Sulap Pertumbuhan Ekonomi

 


PPKM kembali diperpanjang. Rakyat yang mendapatkan penghasilan dari berjualan sehari-hari terpaksa menutup warung-warungnya. Kebingunan bagaimana cara mencari nafkah, saat dipaksa tinggal di rumah. Pusing memilih apakah akan membeli beras atau kuota untuk sekolah anak. Pandemi ini dan penanganannya di Indonesia membuat derita rakyat semakin menjadi-jadi. Hal ini terutama sangat terasa di Kuartal II tahun 2021 ini. 

Namun, di situasi ini, pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia naik 7,07%. Bak melihat pesulap yang mengeluarkan kelinci entah dari mana. Terkejut, itulah respon kita saat melihat angka ini karena sama sekali tidak menggambarkan kondisi riil di lapangan. Tapi jangan heran dulu, setiap sulap ada triknya, begitu juga dengan angka ini.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pertumbuhan ini adalah "pertumbuhan ekonomi semu". Karena menggunakan base rendah di 2020. Menurut INDEF di Q2 2020 pemerintah melakukan PSBB. Sementara di di Q2 2021 pelonggaran PPKM terjadi.  Dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 yang terkontraksi hingga minus (-) 5,32 persen sebagai standar, wajar bisa dihasilkan angka yang tinggi. Sebaliknya, jika dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata sebelum pandemi (2018-2019), Q2 2021 hanya tumbuh 3,87%. (cnbcindonesia.com, 7/08/21)

Hal ini disebut low base effect, yaitu membandingkan data yang tinggi dengan data jelek, yang paling rendah, untuk menunjukkan kesan berhasil. Jadi itulah trik sulap di balik angka 7,07%. Karena apa pun yang dinilai berdasarkan standar sangat buruk, akan terlihat baik dan berhasil. 

Sayangnya, dalam sistem kapitalisme, cara perhitungan aneh yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya ini, biasa dipakai. Angka pertumbuhan ekonomi jamak digunakan sebagai alat ukur kesejahteraan rakyat. Banyak ekonom mengkritik terkait hal ini. Mengukur kesejahteraan hanya dari pertumbuhan ekonomi dan Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi mengabaikan fakta ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat.

Padahal dampak pandemi sangat dirasakan oleh rakyat miskin, karena banyak yang kehilangan mata pencaharian. Namun, di sisi lain, para kapitalis yang kaya raya, tetap mendapatkan keuntungan. Maka jika mengacu pada PDB, pendapatan semua rakyat akan ditotal dan dirata-rata, sehingga seolah-olah semua rakyat mengalami kenaikan pendapatan yang terindikasi dari naiknya konsumsi. Padahal, realitasnya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin sengsara. Jurang ekonomi pun semakin melebar.

Di era modern ini, dibandingkan angka pertumbuhan ekonomi, aspek-aspek seperti umur harapan hidup, angka kematian bayi dan angka partisipasi sekolah dipandang lebih efektif untuk mengukur kesejahteraan. Alasan angka pertumbuhan ekonomi masih digunakan untuk menilai kesejahteraan karena metode ini mudah dilakukan, cukup dengan hitungan matematika sederhana, sudah didapat angka pertumbuhan ekonomi.

Indikator kesejahteraan lainnya adalah sensus dari rumah ke rumah yang memerlukan survei yang teliti, kejujuran laporan, analisis yang tepat dan berbagai faktor lain yang perlu kesungguhan penguasa dalam mengurus (riayah) rakyat. Namun, penguasa dalam sistem kapitalisme tidak memiliki visi riayah umat. Jabatan tidak mereka anggap sebagai amanah dan tanggung jawab, melainkan sarana untuk menguntungkan diri dan kelompoknya. Akibatnya, terjadi kebohongan melalui statistik. Angkanya benar, tapi penyajiannya tidak jujur akibat ada kepentingan politik di dalamnya, yaitu pencitraan untuk meraih dukungan publik.

Namun, sulap statistik pencitraan ini sudah terlalu sering digunakan hingga rakyat hafal triknya. Rakyat mengetahui mereka sedang dibohongi. Pencitraan dari penguasa tidak mempan lagi merebut kepercayaan mereka, karena kepercayaan dihasilkan dari periayahaan yang baik. Sedangkan penguasa di sistem sekarang menutup mata dari penderitaan rakyat.

Sebaliknya, Islam memiliki standar baku dalam mengukur tingkat kesejahteraan secara tepat, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok yakni sandang, pangan dan papan secara makruf (layak). Proses pengukuran ini dilakukan secara terus-menerus, dengan aktivitas patroli oleh khalifah. Dalam memantau rakyatnya, khalifah mengacu pada data riil, bukan angka cantik di atas kertas, apalagi laporan ABS (asal bapak senang).

Islam mewajibkan penguasa memiliki visi riayah atas rakyatnya. Kesuksesan periayahan pun tidak dinilai dengan pukul rata dari data statistik, namun dari apakah setiap individu terpenuhi kebutuhan pokoknya atau tidak, Karena jika ada warga negara yang kelaparan, maka periayahan belum dianggap berhasil.

Dengan demikian, jika tidak ingin ditipu dengan trik-trik sulap lain, kita harus menerapkan sistem Islam yang serius dalam mengurus rakyat. Serta menghasilkan sosok-sosok pemimpin seperti Umar bin Khattab yang mengetuk rumah rakyatnya langsung untuk memeriksa kondisi mereka. Wallahu a’lamu bishawab.[]


Oleh: Ria Anggraini, S.Hum., Aktivis Dakwah



Posting Komentar

0 Komentar