Dalam rangka mengurangi kuantitas sampah yang masuk ke TPST Bantar Gebang, Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta melakukan upaya pembangunan Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA) di Tebet. Pembuatan FPSA atau Intermediate Treatment Facility (ITF) juga diwujudkan untuk mengimplementasikan Peraturan Gubernur Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga (m.mediaindonesia.com, 8/8/2021).
Selain itu, dibuatnya FSPA oleh Dinas LH DKI Jakarta juga mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah mengatur tentang Fasilitas Pengolahan Sampah Antara yang selanjutnya disingkat FPSA. Dalam Perda tersebut, FPSA adalah fasilitas pengolahan sampah untuk mengurangi sampah, melalui perubahan bentuk, komposisi, karakteristik dan jumlah (volume dan berat) sampah dengan menggunakan teknologi pengolahan sampah yang tepat guna, teruji dan ramah lingkungan (m.mediaindonesia.com, 8/8/2021).
Namun sangat disayangkan, FPSA menggunakan mesin incinerator sebagai alat penghancur sampah. Banyak kalangan menyayangkan rencana tersebut. Bahkan sejak tahun 2014, Walhi sudah mengingatkan bahwa incinerator memiliki efek samping yang membahayakan masyarakat dan lingkungan. Menurut Walhi, mengoperasikan incinerator butuh pengetahuan soal insinerasi dan pembakaran sampah.
Faktanya, incinerator menghasilkan abu buangan 10 hingga 15 persen dan gas yang berbahaya bagi pernapasan semisal metan. Tentu hal ini bertolak belakang dengan Perda Nomor 4 Tahun 2019 yang mengatur FPSA agar menggunakan teknologi ramah lingkungan.
Ditemui di Jakarta, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan bahwa pihaknya secara tegas menolak rencana FPSA di Taman Tebet. Alasan pertama, proyek pengelolaan sampah dengan teknologi incinerator tidak ada dalam kebijakan dan strategi daerah untuk pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenis sampah rumah tangga (beritasatu.com, 8/8/2021).
Dalam rencana kegiatan strategis daerah, Pemprov membuat program pengurangan sampah di sumbernya melalui kegiatan Sampah Tanggung jawab Bersama (Samtama) pada Rukun Warga (RW) percontohan. Di tahap awal, sebanyak 22 RW menjadi pelopor program ini. Nantinya, gerakan ini akan direplikasi ke seluruh RW se-Jakarta (kompas.com, 8/11/2019).
Penyebab kedua adalah proyek tersebut berpotensi menambah beban pencemaran udara di Jakarta yang tinggi. Apalagi, FPSA berada di area publik (taman) yang berdekatan langsung dengan permukiman warga. Teknologi termal seperti incinerator bukan merupakan energi baru, melainkan teknologi lama yang sudah banyak ditinggalkan. Oleh karena itu, FPSA dengan teknologi incinerator bertentangan dengan Perda Nomor 4 Tahun 2019, yakni tidak memperhatikan aspek sosial dan tidak tepat guna dalam pengelolaan sampah (beritasatu.com, 8/8/2021).
Lagipula, berdasarkan informasi dari laman incinerator.co.id, terdapat kriteria umum jenis sampah yang akan dihancurkan. Ini disebabkan tidak semua jenis sampah diperbolehkan dibakar. Selain itu, sampah sebaiknya dalam kondisi kering dengan kadar air sekitar 10% RH atau lebih kering, ukuran diameter relatif kecil dan tipis dan mempunyai nilai kalori sekitar 5600 kalori/kg atau lebih besar. Artinya sampah harus dipilah terlebih dahulu. Kenyataan di lapangan, sampah rumah tangga tercampur dengan limbah B3 seperti bangkai baterai atau telpon selular yang mengandung bahan kimia berbahaya.
Menurut Walhi, pemerintah seharusnya memperkuat upaya pengelolaan sampah berbasis (TPS) 3R berbasis masyarakat. Karena jumlah TPS 3R Jakarta masih jauh dari angka ideal. Selain itu, Pemprov baiknya juga memberikan dukungan dan memperluas praktik-praktik baik pengelolaan sampah yang sudah berjalan di komunitas masyarakat (m.mediaindonesia.com, 8/8/2021).
Penggunaan incinerator di tengah permukiman warga dinilai tidak menyelesaikan masalah, namun menambah masalah. Sebab, akibat yang ditimbulkan merupakan zat kimia yang bersifat karsinogenik serta risiko pencemaran lingkungan oleh zat kimia seperti timbal dan Kadmium.
Apalagi, di masa pandemi seperti saat ini, selain limbah elektronik banyak ditemukan sampah medis yang tercampur dengan sampah rumah tangga. Tentu ini sangat mengkhawatirkan dan akan menjadi masalah tersendiri. Sampah medis harus dipisah dengan sampah rumah tangga karena penanganannya berbeda.
Apabila merujuk pada WHO dan UNEP, di tahun 2003, PBB telah mengesahkan penanganan limbah medis dengan metode penguapan atau autoklaf. Cara ini mengganti metode pembakaran untuk mencegah lepasan persistent organic pollutants (POPs) atau senyawa organik yang bersifat racun dan bertahan lama di lingkungan.
Autoklaf memperlakukan limbah medis menjadi steril dengan cara menggunakan uap panas, dicacah dan akhirnya dibuang ke TPA. Di Indonesia, sudah beberapa autoklaf dipasang di rumah sakit. Sayangnya, karena izinnya berbelit sampai tahun 2019 dari 54 rumah sakit baru 4 yang sudah mengantongi izin pengoperasian.
Dalam Undang-undang Nomor 18 TAHUN 2008 tentang Pengolahan Sampah disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintahan daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan. Pemerintah hendaknya juga mendengarkan dan menjadikan pandangan para ahli sebagai pertimbangan dalam membuat kebijakan.
Idealnya, penyelesaian masalah sampah tidak bisa mengandalkan kesadaran masyarakat semata dan diselesaikan secara parsial. Diperlukan kebijakan dan infrastruktur pengelolaan sampah. Selain itu, aturan dan kebijakan komprehensif yang saling terkait dengan masalah lain, seperti: pendidikan, kesehatan, tata ruang, aturan pangan, UU industri dan politik. Edukasi yang benar diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran dan pemahaman warga tentang pentingnya kebersihan.
Sebenarnya, persoalan sampah sudah berlangsung lama. Sayangnya, saat ini kita hidup di alam kapitalisme dimana untuk masalah kebersihan atau sampah masih didominasi aktivis lingkungan maupun organisasi kesehatan di luar pemerintah. Pemerintah belum sepenuhnya menangani polemik sampah. Malah saat ini, pemerintah mengimpor sampah.
Sesungguhnya, jika saja pemerintah pusat maupun pemprov merujuk pada aturan agama sebagai dasar kebijakan dalam menangani masalah sampah, tentu akan lebih mudah. Terbukti, Al Qur'an dan assunah sudah sangat rinci mengatur tentang kebersihan. Dalam aturan Islam, masalah sampah merupakan tanggung jawab seluruh warga negara. Pada level individu, Islam mendorong kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan karena bagian dari keimanan.
Secara kolektif, negara membuat aturan yang memudahkan dan menganjurkan warganya agar saling tolong menolong dalam kebaikan dalam hal menjaga kebersihan. Kemudian pemerintah di berbagai level membuat regulasi yang mengikat, tegas serta pengawasan optimal. Selain merupakan bagian dari ibadah, menjaga kebersihan adalah bentuk ikhtiar agar tubuh tetap sehat. Melalui aturan komprehensif dan mengikat, diharapkan tidak ada lagi sampah yang menggunung apalagi sampai mencemari lingkungan, Wallahualam bishawab.
Oleh Anggun Permatasari
0 Komentar