Utak-Atik Data Mengakibatkan Bahaya yang Nyata



Menjelang batas akhir Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 pada 25 Juli 2021 lalu, tercatat penurunan angka kasus Covid-19. Masyarakat yang awalnya bersyukur mendapat berita ini, kemudian kembali dilanda kekawatiran. Bagaimana tidak, disinyalir telah dilakukan manipulasi data terkait penurunan ini. Siapa yang memanipulasi data? Jawabannya adalah, pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah. Tujuannya? Untuk menunjukkan telah terjadi penurunan jumlah kasus positif Covid-19. Hal ini dilakukan demi pelonggaran PPKM Level 4. Pasalnya, jika kasus menurun, maka PPKM bisa dilonggarkan.


Namun manipulasi data ini, alih-alih berdampak baik, justru akan menyesatkan masyarakat. Penelusuran yang dilakukan oleh banyak pihak menemukan fakta bahwa sesungguhnya penurunan angka kasus positif Covid-19 ini terjadi seiring dengan menurunnya jumlah tes yang dilakukan. Padahal, penurunan angka tes Covid-19 tentu berdampak pada sulitnya mengetahui kondisi sesungguhnya terkait penyebaran Virus Corona di tengah masyarakat. Ini bisa membahayakan masyarakat.


Terjadinya manipulasi data ini dikritisi oleh banyak pihak, mulai dari ahli epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riyono hingga anggota Komisi IX DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Alifudin. Menurut Pandu Riyono, seharusnya jumlah testing Covid-19 ditingkatkan selama masa pandemi. Senada dengan Pandu, menurut Alifudin, seharusnya pemerintah transparan soal data, jangan karena ingin memberlakukan pelonggaran, maka testing-nya dikurangi. Kemudian data tersebut ditelan mentah-mentah tanpa ditelusuri penyebab terkait data penurunan tersebut.


Data Mempengaruhi Kebijakan yang Akan Diambil


Epidemiolog Pandu Riyono selanjutnya menyayangkan langkah yang diambil Presiden Joko Widodo, dengan tidak mempertanyakan mengapa kasus positif Covid-19 menurun dalam beberapa hari terakhir. Penurunan angka kasus positif yang dipicu oleh jumlah _testing_ yang menurun juga tidak dipertanyakan oleh presiden. Bahkan, sikap presiden mengesankan bahwa penurunan itu terjadi karena keberhasilan PPKM sebelumnya. 


Kenyataannya, kasus harian Covid-19 di negara ini masih meningkat terus. Indikasinya dapat ditelusuri dari fakta bahwa keterisian tempat tidur di rumah sakit yang masih tinggi. Angka kematian akibat Covid-19 juga masih sangat tinggi. Tercatat, jumlah pasien meninggal bertambah 1.383 orang, sehingga jumlah totalnya 77.583 orang. Sedangkan kasus positif juga meningkat 33.772 kasus, sehingga totalnya menjadi 2.983.830 kasus. Bahkan tercatat pada Rabu (14/7/2021) hingga Sabtu (17/7/2021) terjadi ledakan kasus Covid-19, yaitu melewati 50.000 kasus harian (data dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19). 


Kasus positif kemudian mulai menurun pada pekan berikutnya, bahkan hingga hanya 35.000 kasus. Hal ini ternyata terjadi seiring dengan menurunnya _testing_ yang dilakukan. Data penurunan kasus positif Covid-19 inilah yang kemudian diambil dan dijadikan dasar bagi pengambilan kebijakan pelonggaran PPKM oleh pemerintah. 


Penurunan angka kasus positif seolah mengesankan bahwa kurva telah melandai. Padahal data yang telah dimanipulasi tersebut akan berbahaya jika dijadikan acuan pengambilan kebijakan, karena data manipulatif pasti tidak menggambarkan kondisi ril di masyarakat. Selayaknya pemerintah lebih cerdas dan meluruskan niat untuk kebaikan rakyat. Pemerintah juga selayaknya mengutamakan upaya penanganan pandemi ini dengan mengedepankan kepentingan rakyat, bukan terus menerus berkelit dari tanggung jawab mengurus rakyat, dan mencari-cari pembenaran dari kegagalan mengatasi pandemi yang melanda negara. 


Alasan Pemerintah Memberlakukan Pelonggaran PPKM


Presiden Joko Widodo, sebagai representasi pemerintah dalam sambutannya pada acara pemberian Banpres Produktif Usaha Mikro 2021 menyatakan bahwa Indonesia tidak bisa memberlakukan lockdown seperti negara-negara lain. Namun sayangnya perspektif Presiden Joko Widodo dalam memandang _lockdown_ atau istilah Indonesianya adalah karantina wilayah berbeda dengan perspektif _lockdown_ menurut pemimpin negara lain. Dalam hal ini tentu bukan karena Joko Widodo tidak mengerti tentang filosofi _lockdown_ yang sebenarnya. Justru karena ia mengerti, maka ia tidak mau menerapkan kebijakan itu.


Menurut Joko Widodo, PPKM Darurat yang dikalimnya sebagai _semi-lockdown_ adalah kebijakan yang paling tepat untuk diberlakukan. Ia mengatakan bahwa dengan semi-lockdown saja masyarakat sudah menjerit, apalagi jika diberlakukan _lockdown_ total. Presiden juga menyampaikan bahwa, para pengusaha kecil dan sedang, hingga yang besar juga merasakan kondisi usaha yang sangat tidak mudah. Bahkan seluruh dunia semua kondisinya sama, lanjutnya. 


Namun Joko Widodo tidak cermat dalam menyampaikan pandangannya. Memang, kondisi puncak pandemi Covid-19 pernah dialami oleh banyak negara di dunia. Namun dengan penanganan pemerintahnya yang cepat dan tepat, maka kondisi puncak pandemi segera bisa diatasi. Bertolak belakang dengan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi pendemi. Penanganan pandemi di negeri ini sangat lamban. 


Menurut data yang dilansir di merdeka.com, Institut Lowy, Australia membuat penelitian dan menyampaikan Indeks Tingkat Penanganan Covid-19 di seluruh dunia. Dalam indeks tersebut, dilakukan analisa kepada 100 negara yang terpapar Covid-19. Selandia Baru tercatat sebagai negara nomor satu terbaik dalam penanganan Covid-19, disusul oleh Vietnam di urutan kedua, dan Taiwan di urutan ke tiga. Di mana posisi Indonesia? Ternyata jauh di bawah, di urutan ke 85.


Menelisik keberhasilan Selandia Baru dalam menanggulangi pandemi Covid-19, Tantowi Yahya, Duta Besar Republik Indonesia untuk Selandia Baru menyampaikan penilaiannya. Kata Tantowi, saat pandemi awal dan beberapa variannya menyerang Selandia baru, semua warga negara bersatu padu menghadapinya. Semua pihak, baik pendukung pemerintah, ataupun oposisi sepakat untuk bekerja sama mengatasi pandemi. Semua pihak memiliki kesadaran tinggi untuk bersama-sama melawan pandemi. Warga sangat patuh terhadap peraturan pemerintahnya. 


Menganalisa hal ini, kepatuhan dan semangat warga negara Selandia Baru ini tentu tidak lepas dari keterbukaan dan kesungguhan pemerintahnya dalam menangani pandemi. Tidak melakukan manipulasi data kasus positif Covid-19 untuk menipu rakyatnya, misalnya, atau melakukan pemotongan dana Bansos seperti yang terjadi di negeri ini, contoh lainnya. Banyaknya kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah selama masa pandemi tak pelak melahirkan ketidakpercayaan rakyat negeri ini kepada pemerintah. Jadi jangan salahkan rakyat atas ketidakpatuhan, jika pemerintah sendiri yang sejak awal membuat rakyat tidak percaya. 


Adapun penyebab pemerintah ‘harus’ memberlakukan pelonggaran PPKM, menurut Joko Widodo adalah karena rakyat perlu mencari penghasilan. Mayoritas rakyat memang harus ke luar rumah untuk mencari sesuap nasi bagi perut keluarganya yang lapar. Jadi, walaupun harus bekerja di tengah amukan Virus Corona, rakyat terpaksa harus melakoninya demi bisa terus hidup. Padahal, jika pemerintah mau menanggung kebutuhan makan rakyat dan hewan di wilayah wabah sejak awal pandemi, yaitu ketika baru sedikit orang yang terpapar virus, maka penangan pandemi akan lebih mudah dilakukan. Biaya yang dikeluarkan juga jauh lebih sedikit dibandingkan sekarang, saat paparan Covid-19 sudah merata meliputi Pulau Jawa dan Bali. Waktu awal pandemi pemerintah tidak mau menerapkan karantina wilayah dengan berbagai alasan.


Saat inipun, disaat kondisi sudah demikian genting, korban sudah banyak sekali yang jatuh, pemerintah tetap berkelit untuk tidak mau menerapkan karantina wilayah. Bahkan sebaliknya pemerintah justru melonggarkan PPKM, dengan alasan rakyat perlu mencari penghasilan. Bukankah dengan dilonggarkannya PPKM justru akan semakin meningkatkan angka paparan Covid-19? 


Kiranya saat inilah masanya, munculnya ruwaibidhah yang telah Rasulullah Muhammad SAW sabdakan dahulu. Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan _ruwaibdhah_ turut bicara.” Lalu beliau ditanya, “Apakah _al-ruwaibidhah_ itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan umum (masyarakat)” (HR Ibnu Majah). []


Oleh Dewi Purnasari

Aktivis Dakwah Politik


Posting Komentar

0 Komentar