Pandemi corona sudah masuk tahun ke-2 namun hingga saat ini penanganan yang dilakukan negara masih belum mampu menahan perkembangan kasusnya. Menurut data yang disampaikan oleh Kemenkes RI ada penambahan 38.679 kasus baru COVID-19 di Indonesia. Dimulai dari PSBB, PSBB Total, PPKM Mikro, sampai dengan PPKM Level 3 – 4 sudah dilakukan, berbagai istilah diturunkan, tapi hal ini pun tidak bisa menahan perkembangan kasus. Bahkan sampai saat ini pengumuman kematian, sirine ambulance, pasien di Rumah Sakit semakin bertambah dan semakin sering terdengar. Jika lebih diperhatikan lagi, penanganan yang dilakukan oleh negara dan pemahaman masyarakat tentang pandemi ini masih belum balance sehingga masih banyak masyarakat tidak memiliki sense of awareness. Hampir 2 tahun masyarakat merasakan situasi yang berbeda dan jauh dari kondisi normal, membuat masyarakat semakin lelah, belum lagi PPKM yang dilakukan saat ini sangat terasa dampaknya bagi mereka rakyat-rakyat kecil, dimana mereka harus keluar rumah untuk mencari uang demi menghidupi keluarga.
Melihat ketidak konsistenan pemerinta dalam menghadapi pandemi ini bisa kita lihat kembali disaat awal kasus pertama covid-19 masuk ke Indonesia, bahkan ketika kasus ini belum masuk ke Indonesia namun sudah mulai menjamu di negara lain. Bagaimana respon pemerintah pada saat itu? Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md berani mengatakan bahwa corona tidak ada di Indonesia dengan kalimat yang bisa dikatakan sesumbar. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga pernah melontarkan guyonan tentang tidak adanya corona di Indonesia karena kita setiap hari makan nasi kucing, sungguh disesalkan sekelas Menteri bisa mengatakan hal demikian. Wakil Presiden pun tak lupa menyampaikan pendapatnya tentang corona yang tidak masuk ke Indonesia karena banyak kkiai dan ulama yang selalu membaca doa qunut. Ketika awal kasus corona sudah mulai terdeteksi, respon pemerinta bukan segera menjaga pintu-pintu negara agar tidak menyebarnya perkembangan virus namun malah menggelontorkan dana Rp 72 miliar yang disiapkan Kementerian Pariwisata untuk mempromosikan pariwisata Indonesia yang terdampak penutupan dari dan ke Cina, hal ini memunculkan kontroversi di tengah masyarakat, sehingga pos anggaran ini ditunda. Tidak hanya itu, dampak penanganan ini pun sangat terasa di tengah masyarakat, akhirnya punic buying terjadi banyak kebutuhan-kebutuhan pokok yang habis karena situasi ini. Sampai detik ini, Negara masih belum memutuskan dan tidak menginginkan untuk lockdown total (tempo.co 01/03.21).
Berkali-kali gonta-ganti istilah pembatasan wilayah dan aktivitas disaat pandemi disaat yang bersamaan konsistensi negara dipertanyakan ketika mempersilahkan TKA masuk ke Indonesia. Rakyat kecil yang bekerja mulai dipaksa tutup, namum membiarkan orang-orang asing keluar masuk Indonesia. Dikutip dari detik.com, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, masuknya 20 tenaga kerja asing (TKA) asal China ke Makassar yang diduga terjadi saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Hal ini memicu kecurigaan publik, walaupun ini berhubungan dengan proyek program strategis nasional yang digencarkan pemerintah tetap saja dengan kondisi saat ini pilihan tersebut adalah pilihan yang tidak tepat. Beginilah kondisi Indonesia saat ini, tampak lebih mengedepankan keberlangsungan ekonomi tapi tidak konsisten dalam menjaga keselamatan dan kesehatan rakyat apalagi terhadap para tenaga medis yang berjuang di garda terdepan.
Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman menyarankan, agar pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat atau kini diganti istilah level 4 di Jawa-Bali untuk dilanjutkan. Dicky menegaskan hal ini berdasarkan indikator epidemiologi bahwa saat ini kasus Covid-19 di Tanah Air sedang dalam laju penyebaran yang sangat tinggi. Hal ini, kata Dicky ditandai dengan terus terjadi peningkatan kasus. Bahkan kata Dicky, positivity rate Covid-19 di hampir 90% provinsi di Indonesia di angka lebih 20%. Selain itu, Dicky juga mengatakan bahwa peningkatan kasus Covid-19 di semua provinsi rata-rata meningkat 50%. Oleh karena itu Dicky menegaskan, dari evaluasi World Health Organization (WHO) bahwa belum pas jika PPKM atau pengetatan-pengetatan mulai dilonggarkan. (sindonews.com 25/07/21)
Kebijakan PPKM ini membuat masyarakat bisa menilai, bagaimana keseriusan pemerintah dalam mengatasi pandemi ini. Fakta menunjukan bahwa masyarakat meragukan aturan ini karena pemerintah terlihat tidak menata dengan baik aturannya, selain itu aturan inipun sangat tidak berpihak kepada rakyat namun sebaliknya sangat berpihak pada pemilik modal. Fakta-fakta yang ada, bagaimana pemerinta membatasi aktivitas masyarakat di luar rumah namun membiarkan orang-orang asing masuk ke Indonesia. Pembatasan aktivitas masyarakatpun tidak dibersamai dengan tanggung jawab negara terhadap kebutuhan masyarakat, karena banyak sekali masyarakat yang kesulitan hidupnya hanya karena tidak bisa bekerja disaat aturan PPKM ini dilaksanakan. Padahal sudah jelas tugas negara adalah bertanggung jawab atas kebutuhan rakyatnya. Tapi inilah yang terjadi pada sistem saat ini, sistem Kapitalisme yang mengedepankan keuntungan materi dibanding keselamatan dan kesehatan rakyat, kemajuan dan perkembangan ekonomi adalah hal yang penting tanpa melihat perbandingannya dengan penurunan kesehatan dan kemaslahatan masyarakat. Nyawa individu di mata sistem kapitalisme-sekular ini hanyalah sebatas angka-angka dan presentase yang jika dibandingkan dengan kemrosotan ekonomi pasti tidak ada apa-apanya. Kondisi ini menunjukan, pemerintah tanpak menghapus perannya yang seharusnya adalah mengurusi segala kebutuhan umat.
Berbeda sekali situasi saat ini jika kita bandingkan dengan Islam. Sistem Islam menjamin segala kebutuhan umatnya, menempatkan Negara sebagai pelayan umat. Sehingga keperluan masyarakat wajib hukumnya untuk dipenuhi oleh negara apalagi kebutuhannya adalah kebutuhan pokok. Sejarah mencatat bahwa ketika sistem Islam diterapkan pada masa kekhalifahan, segala macam bentuk pandemi mampu diselesaikan dan diatasi. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya.” (HR Muslim). Hal ini lah yang menjadi sumber keputusan yang diambil seorang Khalifah/Pemimpin negara. Sehingga aktivitas masyarakat di luar lokasi yang tidak terkena wabah masih bisa tetap berjalan normal, perekonomian pun akan tetap aman. Sedangan mereka yang di wilayah yang terkena wabah akan dilakukan penangan yang ketat, dilakukan tes masal untuk memisahkan yang sehat dan yang sakit dengan begitu wabah akan cepat teratasi. Keputusan juga dilakukan 1 pintu, yaitu dari Khalifah. Tidak ada pertentangan internal antar penjabat yang terjadi seperti pada sistem saat ini, akhirnya saling tuduh, saling lempar bahkan lepas tanggung jawab. Sistem saat ini tidak membentuk kepribadian seorang pemimpin berani dalam mengambil resiko dan bertanggung jawab atas kebijakannya, ini juga yang menyebabkan umat sudah tidak percaya dengan janji-janji yang dilakukan oleh pemerintah.
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan yang di keluarkan pada sistem saat ini sangat tidak efektif, aturan yang berat sebelah, tanggung jawab terhadap rakyat pun tidak ada, pun jika dalam hal pandemi saat ini pemerinta menyediakan vaksin dan mewajibkan vaksin, hal ini semata-mata demi keberlangsungan ekonomi. Lagi dan lagi tujuan sistem saat ini bukan keimanan kepada Allah SWT tapi hanya untuk materi saja. Sedangkan kebijakan dalam Islam, segala kebijakan dan peran negara semua dilandakan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pemimpin pun menjalankan perannya sebagai pelayan umat, negara juga akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat berpartisipasi dalam penanganan wabah ini. Ketidak efektifan dan kegagalan penanganan pandemi saat ini bukan hanya dikarenakan tidak fokusnya pemerintah dalam menangani kasus, ketidak tegasan pemerintah dalam menerapkan kebijakan ataupun tidak optimalnya penanganan yang dilakukan tetapi semua ini karena sumper kebijakan dan aturaannya tidak berasal dari Sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang tidak manusia ketahui. Akar permasalahannya adalah sistem saat ini tidak mengedepankan keimanan, dan tidak menyelaraskan keimanan dengan teknologi. Semua hanya demi materi, demi kepentingan dan demi keberlangsungan ekonomi tidak dilandaskan atau disandarkan pada ketakwaan kepada Tuhan, Allah SWT.
Seharusnya, sistem Islam lah yang harus diperjuangkan oleh umat saat ini. Selain ini adalah kewajiban bagi umat Muslim, ini juga bagian dari kebutuhan umat. Allah-lah yang mengetahui apa-apa yang dibutuhkan umatnya, dengan ini harta, nyawa dan martabat umat akan tetap terjaga. Negara yang sadar akan hubungannya dengan Allah SWT, juga akan melahirkan masyarakat yang bertakwa kepada Allah. Tidak ada solusi lain selain menegakan kembali Khilafah Islamiyah agar terasa rahmat dari Allah bagi seluruh alam. Wallahu’alam []
Oleh: Albayyinah Putri, S.T
Alumnus Politeknik Negeri Jakarta
0 Komentar