Ajang Bergengsi di tengah Pandemi, Mana lebih Prioritas?


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak ingin membatalkan penyelenggaraan Formula E yang telah lama direncanakan. Hal itu tampak dengan disahkannya Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 49 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Isu Prioritas Daerah Tahun 2021-2022. Pemprov DKI ingin kegiatan balap mobil listrik menjadi program prioritas tahun 2022 (Kompas.com, 9/8/2021).

Untuk menjadi tuan rumah balap mobil bergengsi ini, Pemprov DKI Jakarta harus membayar 20 juta poundsterling atau setara dengan Rp360 miliar kepada Federasi Otomotif Internasional (FIA). Dana itu sebagai commitment fee. Pemprov juga mengajukan 35 juta Euro untuk biaya asuransi. Jadi, jika dirupiahkan sekitar Rp934 miliar. Anggaran itu sudah dimasukkan dalam Kebijakan Umum Perubahan Anggaran Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUPA-PPAS) untuk rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2019 dan telah disetujui DPRD (liputan6.com, 22/8/2021).

Sangat disayangkan, Pandemi Covid-19 nyatanya tidak membuat pemerintah fokus menangani laju kontaminasi virus yang sudah memakan banyak korban jiwa. Jargon-jargon ingin membenahi perekonomian masyarakat juga hanya gula-gula. Sebab, pemerintah justru memprioritaskan kegiatan yang diduga menghabiskan anggaran dalam jumlah besar.

Pemulihan ekonomi yang digadang-gadang bisa terwujud dari gelaran event tersebut saat ini dipertanyakan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Kajian kelayakan dampak ekonomi dan keuntungan tambahan sekitar Rp460-540 miliar untuk satu kali event balap dinilai tidak lagi relevan dengan perhitungan sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Apalagi, menurut Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta, Anggara Wicitra, penundaan penyelenggaraan Formula E akan semakin membebani keuangan Pemprov DKI. Karena penambahan commitment fee sesuai dengan kontrak yang sudah disepakati akan mengalami kenaikan 10 persen per tahun. Dia mengatakan bahwa ada selisih 4,2 juta poundsterling atau sekitar Rp80 miliar (kompas.com, 23/3/2021).

Tentu, hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kenyataan pahit yang dialami tenaga kesehatan (nakes) di masa pandemi ini. "Lapor Covid-19" mencatat, sejak Januari 2021, pengaduan paling banyak terkait insentif salah satunya dari DKI Jakarta. Menurut laporan "Lapor Covid-19", persoalan insentif tidak hanya berupa keterlambatan pencairan, tapi juga pemotongan dana (kompas.com, 27/7/2021).

Miris, di tengah amukan Covid-19 fokus penanganan oleh Pemprov justru terpecah dan mereka malah sibuk dengan masalah ini.

Sebanyak 33 anggota Dewan dari Fraksi PDI-P dan PSI mengajukan hak interpelasi kepada pimpinan DPRD DKI. Langkah tersebut diambil untuk memperjelas temuan BPK terkait potensi kerugian yang dialami jika ajang bergengsi itu tetap diselenggarakan. Namun, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, M Taufik mengatakan sebaliknya. Tujuh Fraksi di DPRD DKI, yakni Nasdem, Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat sepakat menolak wacana penggunaan hak interpelasi tersebut (27/8/2021).

Menyedihkan, kegaduhan terjadi antarpara elit di struktur Pemprov DKI Jakarta. Padahal, menurut laman fiaformulae.com, 22/4/2021, sejak pertama kali digagas pada tahun 2011 oleh Jean Todt, Formula E sudah masuk dalam enam tujuan pembangunan berkelanjutan PBB atau Sustainable Development Goals (SDGs). Artinya, regulasi pelaksanaan Formula E bukan rancangan Pemprov semata. Tetapi, merupakan bagian dari program ekonomi global. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengadopsi sistem demokrasi kapitalisme sekuler.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada dasarnya semua perhelatan di negeri ini tidak lepas dari agenda internasional. Pada tahun 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui program Sustainable Development Goals atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) memiliki tujuan membangun infrastruktur kuat, mempromosikan industrialisasi berkelanjutan dan mendorong inovasi.

Dikutip dari situs tirto.id, 2/8/2017, konsep Formula E yang diprakarsai oleh Jean Todt yakni Presiden Federasi Otomotif Internasional (FIA) merupakan sarana untuk mendemonstrasikan potensi mobil listrik sebagai alat mobilitas berkelanjutan. Untuk mencapai SDGs tersebut, perlu adanya sinergi antara sektor swasta dengan pemerintah.

Senada dengan itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menginginkan Indonesia menjadi tujuan investasi kendaraan listrik. Menurutnya, Indonesia perlu mentransformasi kegiatan ekonomi menjadi Making Indonesia 4.0. (antaranews.com, 20/10/2020).

Dalam Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019. Disebutkan tujuan untuk menyelaraskan pengembangan kendaraan listrik. Bahkan, Pemerintah Indonesia siap memfasilitasi pemberian insentif fiskal seperti tax holiday dengan investasi sekitar 50 juta dolar AS. Selain itu, Jepang juga melakukan proses industrialisasi di dalam negeri.

Dari sederet kebijakan tersebut, sejatinya sangat terlihat pemerintah pusat maupun Pemprov setengah hati menuntaskan pandemi. Pemerintah justru rela menggelontorkan dana fantastis  untuk ajang bergengsi. Namun, pelit memberi bantuan pada rakyat saat dilanda virus Corona. Buktinya, dilansir dari laman merdeka.com, 16/8/2019, pemerintah merasa tidak masalah mengeluarkan anggaran senilai Rp1 triliyun untuk penyelenggaraan balap mobil Formula E. Bahkan sebelumnya, hanya untuk sosialisasi pra-event Formula E. Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta menyiapkan anggaran Rp600 juta dalam kegiatan Jakarta Fun Race 2019.

Malang nian, nasib rakyat yang hidup di bawah naungan pemimpin yang mengadopsi sistem bobrok demokrasi kapitalisme ini. Mereka mengejar prestige, tapi seolah lari dari tanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Bukannya mengelola negara sebaik mungkin, sebaliknya justru merugikan negara. Seperti kegiatan Formula E yang dinilai berpotensi menimbulkan kerugian. Selain itu, kompas.com, 24/8/2021, memberitakan bahwa mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara telah menikmati uang sebesar Rp15,1 miliar dana bantuan sosial yang harusnya dibagikan kepada masyarakat terdampak pandemi, memalukan.

Sangat berbeda dengan penguasa dalam naungan sistem Islam yang shahih seperti Umar Bin Khattab. Beliau tidak pernah terlintas sedikitpun untuk unjuk gigi dan mencari ketenaran. Ketika wilayahnya dilanda paceklik saat musim kemarau berkepanjangan. Umar justru memberikan keteladanannya dengan menahan lapar.

Malah beliau mengatakan kepada perutnya, "Hai, perut, walau engkau terus meronta-ronta, keroncongan, saya tetap tidak akan menyumpalmu dengan daging dan mentega sampai umat Muhammad merasa kenyang."

Saat negerinya dilanda wabah, Umar langsung mengambil langkah cepat dengan memisahkan yang sakit dan masih sehat. Seluruh biaya pengobatan dan kebutuhan rakyat saat itu ditanggung negara. Sebab dalam aturan Islam, mengurus rakyat dan mengelola dana umat merupakan bagian dari amanah seorang pemimpin. Semua itu tentunya harus sesuai dengan tuntunan Allah Swt. dan Rasul-Nya (syariat Islam). Oleh karena itu, hati dan sikap mereka diliputi keimanan dan ketakwaan dalam menunaikannya.

Sangat bertolak belakang dengan kondisi kepemimpinan hari ini, dimana manusia tidak menjadikan aturan Allah Swt. sebagai dasar kepemimpinan umat. Sehingga, korupsi, sikap tidak amanah, lalai dan pemimpinnya tidak bisa membedakan mana prioritas mana bukan seperti kasus penyelenggaraan ajang Formula E dan lainnya.

Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem yang tidak hanya mengatur urusan umat, namun juga mencetak pemimpin yang bertakwa, amanah dan cinta rakyat. Tentunya, semua itu hanya ada dalam aturan Islam, aturan yang berasal dari Allah Swt. Pencipta alama semesta, wallahu'alam bishawab.


Oleh Anggun Permatasari. 

Posting Komentar

0 Komentar