Menakar Hakikat Kemenangan



Kemenangan adalah satu kata yang identik dengan keunggulan dalam mengalahkan musuh atau saingan. Karenanya, suatu kemenangan pasti melahirkan euforia. Namun uniknya, kemenangan tidak selalu menghasilkan kondisi yang lebih baik. Hal ini terjadi jika kemenangan yang diperoleh, bukan merupakan kemenangan yang hakiki. Kemenangan seperti ini sering disebut dengan kemenangan semu.


Contoh terkini adalah kemenangan Taliban atas pemerintah Afghanistan, yang ditandai dengan didudukinya Kabul pada 15 Agustus 2021. Jatuhnya pemerintahan Afghanistan ditandai dengan hengkangnya Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani ke Uni Emirat Arab pada hari yang sama. Jatuhnya Kabul tanpa perlawanan ke tangan Milisi Taliban juga ditandai oleh penarikan secara bertahap pasukan Amerika Serikat (AS) yang selama ini mem-back-up pemerintahan Afghanistan. Dilansir dari detiknews (2/6/2021), pasukan AS telah mengosongkan pangkalan udara Bagram di Utara Kabul.


Sejatinya, hengkangnya Ghani adalah atas kesepakatan yang dibuat antara Ghani dengan AS agar ia mengundurkan diri dari jabatan kepresidenan dan menyerah secara damai. Demikian pula dengan kemenangan Taliban. Sesungguhnya campur tangan AS atas kemenangan Taliban juga sangatlah besar. Terbukti dengan dilakukannya pembicaraan damai antara AS dengan Taliban yang dimulai secara tentatif sejak pertempuran paling berdarah di tahun 2014. Saat itu, pasukan internasional NATO mengakhiri misi tempur mereka dengan menyerahkan tanggung jawab keamanan kepada tentara Afghanistan. Kondisi ini kemudian justru memberi ruang pada Taliban untuk merebut banyak wilayah.


Kemenangan Semu Taliban  


Pada awal Agustus 2021, Joe Biden, Presiden AS nampak tenang-tenang saja meski pejabat intel AS memprediksi jatuhnya pemerintahan Afghanistan tidak lama lagi. Hal ini karena Taliban memang telah menguasai separuh Afghanistan. Sejak dilakukannya penarikan pasukan AS secara bertahap, maka Taliban-pun segera menyapu bersih Afghanistan. Ternyata sikap tenang Biden ini bukan tanpa alasan. Biden ternyata telah menghitung dengan cermat, untung ruginya dari upaya negosiasi dengan Taliban ini. 


Kenyataan bahwa AS sejatinya tidak pernah sepenuhnya meraih kemenangan secara militer di Afghanistan, menjadi pertimbangan yang selalu ditutup-tutupi oleh pemerintah AS. Pemerintah AS tidak pernah sekalipun mengeluarkan pengakuan kalah perang. Di sisi lain, perang panjang yang menjadi drama konflik terlama yang dilakoni AS ternyata telah menelan kerugian negara hingga US$ 2 triliun. Disamping telah menewaskan 2.300 orang pasukan, perang berkepanjangan ini juga semakin melelahkan dan tidak populer lagi di mata warga AS. Seruan dari warga negara AS untuk mengakhiri campur tangan pemerintahnya di Afghanistan kemudian semakin santer disuarakan.


Melalui kesepakatan antara AS dengan Taliban di Doha, Qatar pada 29 Februari 2020, AS sepakat menarik sisa-sisa pasukannya dari Afghanistan yang telah mereka duduki selama hampir dua dekade. Namun, dalam kesepakatan tersebut Taliban juga menyatakan untuk tidak akan membiarkan al-Qaeda ataupun kelompok ekstremis lainnya beroperasi di wilayah yang mereka kuasai. Di dalam perjanjian yang tidak melibatkan Afghanistan tersebut, Taliban juga berjanji akan melepaskan 1.000 tawanan dari pasukan Afghanistan dan menukarnya dengan 5.000 tawanan Taliban, BBC Indonesia – detikNews (20/8/2021).


Perjanjian damai antara AS dengan Taliban pada 29 Februari 2020 lalu, telah menjadi tanda berakhirnya invasi militer AS di Afghanistan. Dikutip dari kompas.com (1/3/2020), poin pertama yang tertulis dalam draft perjanjian menyatakan jaminan bahwa tanah Afghanistan tidak boleh digunakan oleh siapapun untuk menyerang keamanan AS dan sekutunya. Di bagian kedua, berisi jaminan dan mekanisme AS untuk menarik seluruh pasukannya dari tanah Afghanistan. 


Pada bagian ketiga, perundingan intra Afghanistan digelar pada 10 Maret 2020 dan akan dilakukan setelah kedua pihak memenuhi kewajiban pada bagian pertama dan kedua. Sedangkan bagian keempat dalam draft dinyatakan bahwa gencatan senjata secara permanen dan komprehensif harus dibahas dalam negosiasi intra Afghanistan, meliputi tanggal dan mekanismenya.


Poin-poin yang bisa diambil dari keempat bagian draft di atas adalah, pertama, AS harus menarik mundur pasukannya secara bertahap dalam 14 bulan. Kedua, AS harus melepaskan tahanan perang pada 10 Maret 2020, dan dilaksanakan dalam 3 bulan. AS dan Taliban telah berjanji untuk saling berkomitmen melaksanakan ini. Ketiga, sanksi AS untuk anggota Taliban akan dihapuskan paling lambat tanggal 29 Mei 2020. 


Keempat, Taliban berkewajiban untuk menjaga keamanan AS dan sekutunya dari segala ancaman keamanan, dan tidak bekerja sama dengan siapapun yang mengancam keamanan AS dan sekutunya. Taliban juga tidak boleh membiarkan terjadi perekrutan, pelatihan, dan penggalangan dana, serta tidak akan memfasilitasi hal-hal tersebut sesuai dengan perjanjian damai yang terjalin. Kelima, AS akan meminta pengesahan dari PBB terkait perjanjian damai tersebut, sehingga AS dan Taliban bisa membangun hubungan yang baik seiring dibentuknya pemerintahan Afghanistan lewat perundingan intra Afghanistan. 


Dari poin-poin tersebut di atas, apakah dapat dibaca sebagai perjanjian yang saling menguntungkan antara AS dengan Taliban sebagai pemerintahan yang baru berkuasa? Bukankah hampir 20 tahun yang lalu AS-lah yang mulai memicu perang berkepanjangan yang meluluhlantakkan Afghanistan sedemikian rupa? Lalu tak berartikah penderitaan rakyat Afghanistan dan puluhan ribu nyawa yang tewas karena perang berpanjangan itu? Bukankah AS layak dianggap sebagai negara musuh oleh Taliban yang kini memerintah Afghanistan? 


Lalu, bukankah pemerintah Afghanistan yang baru seharusnya berhak mengatur negaranya sendiri, tanpa diatur-atur lagi oleh AS yang telah angkat kaki dari negeri itu? Kalau AS masih saja sebagai penentu kebijakan di Afghanistan, lalu di mana letak kedaulatan Afghanistan sebagai sebuah negara yang merdeka? Masih banyak lagi tanda tanya besar yang muncul, sebagai pembuktian bahwa sejatinya kemenangan Taliban di negerinya sendiri hanyalah kemenangan yang semu belaka.


Hakikat Kemenangan yang Sebenarnya


Dalam Surah at-Taubah ayat 100, Allah SWT berfirman tentang kemenangan yang agung, kemenangan yang hakiki, “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.”

Di dalam ayat lain Allah berfirman, yaitu di Surah an-Nisa ayat 13-14, yang artinya, “Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka Allah akan memasukkannya ke dalam jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Dia di dalamnya dalam keadaan kekal dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar hukum-hukum-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka. Dia di dalamnya dalam keadaan kekal dan baginya azab yang menghinakan.” Inilah hakikat kemenangan yang sebenarnya, yaitu saat menaati hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya, bukan taat pada hukum musuh Allah dan Rasul-Nya.


Taat kepada Allah dan Rasulnya, itulah kata kunci yang seharusnya membuka mata hati dan pikiran setiap Muslim terkait hakikat kemenangan yang sebenarnya. Suatu kemenangan hanya dapat diraih ketika musuh dapat dikalahkan. Maka ketika musuh telah ada dihadapan, perlakukanlah ia sebagai musuh. Sikap Muslim terhadap musuh tentu harus menjadikan musuh itu sebagai lawan, bukan kawan. Jika musuh dijadikan kawan, lalu di mana letak kemenangan melawan musuh?


AS sebagai negara adi daya penggerak lokomotif ideologi Kapitalisme, telah nyata dan terang benderang menempatkan dirinya sebagai musuh Islam dan Kaum Muslimin. Tak ada satu katapun yang bisa membuktikan tentang kebijakan AS yang memihak Islam. Semua narasi dan rekayasa AS atas negeri-negeri Muslim sejatinya harus selalu diwaspadai. Dalam pandangan Islam, AS adalah negara kafir harbi yang secara fakta selalu memusuhi Islam dan Kaum Muslimin. 


Negara kafir harbi artinya negara musuh, negara yang memerangi Kaum Muslimin. AS tidak akan memerangi suatu negara jika tidak ada kepentingan politik terkait ideologi, seberapapun kayanya negera tersebut. AS juga menguasai suatu negara lewat para kompradornya yang merupakan penguasa di negara tersebut, karena motif ideologi yang diembannya. Jadi alangkah bodohnya jika Taliban yang nota bene berkeinginan menerapkan syariat Islam, tetapi menjabat erat tangan AS. AS sejatinya tak akan pernah rida jika syariat Islam diterapkan di belahan bumi manapun. Apakah Taliban yakin Afghanistan akan mendapatkan kebaikan dan kesejahteraan dengan tunduk pada AS? Maka berpikirlah cerdaslah wahai Kaum Muslimin! Berpegangteguhlah pada kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, agar tidak tertipu oleh kafir musuh Islam. []


Oleh Dewi Purnasari

Aktivis Dakwah Politik


Posting Komentar

0 Komentar