“Halah! Jangan ke rumah sakit, nanti kamu di covid -kan loh. Palingan hanya flu musiman. Akhir-akhir ini Jakarta hujan bukan?” ujar salah seorang warga yang mulai jengah dengan kondisi tak berujung.
“Sabar, Bapak Ibu. Memang anda saja yang lelah dan ingin didahulukan? Kami juga lelah dan bahkan belum berkesempatan mendahulukan keinginan berjumpa keluarga.” bentak seorang nakes yang tampak berantakan dan murung di lorong rumah sakit yang tidak sepenuh biasanya.
“Apa PPKM? Pembatasan lagi? Diperpanjang? Tidak perlu dihiraukan. Pembatasan terakhir saja sudah ditaati tapi tidak juga membaik kondisi ini. Mau makan apa kalau hari ini kita absen lagi mengais rejeki? Bantuannya juga dikorupsi pemerintah. Sudah sudah! Tidak perlu bergantung dan mengerti lagi pada kebijakan di atas. Toh mereka tidak ada yang akan pernah memahami sulitnya jadi kita, rakyat kecil yang keluar mati dan tidak keluar mati juga. Buat apa dengar lagi kata mereka yang dari awal tidak pernah serius mengurusi rakyat? Oiya mereka mengurusi rakyat, rakyat berdolar!” jerit si orang kecil.
Krisis. Satu kata yang menggambarkan kondisi masyarakat hari ini. Krisis kepercayaan yang berujung pada krisis kemanusiaan. Setelah jengah dengan kondisi pandemi yang tidak kunjung membaik dan teratasi dengan baik, publik mulai mengalami ketidakpercayaan baik kepada kebijakan pemerintah menangani pandemi hingga kepada virus covid-19 itu sendiri. Ketidakpercayaan dan rasa lelah ini dilampiaskan dengan melanggar protokol kesehatan, praktik pengobatan yang sebatas pada apa yang dipercayai tanpa ada landasan data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, hingga melampiaskan kejengahan pada tenaga kesehatan, satuan tugas (satgas), dan pelaksana program penanganan pandemi dengan penganiayaan fisik. Sebagaimana yang terjadi di Desa Jatian, Kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember, yang melakukan penganiayaan terhadap tim pemakaman jenazah pasien Covid-19 dilansir melalui Kompas.com (24/7/2021).
Bukan hanya kepada para pelaksana program penanganan pandemi, bahkan antar masyarakat pun terjadi berbagai konflik yang berujung pada aksi kekerasan. Seperti dilansir dalam kompas.com (24/7/2021) yang dialami salah seorang warga asal Desa Sianipar Bulu Silape, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Salamat Sianipar (45) yang diamuk warga sekitar karena positif Covid-19 dan ingin melakukan isolasi mandiri di rumah. Sungguh memilukan. Di tengah krisis kesehatan dan ekonomi yang menjadi dampak pandemi, publik juga dirundung krisis kepercayaan dan kemanusiaan. Public trust terus menggerogoti tubuh masyarakat. Kekacauan terjadi di berbagai lini kehidupan.
Perlu di garis bawahi bahwa kondisi ini tidak terjadi begitu saja. Pun masyarakat dan penguasa yang masih memiliki akal sehat seharusnya menyadari bahwa 1 tahun lebih menghadapi virus tak kasat mata bukanlah waktu sebentar dengan berbagai penanganan yang diupayakan. Akan tetapi, ternyata akal sehat menjadi harga mahal hari ini. Baik masyarakat dan bahkan pejabat negara yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah publik ini justru ibarat supir mabuk menyetir kebijakannya. Terbukti dengan kebijakan asal-asalan yang masih juga dipertahankan atau sekedar di tambal sulam hingga 1 setengah tahun menghadapi pandemi. Meski data kasus covid membuktikan tidak juga penurunan kasus infeksi dan meninggal atas penanganan yang dilakukan pemerintah. Penguasa tampaknya masih juga tidak berbenah dan terus menampakkan ketidakpeduliannya kepada rakyat baik kesehatan mereka, maupun urusan perut mereka.
Tidak cukup sampai disana, kekacauan ini ditambah dengan komunikasi dan edukasi pemerintah yang tidak jelas. Satu waktu memberikan pernyataan A, di waktu lain meminta maaf dan mengoreksi pernyataan. Satu waktu marah-marah kepada publik dan kelepasan memberi jaminan tak mendasar, di waktu lain berbeda lagi kebijakan yang diambil. Satu waktu membercandai keadaan, di waktu lain lagi-lagi meminta maaf dan menarik pernyataan. Bagaimana publik tidak jengah dan sulit percaya? Alhasil berkembang berbagai berita simpang siur dan minim kroscek. Ironisnya sering berasal dari tokoh terpandang yang memiliki wewenang hukum. Sekali lagi pandemi ini menyingkap krisis yang menjangkiti penduduk salah satu negara terkaya sumber daya alamnya.
Padahal jika orang berakal sehat yang terlebih memiliki jabatan dan akses kepada kekuasaan masih mampu mendahulukan keimanan dan kejernihan berpikir, tentu mudah menemukan solusi yang jelas dan tegas yang telah dipaparkan dalam syariat Islam. Syariat Islam menjelaskan penanganan suatu wabah ialah dengan penguncian wilayah terpapar dan fokus memberikan pengobatan yang setulus hati dengan tentu saja pembiayaan yang ditanggung negara melalui kas negara dengan mekanisme baitul mal dalam Islam. Sehingga negara tidak akan berkilah alasan ekonomi untuk menolong nyawa rakyatnya. Karna dalam Islam nyawa manusia sangat berharga dan hal tersebut didukung dengan sistem pemerintahan, ekonomi, kesehatan, dan sosial yang jelas dan benar dari Dzat Yang Menciptakan manusia. Sistem terintegrasi dan pengotrolan terpusat dalam Islam yang tidak tebang pilih mendahulukan orang-orang kaya saja akan mampu menyelesaikan krisis kesehatan ini tanpa mengabaikan hak hidup penduduk yang menjadi tanggung jawabnya.
Disamping itu pemerintah di dalam Islam akan mengedukasi rakyatnya dengan berbasis fakta dan data yang dilandasi tentu saja dengan ketaatan kepada Allah ta’ala. Sehingga dalam kondisi ujian dan cobaan ini rakyat dalam sistem Islam juga dibekali dengan kekekuatan keimanan kepada Allah ta’ala dan menyikapi wabah selayaknya seorang hamba yang beriman. Suasana yang akan terbangun di tengah masyarakat ialah suasana keimana dan rasa tolong menolong sebab bagian dari perintah Rabb nya. Sikap individualis di tengah masyarakat Islam adalah sesuatu yang akan langka ditemukan, sebab masyarakat dalam sistem ini dibina oleh negara dengan sistem pendidikan berbasis Islam yang membentuk kesadaran sebagai hamba dan ketaatan pada Penciptanya. Jamaah dakwah yang berada dalam sistem Islam berperan besar juga dalam membina masyarakat dengan Islam dan membantu peran negara mewujudkan kesadaran keimanan. Bukan justru dipersekusi dan dibungkam untuk memberikan nasihat dan kritik terhadap kebijakan penguasa yang justru juga ikut menjaga kewarasan masyarakat didalamnya.
Oleh: Syifa Nailah Muazarah
Alumni ITB Astronomi
0 Komentar