Proyek Infrastruktur Dan Wisata Jalan Terus, PPKM Untuk Apa?



Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih terus berlanjut hingga kini, bahkan kebijakan ini terlihat terus mengalami perpanjangan waktu. PPKM dan kebijakan-kebijakan yang sebelumnya, diterapkan oleh pemerintah dalam rangka menekan laju penyebaran virus Covid-19 yang semakin merajalela. Namun, pada saat PPKM masih berlanjut, pemerintah tetap melanjutkan berbagai proyek infrastruktur dan revitalisasi tempat wisata dengan nilai anggaran yang sangat besar. Beberapa proyek tersebut antara lain: 


1. Proyek Pembangunan Alun-alun Kota Bogor (www.radarbogor.id) 

2. Proyek Revitalisasi Situ Gede (www.republika.co.id) 

3. Proyek Penataan Cagar Budaya Batutulis (www.radarbogor.id) 

4. Proyek Pembangunan Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi Seksi 2 Ruas Cigombong-Cibadak (www.republika.co.id) 

5. Proyek Transportasi Bertenaga Listrik (Bus Listrik) (www.radarbogor.id) 


Pemkot tidak menghentikan proyek infrastruktur dan revitalisasi tempat wisata dengan dalih sebagai upaya pemulihan ekonomi, padahal nilai proyek-proyek tersebut sangatlah besar. Di sisi lain, aturan PPKM yang masih diterapkan oleh Pemkot Bogor dengan membatasi aktivitas warganya, telah menyebabkan banyak warga harus kehilangan mata pencahariannya, hal ini berarti banyak warga kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sungguh suatu kondisi yang amat miris, rakyat sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah namun anggaran yang besar justru dialokasikan untuk proyek-proyek tersebut. Seolah-olah nyawa rakyat bukanlah hal yang penting. 


Pemerintah memang mengalokasikan dana bansos untuk menopang kebutuhan ekonomi rakyat selama PPKM berlangsung, namun nilai dana bansos itu terbilang sangat kecil dan hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup selama satu minggu. Itupun hanya sebagian rakyat yang menerima bansos, padahal sudah tak terhitung lagi jumlah rakyat yang terdampak secara ekonomi selama pandemi terjadi. Pemberian bansos yang tidak merata, dengan syarat adminitrasi yang berbelit-belit dan hanya didapatkan oleh segelintir rakyat, menunjukkan kebijakan yang setengah hati. Bagaimana mungkin rakyat bisa bertahan hidup dengan bantuan bansos yang jumlahnya tidak seberapa ini.


Kebijakan PPKM yang awalnya untuk menekan penyebaran Covid-19, hanyalah alasan klise pemerintah agar rakyat patuh terhadap aturan yang diterapkannya. Namun, kebijakan yang berbeda diberlakukan pada pembangunan infrastruktur dan tempat wisata yang bisa tetap berjalan tanpa terhalang oleh aturan PPKM. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah mengikuti instruksi dari pemerintah pusat yang hanya memfasilitasi kepentingan para korporasi.


Melihat fakta di atas sungguh miris, negara rela mengorbankan kepentingan rakyatnya hanya untuk membela proyek para konglomerat. Padahal, dalam kondisi pandemi seperti saat ini rakyat tidak membutuhkan infrastruktur dan revitalisasi tempat wisata. Yang dibutuhkan rakyat adalah negara hadir di tengah-tengah mereka untuk menjamin dan memenuhi kebutuhan rakyat selama pandemi masih berlangsung. Namun, sayangnya kapitalisme yang diterapkan negara ini telah memposisikan negara hanya sebagai fasilitator dan regulator untuk memuluskan kepentingan para korporasi. Kepentingan rakyat justru terabaikan, rakyat jadi ‘tumbal’ bagi mereka dengan dalih pembangunan. Membangun untuk siapa, karena realitasnya rakyat justru hidup bergelimang kesengsaraan, kezaliman dan kemiskinan. Bahkan rakyat harus bertaruh nyawa menghadapi virus Covid-19 pada saat yang sama kelaparan menimpa mereka akibat negara abai menjalankan tanggung jawabnya. 


Kondisi ini bertolak belakang dengan sistem Islam, yakni khilafah. Peran negara dalam sistem Islam adalah meriayah seluruh urusan rakyat. Negara hadir secara langsung untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup rakyatnya, baik dalam kondisi pandemi maupun tidak. Khalifah wajib menjamin dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat baik muslim maupun non muslim (kafir dzimmi), kaya ataupun miskin, secara adil dan merata. Hal ini menjadi tugas utama khalifah sebagai pengurus dan pelayan umat.


Apabila terjadi wabah di suatu wilayah, khalifah akan menetapkan kebijakan lockdown. Masyarakat yang berada di dalam wilayah tersebut dilarang keluar wilayah, sementara masyarakat yang berada di luar wilayah tersebut dilarang masuk ke dalam wilayah yang terkena wabah. Dengan mekanisme lockdown ini wilayah yang di luar wabah tetap bisa melakukan aktivitas ekonomi dan bermuamalah seperti biasa, sehingga mampu mensuplai kebutuhan pangan wilayah yang terpapar wabah, mensuplai masker, APD dan kebutuhan lainnya.


Dengan demikian negara fokus untuk menyelamatkan pasien yang terdampak di wilayah yang terkena wabah. Adapun semua kebutuhan setiap individu yang berada dalam wilayah tersebut akan ditanggung oleh khalifah dengan mengalokasikan dana dari kas negara (baitul mal). Selain itu, masyarakat secara keseluruhan mendapatkan edukasi penanganan dan pencegahan wabah melalui berbagai media, poster, selebaran ataupun penyuluhan dari tenaga medis hingga masuk dalam tataran RT dan RW. Hal ini dapat meminimalisir penularan wabah di wilayah yang terkena wabah, sekaligus mencegah penularan ke luar wilayah tersebut.


Khilafah memberikan bantuan kepada siapa pun secara merata tanpa memandang status sosialnya. Alhasil dengan mekanisme kebijakan seperti ini, akan membuat rakyat merasa aman dan nyaman serta taat pada kebijakan lockdown yang ditetapkan khalifah,  karena mereka yakin kebutuhan hidupnya ditanggung dan dijamin oleh khalifah. Kebijakan ini tentunya didukung dengan penerapan sistem ekonomi dan sistem keuangan sesuai syariat Islam, salah satu diantaranya adalah pengelolaan sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat. Khalifah mengelola sumber daya alam dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat demi kesejahteraan seluruh rakyatnya. Bukan seperti yang terjadi di negeri ini dimana kekayaan alam justru dikuasai dan dikelola oleh negara-negara asing melalui korporasi-korporasi, dan hal ini telah dilegalkan oleh negara.


Sebesar apapun biaya yang ditanggung, khalifah tetap akan memprioritaskan terjaminnya kebutuhan rakyatnya, karena hilangnya satu nyawa rakyat sangatlah berarti. Dalam kondisi kas negara (baitul mal) dalam keadaan terbatas, khalifah akan meninjau ulang proyek-proyek infrastruktur agar tidak memberatkan pengeluaran negara. Khalifah tidak akan terobsesi dengan proyek-proyek yang tidak berpihak pada rakyat. Apalagi dalam sistem Islam tidak akan ada kerjasama dengan para korporasi yang hanya mengejar keuntungan sepihak. Sungguh sebuah gambaran yang bertolak belakang dengan fakta di negeri ini. 


Untuk itu mengembalikan peran negara yang peduli terhadap permasalahan rakyat dan memahami tugas pokok dan fungsinya (tupoksinya) sebagai pelayan rakyat, menjadi suatu hal yang amat penting. Hal ini hanya bisa diwujudkan dengan satu cara yaitu berupaya sekuat tenaga untuk mewujudkan kembali syariat Islam sebagai satu-satunya aturan yang wajib diterapkan di muka bumi ini. Syariat Islam yang kaffah hanya bisa terwujud dalam naungan khilafah islamiyyah. Tanpa islam dan khilafah, rakyat akan terus menerus hidup dalam kesengsaraan, kezaliman dan kemiskinan yang tiada henti. []


Oleh : Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)


Posting Komentar

0 Komentar