan oleh LaporCovid-19 yang mendapatkan data bahwa orang yang meninggal di luar rumah sakit banyak yang tidak tercatat di pemerintah pusat. 


Per tanggal 23 juli 2021, LaporCovid-19 mencatat terdapat perbedaan data sebanyak 19 ribu orang yang meninggal. Jumlah tersebut terdapat di kota kabupaten yang tidak tercatat di pemerintahan pusat.


Selain faktor eksternal, faktor internal dari masyarakat sendiri juga sangat berpengaruh. Seperti dilansir dari VOA indonesia.com ketua LaporCovid-19 Ahmad Arif, menyatakan banyak masyarakat terutama yang tinggal di wilayah pedesaan minim pengetahuan dan masih banyak yang percaya pada berita bohong atau hoaks terkait pandemi COVID-19 (2/7/2021).


Hal ini memiliki dampak yang serius karena di lapangan terutama di daerah sub-urban dan rural banyak orang yang sengaja menghindari fasilitas kesehatan walaupun sudah bergejala COVID-19 dan akhirnya meninggal dan ini cukup signifikan.


Maka saat ini pemerintah harus merombak ulang dalam hal manajemen pandemi. Pertama, meningkatkan kembali testing, tracing juga vaksin. Hal ini agar kasus orang yang terinfeksi dapat segera ditemukan dan tidak menyebar ke orang lain. Begitu pun dengan vaksin, harapannya bila virus memasuki tubuhnya, maka gejala yang timbul tidaklah berat.


Kedua, menempatkan orang yang terinfeksi di fasilitas kesehatan yang terpusat. Hal ini penting, agar kondisi kesehatan mereka dapat terus terpantau walaupun tanpa gejala. Ketiga, memperbanyak fasilitas kesehatan seperti rumah sakit lapangan. Melihat saat ini jumlah kasus harian meningkat dengan signifikan sehingga kebutuhan akan fasilitas kesehatan pun juga meningkat.


Keempat, memberikan edukasi pada seluruh masyarakat. Hal ini kaitannya dengan cara komunikasi pemerintah pada masyarakat. Agar mereka paham betapa penularan virus ini nyata dan bagaimana mereka menghadapinya. Karena targetnya adalah kesadaran, maka edukasi ini dapat dikemas dalam bentuk apapun.


Kelima, pendataan yang lebih mutakhir, baik yang terkonfirmasi positif ataupun yang sudah wafat. Hal ini dapat menjadi dasar bagi kebijakan pemerintah dalam bentuk apapun dalam menangani pandemi.


Dari itu semua sesungguhnya adalah bagaimana pemerintah dapat lebih empati kepada rakyat dalam hal apapun. Apalagi dalam masa pandemi saat ini. Kesulitan dan kesusahan pasti dirasakan oleh seluruh masyarakat dari berbagai sisi. Hilangnya pekerjaan, ditambah uang pendidikan dan sakit ataupun wafatnya anggota keluarga, itu merupakan hantaman yang sangat berat.


Serangan virus covid-19 yang makin meningkat dan tak diketahui ujung pangkalnya, merupakan ujian kepemimpinan bagi pemerintah. Apakah akan terus bermain dengan kebijakan. Fokus dalam penanganan pandemi atau malah fokus dalam perbaikan ekonomi. Kebijakan yang pro rakyat atau pro pemilik modal.


Hal itulah maka harus ada dasar pijakan yang kuat dalam pengambilan keputusan. Bukan hanya masalah data, tapi solusi mana yang dapat diambil agar banyak masalah ini bisa selesai. 


Dasar pijakan itu harus diambil dari sang pencipta, karena hanya Allah swt lah sang pemberi solusi yang selesai hingga akarnya. Termasuk masalah pandemi. Karena dari hal yang mendasar hingga teknis ada aturannya dalam Islam. Sehingga kenalilah Islam lebih dalam bila ingin negara terselamatkan. Wallahu 'alam.


Oleh Ruruh Hapsari




Posting Komentar

0 Komentar