Heboh mural di beberapa tempat, salah satunya mural dengan tampilan wajah mirip Presiden Jokowi dengan tulisan di mata '404: Not Found'di Batuceper, Kota Tangerang, Banten. Pembuatnya sampai sekarang masih diburu, sebelumnya di Tangerang sempat viral mural bertuliskan 'Tuhan Aku Lapar', juga akhirnya didatangi polisi dengan diberikan sembako, tetapi pihak pembuat mural seperti yang diberitakan Metro.Tempo.co, 15/8/2021 sempat tertekan, disusul juga di Bangil Pasuruan juga ada mural bertuliskan 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit' , dan langsung dihapus oleh satpol PP setempat.
Anggota Komunitas Street Art RainCityStrike, Rulz mengatakan, salah satu tugas seniman street art adalah mewakili suara rakyat untuk menegur pemerintah seperti yang sudah dilakukan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, saat itu lukisan tembok untuk membangkitkan semangat rakyat. Para seniman mencoret tembok-tembok dengan kata ‘Merdeka’, Menurut Rulz, sejak tahun 2005, street art sudah banyak ada di ruang publik dan baru kali ini ada pembuat mural yang diburu polisi karena muatan pesannya. Biasanya, polisi memburu para seniman karena aktivitasnya.(Republika.co.id, 16/8/2021).
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (16/8) menyampaikan tidaklah tepat negara melalui kepolisian melakukan pendekatan keras terhadap rakyat disaat kondisi yang memang tengah sulit ini. Adapun pendekatan humanis bisa berupa memberikan dia makan. rakyat lapar jangan didekati dengan pendekatan yang aneh, rakyat yang buat mural Tuhan Aku Lapar, mestinya didekati dengan pendekatan humanistik.
Arsitek dan Ahli Tata Kota Bambang Eryudhawan mengatakan, pemerintah harus hati-hati dalam memperlakukan mural, grafiti atau seni jalanan (street art). Menurut Yudha, dihapusnya mural dan seni jalanan tersebut justru dapat menjadi bumerang bagi pemerintah. Terutama kaitannya dengan penilaian masyarakat terhadap penguasa.(Kompas.com, 15/8/2021). Maka tidak bisa disalahkan jika masyarakat memberi kesimpulan terkait represifnya penguasa jika ada kritik, langsung ada tindakan pihak yang berwenang.
Kritik rakyat kepada Pemerintah yang dimanifestasikan dalam bentuk apapun tidak selalu sebagai wujud pembangkangan, harusnya tetap bijak menyikapi hal ini. Politisi Partai Gerindra Fadli Zon mengkritik pihak kepolisian yang tengah memburu pembuat mural mirip Presiden Joko Widodo dengan tulisan '404: Not Found'. Menurut Fadli Zon, tindakan polisi memburu pembuat mural Jokowi itu adalah berlebihan. Dalam cuitannya di akun Twitter @fadlizon, Sabtu, 14 Agustus 2021. "Tak usah berlebihan tanggapi mural, lukisan, poster, meme n ekspresi seni lainnya.Itu bagian dari ekspresi budaya." Fadli Zon menambahkan, respons yang berlebihan terhadap mural itu justru mereduksi hak rakyat untuk menyatakan sikap atau kemerdekaan berekspresi.(RikiranRakyat.com, 15/8/2021).
Padahal sudah sejak negeri ini ada kebebasan berpendapat di negeri ini jelas-jelas sudah diatur sedemikian rupa dalam UUD 1945, tepatnya Pasal 28 mengatur tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Bahkan paska diamandemen di tahun 2000 Pasal 28 tetap tidak ada perubahan berarti terkait hal ini malah semakin terperinci terkait HAM (Hak Asasi Manusia). Dengan demikian, kebebasan menyampaikan pendapat sejatinya telah diatur dan legal di negeri ini, maka tidak ada alasan untuk melakukan pendekatan represif terkait hal ini, terlebih apa yang dituliskan itu hanya berupa jeritan dan isi hati rakyat terkait kondisi yang terjadi akhir-akhir ini. Hal itu diamini juga oleh Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, sikap pemerintah belakangan ini nampak berlebihan. Dikataka Neni, mural bernada kritik itu seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah. Tindakan aparat pemerintah belakangan ini menurut Neni mengindikasikan rezim pemerintahan Joko Widodo mengarah ke otoriter. Apalagi, konstitusi menjamnin setiap warga negara untuk mengekspresikan kritik publik.(RMOL.id, 16/8/2021).
Dalam buku Ilusi Demokrasi karangan Zaim Saidi mengungkapkan bahwa demokrasi adalah mesin politik kekuatan uang demi penegakan negara-budak (slave state). Sistem demokrasi menjadikan negara-bangsa tidak relevan dan pemerintah nasional kehilangan otoritas memerintah. Kebijakan pemerintah demokrasi tak lebih dari menjalankan keputusan dan kepentingan kekuatan oligarki bankir internasional (kelas kapitalis).
Sudah bukan rahasia umum tatkala kebijakan yang diambil tidak memperhatikan lagi slogan demokrasi yang terkenal yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tapi lebih kepada dari pengusaha, oleh pengusaha dan untuk pengusaha, sebagaimana statement yang disampaikan Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876, karena kondisi politik AS pada saat itu. Tidak mengherankan pula jika demokrasi hanya menyuarakan kepentingan segelintir rakyat yang masuk kalangan elite pemerintahan, bisa penguasa atau pengusaha yang memback up penguasa, meminjam istilah Olle Tornquist yang hanya menghasilkan demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Senada dengan itu, Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari, sebagaimana yang disampaikan oleh laman gatra.com, 9/7/2021 menyampaikan bahwa budaya anti-kritik di tubuh pemerintahan saat ini menjadi sesuatu yang kerap terjadi. Taufik menyampaikan, seolah-olah kritik itu sesuatu yang harus dilawan, dihabisi, dan sebagainya, padahal kalau kita menyadari kita hidup dalam negara demokrasi, sebetulnya biasa-biasa saja, Menurut Taufik, itulah kenyataan politik yang sedang berlangsung saat ini. Ia menilai bahwa beberapa aturan represif terhadap pihak yang kritis terhadap pemerintah masih berlaku dan bahkan ditafsirkan dengan cara tertentu oleh pihak penguasa sehingga membungkam kritisisme yang terjadi di ranah publik.
Jargon demokrasi dimana suara rakyat adalah suara Tuhan, seakan telah sirna berubah menjadi pembungkaman kekritisan rakyat, sehingga demokrasi bukan harga mati yang menuntut untuk dipertahankan, sudah saatnya dibutuhkan sistem yang lain yang bisa menjawab kebutuhan rakyat yang lebih kompatibel terhadap kritik, sistem hidup itu tergambar jelas dalam sejarahnya yang gemilang selama berabad-abad lamanya. Pada saat itu kritik adalah sebuah kehormatan besar yang diterima seorang pemimpin karena mereka tahu betul bahwa semua kebijakan dan pengurusannya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Sistem itu adalah sistem yang berasal dari Allah pencipta manusia yang mengetahui semua kelemahan dan kelebihan manusia, sistem yang secara fitrah bisa diterima oleh penduduk mayoritas negeri ini yang beragama Islam, jikalau mereka memahami Islam secara menyeluruh, karena Islam adalah Rahmat bagi dunia, rahmat bagi alam. Allah berfirman: "Dan Tidaklah Kami Mengutus Engkau(Muhammad), kecuali sebagai Rahmat bagi seluruh Alam."(QS Al-anbiya' 107).
Dalam masalah kepemimpinan, Rasulullah SAW menegaskan, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pemimpin negara yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR Bukhari dan Muslim). Sistem Islam ini diinterpretasikan oleh para pemimpin rakyat yang amanah dengan Khalifah-khalifah di dalamnya yang hanya takut kepada Allah semata, didalamnya adalah Khulafa'ur Rasyidin atau Khalifah-khalifah setelahnya. Disarikan dalam kitab Tarikh Khulafa' bagaimana sosok Khalifah Abu Bakar paska ditetapkan oleh kaum muslimin sebagai pengganti Rasulullah, beliau adalah seorang yang terbaik dari kalangan sahabat dan orang yang tidak diragukan ketaqwaannya termasuk orang pertama yang membenarkan Rasulullah sehingga bergelar As-Shiddiq, beliau tidak segan-segan dengan terbuka menyampaikan untuk memberi masukan apapun dalam Pemerintahan nya dengan penggalan pidatonya,...."karena aku bukan yang terbaik diantara kalian, jika aku berbuat baik maka bantulah aku, jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku, patuhilah aku jika aku mengikuti Allah dan RasulNya dan sebaliknya tinggalkanlah aku jika aku mendurhakainya."
Demikian juga Khalifah Umar, sahabat yang teguh dengan kebenaran bahkan beliau diawal kekuasaannya mengatakan kepada kaum muslimin seraya mengeluarkan pedangnya dan mengatakan taatilah Umar jika sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah, namun jika Umar menyelisihinya maka luruskanlah dengan ini (sambil menunjuk pedang yang dipegangnya), beliau pun dengan mudah menerima kritikan seorang wanita terkait mahar, wanita itu mengkritik Khalifah Umar ketika Khalifah Umar melarang wanita meminta mahar, dan ketika wanita itu menyampaikan apakah Engkau akan mengharamkan apa yang Allah halalkan? akhirnya Khalifah Umar mengakui pendapat Khalifah Umar salah, pendapat wanita ini lah yang benar.
Tidak berbeda juga apa yang dilakukan Khalifah Utsman Bin Affan, beliau menggagalkan hukuman rajam bagi seorang wanita yang melahirkan dengan usia kehamilan enam bulan dan menolak tuduhan zina. Hal itu beliau lakukan pasca mendapat nasehat dari Ali bin Abi Thalib yang berdalil dengan Alquran Surat al-Ahqaf ayat 15 dan al-Baqarah ayat 233. Pada ayat pertama disebutkan bahwa masa perempuan mengandung dan menyusui bayinya adalah 30 bulan. Sementara ayat kedua hanya menjelaskan tentang waktu menyusui saja, yakni dua tahun atau 24 bulan. Dengan dua ayat di atas, Ali bin Abi Thalib menyimpulkan bahwa usia minimal kandungan hingga melahirkan adalah enam bulan. Khalifah Utsman yang terkenal dengan kedermawanannya itupun mengambil pendapat rakyatnya dan membuang pendapat pribadinya.
Tak kalah mulianya penerusnya dari kalangan khalifah Bani Umayyah yakni Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada suatu hari, ia perintahkan juru bicaranya untuk mengumumkan kepada seluruh rakyat, “Barang siapa yang merasa terzalimi, hendaknya mengadukan nasibnya kepada khalifah.” Kisah di atas memberikan pelajaran (ibrah) berharga bahwa para pemimpin di negeri ini di setiap pemimpin di level manapun akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya di hadapan manusia (di dunia) dan di hadapan Allah kelak (di akhirat).(Republika.co.id, 16/11/2016).
Maka, sebagai seorang pemimpin terlebih pemimpin negara hendaknya menyadari bahwa apa yang menjadi tugas dan kewajibannya adalah mengurusi urusan rakyatnya, memastikan hak-hak rakyat tertunaikan dengan paripurna. Bukan sekedar mempertahankan kekuasaannya dan kepentingan golongannya, yang berimbas menjadikan dia otoriter dan anti kritik. Wallahu a'lam Bi asshawab.
Oleh Hanin Syahidah
0 Komentar