Untuk menghadapi pasar bebas, pemerintah telah melakukan akselerasi peningkatan daya saing dan pertumbuhan ekonomi negara. Kebijakan tersebut telah ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019. Akselerasi dilakukan dengan mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional di sektor infrastruktur. Sayangnya, pembebasan lahan itu menjadi salah satu masalah krusial saat ini.
Seperti yang terjadi di DKI Jakarta. Dilansir dari laman liputan6.com, 21/7/2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Munjul seluas 4,2 hektar (42 ribu meter persegi), Kelurahan Pondok Rangon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur Tahun Anggaran 2019. Oleh karena itu, tim penyidik KPK memeriksa Wakil Direktur PT Adonara Propertindo, Anja Runtunewe dan beberapa saksi.
Berdasarkan pemeriksaan, setidaknya ada beberapa pelanggaran dalam pengadaan tanah di Cipayung. Di antaranya yakni, tidak adanya kajian kelayakan terhadap Objek Tanah, tidak dilakukannya kajian appraisal dan tanpa didukung kelengkapan persyaratan sesuai dengan peraturan terkait. Selain itu, beberapa proses dan tahapan pengadaan tanah juga diduga kuat dilakukan tidak sesuai SOP, adanya dokumen yang disusun secara backdate dan terdapat kesepakatan harga awal antara pihak AR dan PD Sarana Jaya sebelum proses negosiasi dilakukan (KPK.go.id, 14/6/2021).
Sesungguhnya, masalah ini sudah jauh-jauh hari dibahas oleh para ahli. Menurut Pakar Anti Pencucian Uang dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti, Yenti Garnasih bahwa pemerintah masih harus menghadapi adanya celah korupsi yang menjadi problem dalam pengadaan tanah terkait infrastruktur. Masalah korupsi ini sekaligus menambah daftar panjang sengkarut pengadaan tanah lainnya yang tidak boleh dianggap sepele. Masalah yang membuka celah koruptif menurutnya adalah penyalahgunaan kewenangan atau tindakan melawan hukum yang pastinya akan berdampak pada pembangunan infrastruktur (hukumonline.com, 22/12/2016).
Berdasarkan pernyataan tersebut, kasus pelanggaran pengadaan tanah di Cipayung menurut KPK diduga telah melakukan tindakan melawan hukum (KPK.go.id, 14/6/2021).
Yenti juga mengatakan bahwa yang harus diperhatikan oleh pejabat terkait dalam hal ini adalah Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Karena, lazimnya akan turut melibatkan sejumlah pihak, antara lain pemerintah yang memiliki prakarsa, masyarakat sebagai penerima ganti kerugian dalam penggantian pengadaan lahan, dan pengembang proyek infrastruktur.
Seperti pada kasus pengadaan tanah di Munjul yang melibatkan Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya (PDPSJ), Yoory Corneles Pinontoan. Sebelumnya PDPSJ ditugaskan untuk membangun hunian DP Rp 0. Hal tersebut merupakan salah satu program unggulan Anies Baswedan (KPK.go.id, 14/6/2021).
Namun sangat disayangkan, walaupun sudah terdapat aturan hukumnya masih saja terjadi penyelewengan. Dikutip dari halaman berita online kontan.co.id, 27/5/2021, menurut Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, akibat perbuatan para tersangka, diduga telah merugikan keuangan negara setidak-tidaknya sebesar sejumlah Rp152,5 miliar.
Selain itu, Yenti juga menegaskan pentingnya menjaga setiap rencana pembangunan yang diprakarsai pemerintah demi kepentingan umum dengan penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tersebut. Fokus yang perlu diperhatikan bukan hanya penanganan di hilir, melainkan dimulai dari hulu. Contohnya, membuat satu kajian, satu peta dan data BPN yang akurat, tanah mana yang tidak sengketa. Hal tersebut dianggap penting sebab, penyelesaian pada hilir tidak akan menyelesaikan pangkal permasalahan yang muncul di hulu.
Terkait masalah mendasar yang ada di hulu, menurut Mukmin Zaki, Legality, Vol.24, No.1, Maret 2016-Agustus 2016, terdapat dua faktor hukum yang menjadi akar konflik pertanahan, yaitu, tumpang tindih peraturan dan tumpang tindih kebijakan. Oleh karena tidak konsistennya Undang-Undang sektoral tersebut, masalah pertanahan pun tidak terelakkan.
Selain itu, celah koruptif juga ditengarai berasal dari beberapa ketentuan dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Hal tersebut dapat dilihat dari aturan kelembagaan yang masih belum berubah. Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Daerah (Pemda) saat ini adalah lembaga yang berwenang mengurusi pengadaan tanah dimana penentuan harga dilakukan oleh appraisal. Sementara, lembaga atau pihak yang membutuhkan tanah tersebut hanya menunggu sampai tanah tersebut siap dibangun.
Jika merujuk UU Nomor 2 Tahun 2012, kepentingan umum sebagaimana diatur didalamnya juga tidak diutamakan. Pembangunan untuk kepentingan umum idealnya memiliki karakteristik setidaknya tiga hal, yakni lintas batas segmen sosial, utamanya bukan untuk mencari keuntungan (profit), dan dibiayai, dibangun, dan dijalankan oleh badan pemerintah. Sayangnya, ciri-ciri tersebut dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 ‘dicampur’ dengan koridor kepentingan bisnis dimana rencana pembangunan justru kerap disederhanakan menjadi ‘proyek’ infrastruktur.
Jika kita saksikan fakta yang terjadi hari ini, praktik mark up yang jelas merupakan cara terselubung korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) terjadi di hampir semua kementerian tidak terkecuali Pemprov DKI Jakarta. Menurut Begawam ekonomi Indonesia almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo, sekitar 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Tidak bisa dipungkiri, hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi.
Dari penjabaran di atas, jelas bahwa penyalahgunaan wewenang dan tindakan melawan hukum sehingga menyebabkan korupsi dan kerugian negara bukan semata kesalahan oknum. Tetapi, Undang-undang rujukan juga kebijakan yang masih tumpang tindih memberi celah terjadinya fraud. Sehingga, yang menjadi pekerjaan rumah utama bagi pemerintah adalah penataan regulasi mendasar masalah pertanahan baik di hulu maupun di hilir.
Miris, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, hendaknya pemerintah pusat hingga level daerah memperhatikan aturan agama dalam menyusun kebijakan dan memutuskan suatu perkara. Karena, masalah korupsi bukan saja persoalan yang disebabkan ketamakan individu semata. Harus diakui, persoalan korupsi saat ini telah menjadi persoalan sistemik yang sulit untuk dihindari tidak terkecuali dalam perkara pengadaan tanah di DKI Jakarta.
Menjamurnya sistem korupsi di Indonesia tidak terlepas dari sistem politik yang digunakan. Negara yang menerapkan sistem politik demokrasi dipastikan menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi. Dalam sistem politik demokrasi, rakyat diberikan kedaulatan penuh untuk membuat undang-undang. Saat manusia diberikan hak untuk membuat sebuah aturan, produk hukum yang dihasilkan berpeluang memiliki kecenderungan asas kepentingan. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pejabat yang kurang kompeten dalam mengurus pemerintahan.
“Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan Ruwaibidhah turut bicara.” Lalu beliau ditanya, “Apakah al-ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum” (HR Ibnu Majah).
Walhasil, politik yang dilakukan lebih pada tendensi kepentingan individu dan kelompok bukan fokus pada politik pelayanan kepada masyarakat.
Jika saja pemerintah menjadikan aturan Islam sebagai asas, maka korupsi tidak merajalela seperti sekarang ini. Karena, fakta dari sebuah sistem demokrasi yang terjadi adalah sebaik apapun penerapan demokrasi di sebuah negara, pasti selalu ada potensi praktik penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang tidak adil. Hingga kini, sulit sekali bahkan mungkin mustahil mewujudkan pemerintahan bersih yang berkeadilan dalam sistem sekuler seperti saat ini. Karena itu, masihkah kita percaya sistem demokrasi untuk memberantas kasus korupsi, penyelewengan kewenangan dan kekuasaan? Wallahi alam bishawab.
Oleh Anggun Permatasari
0 Komentar