Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie merasa aneh dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang akan menarik utang jumbo sebesar Rp 515,1 triliun di semester II 2021. Pasalnya, pengumuman itu disampaikan saat pemerintah sedang `bergembira` atas laju ekonomi yang meroket hingga 7,07 persen di kuartal II 2021. “Aneh, kenapa ini mau ngutang?” kata Jerry melansir RMOL, Rabu (11/8/2021).
Jerry mengatakan, terkait utang demi utang terebut bisa membuat Indonesia bangkrut. Ia juga mencium ada gelagat Sri Mulyani yang tidak baik bagi keberlangsungan masa depan Indonesia.
Sementara di sisi lain, Jokowi tampak kurang peka dengan langkah monoton Sri Mulyani yang hanya mengandalkan utang luar negeri tanpa membuat terobosan untuk menghindari utang. “Saya curiga dia bagian kaki tangan IMF atau world bank. Tambah utang berarti kan tambah beban,” ungkap Jerry.
Indonesia memang masuk kategori terlalu boros di tangan Sri Mulyani. Gelontoran dana untuk penanganan Covid-19 tahun 2020 saja sudah menghabiskan Rp 1.035 triliun, sementara hasilnya Indonesia masih jalan di tempat bahkan terbilang mundur dalam beberapa pekan terakhir. Jika tujuannya untuk pembiayaan infrastruktur, maka ada baiknya ditangguhkan karena rakyat sedang menderita karena corona, (kontan.co.id, 29/12/2020).
Disisi lain, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II tahun 2021 yang berhasil tumbuh positif sebesar 7,07% menggambarkan arah dan strategi pemulihan ekonomi sudah benar, (kemenkeu.go.id, 06/08/2021).
Pemulihan ekonomi ini dapat dilihat dari seluruh mesin pertumbuhan yang sekarang sudah mulai pulih kembali. Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,9%, investasi berada di 7,5%, perdagangan tumbuh di 9,4%, sektor konstruksi tumbuh 4,4%, transportasi di 25,1%, serta akomodasi makanan dan minuman sebesar 21,6%.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di tahun 2021 tetap fokus mendukung sisi permintaan maupun dari sisi sektor produksi, seperti meningkatkan bantuan sosial (bansos), serta pelaksanaan berbagai kebijakan-kebijakan yang dapat membantu sektor usaha.
“Dengan bansos yang diberikan oleh pemerintah, kita mampu menekan tingkat kemiskinan meskipun tetap terjadi kenaikan dan juga dari tingkat pengangguran. Dengan demikian, bisa juga mempengaruhi dari sisi demand-nya apabila kemiskinan dan pengangguran bisa diminimalkan atau ditahan kenaikannya,” kata Menkeu.
Namun dampak yang ditimbukan dengan menghitung total keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, maka setiap satu penduduk atau per kepala Warga Negara Indonesia (WNI) menanggung utang sebesar Rp 23,75 juta. Angka tersebut didapat dengan membangi jumlah utang pemerintah Rp 6.418 triliun dengan jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2020 dari BPS dengan populasi sebanyak 270,2 juta penduduk.
Dan mengutip buku nota keuangan RAPBN 2021, bukan hanya utang semakin membengkak, namun juga akan pembayaran bunga utang itu terdiri dari pembayaran utang dalam negeri sebesar Rp355,1 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp18,15 triliun. Jika demikian realitasnya, kapan utang Indonesia itu akan terlunasi?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, Indonesia diperkirakan belum bisa melunasi utangnya bahkan hingga 2050. Menurut dia, ada utang yang akan jatuh tempo hingga 2050, termasuk global bond yang diterbitkan tahun lalu, ketika jatuh tempo, utang akan dibayar dengan penerbitan utang baru, sehingga tak mungkin melunasi utang tersebut. Maka "tidak ada kosa kata untuk utang lunas, (Kompas.com, 17/1/2021).
Selain itu, model APBN yang didesain terus menerus defisit juga menyulitkan Indonesia untuk bisa keluar dari ketergantungan utang. Dengan kondisi ini, hal yang harus dikhawatirkan adalah debt overhang atau overhang utang, yaitu kondisi ketika utang semakin berat sehingga membuat ekonomi sulit tumbuh tinggi. Ibarat kapal yang sudah kelebihan muatan, maka akan sulit bergerak cepat.
Karena tiap tahun bunga utang menyita 19 persen dari pendapatan negara, maka uang yang harusnya dibuat untuk belanja pendidikan, belanja kesehatan, dan pembangunan akan terbagi untuk membiayai pembayaran bunga utang dan cicilan pokok.
Oleh karena itu, sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7-10 persen dan lepas dari middle income trap. Ia menjelaskan, langkah terbaik yang harus dilakukan pemerintah adalah mengendalikan belanja pemerintah agar utang ikut terkendali.
Solusi untuk menghambat pengeluaran utang adalah mengunci pengeluaran besar infrastruktur besar, terlebih di masa krisis seperti saat ini. Bantuan sembako juga sebaiknya ditransfer untuk meghindari peluang korupsi, belanja yang sifatnya boros dan hanya menggemukkan birokrasi, seperti belanja pegawai dan belanja barang, harus dipangkas.
Permasalahan paradigmatik begitu menonjol, ketika utang ribawi dari luar negeri diklaim sebagai bentuk hubungan kerjasama antara negara debitur dengan negara kreditur, dan merupakan cara yang efektif dalam menutupi defisit anggaran pemerintah, dengan asumsi dimana risiko kebangkrutan ekonomi yang ditimbulkan dari utang luar negeri relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan pencetakan uang (seignorage) yang dapat menimbulkan inflasi.
Salah satu alasan pragmatis untuk menambah utang ribawi adalah defisit anggaran. Menurut Umer Chapra dalam bukunya, Islam and the Economic Challenge, di negara-negara kapitalis (termasuk di Dunia Islam) terdapat 4 (empat) faktor umum yang menyebabkan defisit anggaran yaitu: belanja pertahanan yang tinggi; subsidi yang besar; belanja sektor publik (seperti belanja birokrat) yang besar dan tak efisien; korupsi dan pengeluaran yang boros.
Untuk mengatasi problem defisit anggaran ini, solusi universalnya ada 3 (tiga), yaitu: menambah pendapatan; mengurangi belanja; dan berutang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Di negara-negara kapitalis, cara menambah pendapatan pada umumnya adalah meningkatkan pajak, dan dengan mencetak mata uang. Untuk Indonesia, cara yang ditempuh untuk mengatasi defisit anggaran adalah meningkatkan pajak dan berutang.
Sedangkan potensi sumber daya alam (SDA) yang cukup melimpah ruah selama ini justru diserahkan pengelolaannya kepada swasta, hingga 70-75 % SDA negeri ini pun dikuasai oleh swasta asing, ini merupakan dampak buruk tegaknya sistem demokrasi, dengan paradigma kebebasan kepemilikan yang dianutnya, dan memposisikan negara hanya sebagai regulator saja.
Utang luar negeri jelas mengandung bahaya yang sangat besar, baik secara ideologis maupun politis, mengingat utang jenis ini pasti ribawi, dan mengandung konsekuensi politis yang mengancam kedaulatan suatu negeri: Bahaya ideologis utang luar negeri. Allah Swt memperingatkan riba secara lugas dalam al-Qur’an yang artinya:
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Bahaya ideologis utang luar negeri terbukti secara politis ketika utang ribawi ini mengandung kompensasi yang tidak ringan. Tak ada yang gratis dalam paradigma kapitalis, utang ribawi jelas memiliki potensi bahaya politis atas nasib negeri ini. Hal itu karena utang luar negeri, terutama utang program, menjadi alat campur tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan pemerintah.
Utang semacam ini jelas hukumnya haram, karena diperoleh dengan syarat yang melanggar hukum syara’, misalnya dengan konsesi penguasaan hak milik umum untuk diserahkan kepada pemberi utang. Akibat politisasi utang luar negeri ini pun terlihat dalam banyak kebijakan dan produk legislasi yang dibuat untuk mengakomodir kepentingan mereka.
Dampaknya pun nyata dirasakan masyarakat luas, semisal UU Minerba, UU Migas, dan lain sebagainya. Selain itu, terus menerus menumpuk utang dengan beban bunga yang tinggi, akan menjerumuskan negeri ini dalam jebakan utang dan bunga ribawi yang mencekik.
Bahwa utang luar negeri itu disamping ribawi, pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang. Hal ini jelas diharamkan karena Islam mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum Muslim (QS. Al-Nisa [4]: 141), Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, dan Abdurrahman Al-Maliki dalam Al-Siyasah Al-Iqtishadiyyah Al-Mutsla.
Permasalahan di balik jeratan utang ribawi ini kembali kepada rusaknya paradigma kapitalistik yang diadopsi rezim negeri ini, sumber potensi pendapatan yang halal diserahkan pengelolaannya kepada asing dengan kebijakan privatisasi, sebaliknya sumber potensi yang haram semisal utang ribawi justru dijadikan solusi pragmatis penutup defisit anggaran.
Meskipun ribawi, tetap wajib dibayar, mengingat statusnya adalah utang, dan pelunasan utang ini merupakan pengembalian hak oleh penerima utang kepada pemberi hutang. Dengan catatan, jika ada riba atau syarat lain yang bertentangan, maka riba atau syarat lain tersebut wajib dibatalkan.
Solusi ini, secara bersamaan akan membebaskan negeri-negeri Islam dari kooptasi negara-negara Barat Kapitalis, memutus ketergantungan laten yang membahayakan eksistensi negeri-negeri Islam, dan memberikan kepercayaan diri yang besar bagi kaum Muslim, bahwa mereka memiliki kemampuan mengelola kekayaan yang melimpah.
Namun demikian, hal ini hanya bisa dilakukan ketika Khilafah sudah tegak. Karena, saat ini tidak ada satu negeri Islam pun atau seorang penguasa pun yang berani dan tegas untuk memutus utang luar negeri, karena hal itu sama dengan menghadapi IMF, Bank Dunia dan kaki tangannya, terbukti meski kekayaan alam melimpah namun utang sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi rezim kapitalis.
Oleh Rabihah Pananrangi
0 Komentar