Utang yang Tak Berujung

Gali lobang tutup lobang ...

Pinjam uang bayar hutang ...

Gali lobang tutup lobang ...

Pinjam uang bayar hutang ...

 

Lirik lagu Rhoma Irama di atas sangat cocok menggambarkan kondisi ekonomi Indonesia dari masa ke masa. Utang menjadi instrumen utama pemasukan negara di samping pajak. Terlebih di masa pandemi saat ini dimana APBN mengalami pelebaran defisit sehingga membutuhkan pembiayaan yang salah satunya bersumber dari utang. 

 

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan alasan di balik keputusan pemerintah terus menambah utang di tengah pandemi Covid-19. Dikatakan, pandemi Covid-19 sebagai tantangan yang luar biasa dan harus dihadapi. Tidak hanya mengancam manusia, pandemi ini juga mampu merusak perekonomian suatu negara. 

 

“Semua negara di dunia menggunakan instrumen kebijakan untuk bisa menangani pandemi Covid-19 dan dampak sosial ekonomi serta keuangan,” ujar Sri Mulyani dikutip dari acara Bedah Buku “Mengarungi Badai Pandemi” di Youtube Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Minggu (25/7/2021). 

 

Peraih tiga kali gelar menteri keuangan terbaik versi majalah keuangan Finance Asia ini menjelaskan APBN menanggung beban yang luar biasa selama pandemi Covid-19. Di satu sisi, belanja negara melonjak untuk penanganan kesehatan, pemberian bantuan sosial kepada masyarakat terdempak, bantuan kepada dunia usaha, dan lainnya. Di lain pihak, penerimaan negara justru merosot karena aktivitas ekonomi lesu. 

 

“Hal ini terjemahannya adalah suatu beban APBN yang luar biasa. Kami di Kementerian Keuangan merespons dengan whatever it takes, apa pun kami lakukan untuk menyelamatkan warga negara dan ekonomi Indonesia, dan itu implikasinya pada defisit APBN,” katanya. 

 

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang pemerintah tahun 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun, belum termasuk hutang BUMN. Nilai tersebut melonjak dibandingkan akhir 2019 yaitu Rp4.778 triliun. BPK mencatat, indikator kerentanan utang negara pada 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF atau International Debt Relief (IDR). 

 

Memang dalam sistem kapitalisme seolah tidak ada alternatif lain untuk memulihkan ekonomi kecuali dengan meningkatkan pajak, berutang dan terkadang dengan mencetak mata uang. Sebab hanya solusi inilah yang mampu diberikan sistem ini untuk mengatasi defisit anggaran. Maka tak heran jika penguasa yang ada memang suka berutang dan memalak rakyat dengan dalih kemaslahatan bersama.  

 

Padahal dengan semakin meningkatnya jumlah utang mestinya membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat, namun kenyataannya masyarakat tambah melarat. Tingkat kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat. Transparansi dan akuntabilitas tata kelolanya pun banyak dipertanyakan masyarakat. Stigma bahwa semua kebijakan adalah demi rakyat dan untuk rakyat terus diopinikan sementara tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terus menguap.  

 

Konsekuensi Utang Membawa Sengsara 

 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa konsekuensi utang luar negeri seperti IMF sama saja mempersilahkan hegemoni para kapitalis makin mencengkeram kuat negeri pengutang. Karena dibalik utang luar negeri tersebut pasti terdapat sejumlah konsekuensi yang harus diambil negara pengutang, seperti pencabutan subsidi. Padahal subsidi adalah salah satu hak rakyat yang harus dipenuhi negara.  

 

Utang, lebih-lebih yang digunakan untuk pendanaan proyek/infrastruktur, sejatinya pintu yang sangat berbahaya bagi eksistensi negeri-negeri penerima utang (debitur). Yang dalam hal ini mayoritas adalah negara dunia ketiga, yang sebagian besarnya negeri-negeri muslim. 

 

Utang luar negeri adalah malapetaka, karena menjadi jalan bagi negara-negara Barat untuk menyandera negeri-negeri muslim. Dengan kata lain, negara kreditur memiliki kepentingan-kepentingan agar dapat menjustifikasi adanya intervensi politik dan ekonomi negara debitur. Bahkan lebih dari itu, bermula dari utang, negara debitur juga akan mengalami invasi dan liberalisasi budaya dari negara kreditur.


Pengamat Politik Farid Wadjdi menyatakan, meminta bantuan negara-negara imperialis dalam bentuk apa pun merupakan bunuh diri politik. Bantuan ekonomi berupa utang luar negeri telah digunakan Barat sebagai alat intervensi kepentingan mereka di dunia Islam. 

 

Sebagai negara penerima bantuan, Indonesia harus tunduk kepada kebijakan liberal yang digariskan Barat. Meskipun hal itu berarti “merampok” harta negara dan menambah derita rakyat. 

 

Dengan utang luar negeri ini, sebuah negara terus menerus bergantung kepada asing. Beban bunga utang yang semakin menjulang membuat Indonesia seolah menjadi sapi perah negara penjajah. 

 

Negara Bebas Utang Sebuah Keniscayaan 

 

Negara atau Daulah Islam yang dibangun Rasulullah SAW memiliki sistem keuangan yang kokoh dan sistem politik yang kuat. Sehingga menjadi negara berdaulat yang menyejahterakan setiap rakyatnya. Karena kesejahteraan dalam Islam dihitung per individu rakyat Khilafah.  

 

Kesejahteraan rakyat Khilafah terealisasi melalui sistem keuangan daulah Khilafah dalam Baitul Mal. Baitul Mal berfungsi mengatur harta yang diterima negara dan mengalokasikan bagi yang berhak menerimanya. 

 

Ada tiga sumber pemasukan Baitul Mal yaitu : pertama, pos fa’i, kharaj dan jizyah. Kedua, hasil pengelolaan aset kepemilikan umum seperti barang tambang, hutan dan lain-lain. Ketiga, zakat mal, zakat ternak, pertanian, perniagaan, emas dan perak.  

 

Tiga pos ini mengalirkan harta ke Baitul Mal karena bertumpu pada sektor produktif. Harta Baitul Mal juga selalu mengalir karena tidak terjerat hutang ribawi. Rakyat juga tidak terbebani karena Negara Khilafah tidak menerapkan sistem pungutan pajak di berbagai sektornya.  

 

Pada masa Khalifah Al-Mu’tadid yaitu pada tahun 279 H di akhir kekuasaannya meninggalkan kekayaan Baitul Mal sebesar 17 juta dinar, dimana 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas.  

 

Pada masa krisis dan musibah melanda tahun 18 H, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pendistribusian bahan pangan dan logistik dari Baitul Mal kepada seluruh rakyatnya. 

 

Khalifah Umar bin Khattab ra. Pernah menangis karena banyaknya harta yang mengalir ke Madinah. Harta berupa peti-peti emas, perak, batu permata, jutaan uang dinar dan dirham serta kekayaan lainnya.  

 

Pada masa Khalifah Muawwiyah bin Abu Sufyan sisa harta yang diterima negara sebesar 600 ribu dinar setelah digunakan untuk menggaji para pegawai negara. Pada masa Khalifah Harun Al Rasyid terjadi surplus yang jumlahnya sama dengan total penerimaan APBN Indonesia. 

 

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Pembangunan infrastruktur sangat megah dan modern tanpa hutang. Beliau membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah untuk memudahkan akses perdagangan. Membangun kota dagang Bashrah yaitu jalur dagang ke Romawi, membangun kota Kuffah yaitu jalur dagang ke Persia dan memerintahkan gubernur Mesir untuk membelanjakan sepertiga pengeluaran untuk infrastruktur dan lain-lain. Bahkan Baitul Mal dalam sejarah selalu surplus.   

 

Inilah bukti keadilan pengelolaan harta dalam sistem Islam sekaligus bukti kekokohan sistem keuangan Negara Islam. Sehingga mampu menyejahterakan setiap individu rakyatnya. MasyaAllah.  

 

Wallahu’alam


Oleh Reny Kurniati Sarie


Posting Komentar

0 Komentar