Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kejanggalan besaran anggaran Pemprov DKI Jakarta dalam pembelian alat tes cepat atau rapid test Covid-19. Temuan tersebut disampaikan BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemprov DKI. Dalam LHP tertulis bahwa Pemprov DKI Jakarta telah membuang anggaran hingga Rp1,19 miliar pada pos Belanja Tidak Terduga (BTT) tahun anggaran 2020 (suara.com, 5/8/2021).
Namun, Inspektur Provinsi DKI Jakarta, Syaefuloh Hidayat mengatakan bahwa Pemprov DKI telah rampung menindaklanjuti sejumlah temuan BPK. Syaefuloh memastikan tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan. Rekomendasi yang diberikan BPK bersifat perbaikan administrasi. Menurut Syaefuloh, karena bersifat administratif, temuan BPK tidak berdampak pada kewajaran laporan keuangan dan opini yang diterima Pemprov DKI pada tahun 2020, yaitu tetap Opini WTP (tempo.co, 8/8/2021).
Sungguh mengherankan, temuan kemahalan harga hingga Rp1, 19 miliar disebut hanya bersifat administratif. Bahkan, disebut tidak merugikan negara.
Padahal, Ombudsman.go.id, menulis bahwa tidak ada korupsi yang tidak diawali maladministrasi. Korupsi merupakan buntut dari tindakan maladministrasi baik berupa perbuatan penyimpangan prosedur, keberpihakan maupun bentuk-bentuk perbuatan maladministrasi lainnya yang kemudian menyebabkan kerugian.
Apalagi, aspek pengeluaran prinsip penyusunan APBN adalah hemat, efesien dan sesuai dengan kebutuhan. Artinya, terjadinya selisih harga yang diambil oleh Pemprov DKI Jakarta dalam pengadaan alat rapid tes tidak sesuai prinsip hemat dan efisien.
Dalam penjelasannya, Kadinkes DKI mengatakan bahwa melaksanakan pengadaan barang saat pandemi sangat tidak mudah. Perlu ketelitian, mengingat harga satuan yang beragam dan ketersediaan stok yang fluktuatif. Belum lagi waktu yang singkat, karena harus segera melakukan pengadaan agar mendapat barang yang diinginkan (liputan6.com, 8/8/2021).
Namun idealnya, pandemi janganlah dijadikan alasan untuk menghamburkan anggaran. Apalagi, salah satu pos pembiayaan negara berasal dari utang. Lagipula, walau dikatakan semua prosedur pengadaan barang dan jasa sudah sesuai Peraturan Lembaga LKPP No 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat. Hendaknya pada saat melakukan negosiasi harga, pejabat terkait mengambil harga se-efisien mungkin.
Alasan kesesuaian prosedur juga harusnya menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah pusat maupun daerah. Apakah aturan yang selama ini digunakan sudah benar-benar memudahkan seluruh masyarakat dan mengedepankan prinsip efisiensi? Apakah aturan yang digunakan masih menyisakan celah korupsi?
Karena, berdasarkan pengakuan Syaefuloh di laman detiknews.com, 8/8/2021, lebih lanjut dia mengatakan bahwa pada pemeriksaan yang dilakukan BPK pasti terdapat temuan. Hal itu terjadi tidak hanya di Pemprov DKI Jakarta, tetapi juga di provinsi-provinsi lain dan instansi/lembaga negara di tingkat Pusat.
Pernyataan Syarfuloh senada dengan berita yang ditulis laman cnnindonesia.com, 7/1/2020, tentang laporan temuan hasil audit dugaan korupsi yang terjadi di PT Pelindo II. Laporan tersebut terkait JICT, Koja [Peti Kemas Koja], Global Bond, dan Kali Baru. Adapun kerugiannya diramal mencapai Rp6 triliun.
Yang ditekankan jajaran Pemprov DKI Jakarta bahwa temuan BPK tidak berpengaruh pada opini BPK terhadap Pemprov DKI, yakni WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Namun, seharusnya, indikasi kebenaran dari suatu aktivitas yang berkaitan dengan pelaksanaan amanah di pemerintahan tidak hanya dinilai dari opini WTP.
Idealnya, harus ada kesesuaian dengan perilaku orang-orang yang ada di struktur pemerintahan yang mendapat amanah mengelola anggaran. Karena faktanya, di satu sisi kementerian/lembaga atau pemerintah daerah telah mendapatkan opini WTP, namun korupsi masih di sana. Tidak sedikit pula pejabat atau pegawai yang terjaring operasi tertangkap tangan (OTT) oleh penegak hukum, miris.
Selain kemahalan harga, BPK juga menemukan bahwa DKI Jakarta masih membayar gaji dan tunjangan kinerja daerah (TKD) pada pegawai yang telah wafat atau pensiun pada 2020. Nilainya mencapai Rp862,7 juta (cnnindonesia.com, 7/8/2021).
Tentu temuan tersebut bisa dikatakan tidak masuk akal. Mengingat, tunjangan kinerja daerah (TKD) dihitung berdasarkan jumlah kehadiran dan juga out come atau pencapaian kinerja yang dihasilkan pegawai dalam periode tertentu, dalam hal ini satu bulan. Selain adanya dugaan kecurangan, masalah ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal di Pemprov DKI Jakarta. Harusnya hal ini tidak terjadi, apalagi saat ini sistem akuntansi keuangan/barang dan jasa maupun sistem pengawasan di lingkungan Kementerian/Lembaga, Pemprov maupun satuan kerja di daerah telah terhubung secara komputerisasi.
Temuan terkait kemahalan harga dan kelebihan pembayaran gaji dan TKD harusnya tidak diselesaikan secara administrasi semata. Mengingat, hal itu terkait dana umat. Sungguh memilukan, di saat para tenaga kesehatan tertunda pembayaran insentifnya dan banyak rakyat kelaparan imbas aturan PSBB maupun PPKM, Pemprov tidak menggunakan anggaran secara bijak.
Dari penjabaran di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pengendalian internal pemerintah masih lemah. Dalam laporan pemeriksaan tiap periodenya masih ditemukan kelemahan baik kebijakan maupun pengawasannya. Kelemahan ini menjadi faktor utama penyebab belum tertib, transparan dan akuntabelnya pengelolaan keuangan pemerintah. Apalagi, hasil pencatatan seringkali berbeda antara realitas dengan data yang disajikan.
Hal tersebut seperti yang disampaikan Ketua Badan Pengawas Keuangan (BPK), Agung Firman bahwa BPK menemukan 5.480 permasalahan pengelolaan anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam 4.094 temuan. Temuan yang dimaksud meliputi 51 persen atau 2.784 masalah ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan Rp 1,35 triliun (kompas.com, 6/5/2020).
Oleh karena itu, kiranya pemprov DKI dan seluruh Kementerian/Lembaga menjadikan temuan BPK menjadi bahan muhasabah bukan malah mencari pembenaran sendiri.
Karut-marut dan komplikatif, mungkin kata-kata itulah yang saat ini menggambarkan kondisi pengelolaan keuangan di tubuh lembaga negara. Sistem dan kebijakannya begitu kompleks, sehingga menyebabkan mudah terjadi fraud. Namun, hal ini sangat lumrah di sistem manajemen demokrasi kapitalisme.
Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “OnIslamic Accounting” mengatakan bahwa Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme. Sedangkan dalam Akuntansi Islam, konsepnya berdasarkan hukum syariat (Al Qur'an dan assunnah). Selain itu, Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu sifat hanif yang menuntut agar entitas juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat.
Orang-orang yang ada di struktur pemerintahan Islam mengedepankan sikap takwa kepada Allah dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Kebijakan yang dikeluarkan tidak berbelit, apalagi harus melewati birokrasi yang bertingkat.
Dalam hal pengadaan barang dan jasa, pemerintahan Islam akan mengupayakan dan memenuhi semua kebutuhan umat secara mandiri. Tidak bergantung pada negara lain. Seperti yang terjadi di DKI Jakarta, alat rapid test dibeli dari Singapura dengan harga yang mahal. Dengan kemandirian, alat tersebut bisa diberikan gratis kepada warga. Apalagi, di tengah kondisi pandemi seperti saat ini.
Selain itu, sistem administrasi dalam Islam sangat rapi, bahkan mencakup data nasab. Jadi, jika ada orang yang terlantar negara bisa membantu mencarikan kerabat yang bertanggungjawab, sebelum negara sendiri yang turun tangan. Sistem administrasi ini mencakup ketika seseorang wafat juga harta atau utang-piutangnya untuk diinformasikan ke ahli waris yang bersangkutan.
Bertolak belakang dengan sistem administrasi negeri ini yang masih semrawut. Walaupun mungkin aturannya jelas, namun masih banyak celah yang multitafsir. Selain itu, belum diimbangi dengan mekanisme yang memaksa orang untuk taat pada sistem sekaligus berprinsip keadilan.
Fakta di lapangan, data yang ada tidak terhubung dengan administrasi kependudukan yang resmi. Sehingga akhirnya, banyak dimanfaatkan oknum tidak bertanggung jawab untuk melakukan kecurangan.
Oleh karena itu, dibutuhkan sistem komprehensif dan paripurna dalam penyelenggaraan negara. Sistem solutif yang bukan semata tunduk pada norma-norma kepatutan, melainkan wujud dari ketakwaan kepada Sang Pencipta, yakni Allah Swt. agar kesejahteraan yang selama ini didambakan bisa terwujud. Tentu, semua bisa tercapai jika kita kembali pada sistem yang benar yaitu sistem Islam, wallahualam bishawab.
Oleh Anggun Permatasari
0 Komentar