Amanah Sampah Akan Dipindah, Persoalan Kebersihan Bekasi Dirundung Resah


Evaluasi kontrak kerja sama pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang antara Pemerintah Kota Bekasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah berlangsung, dikarenakan bulan Oktober yang akan datang adalah waktu habis masa kerja. Wali kota Bekasi, Rahmat Effendi, masih menginginkan adanya TPST yang menggunakan energi terbarukan yang akan menghasilkan energi listrik dan bahan baru briket bara, sehingga Tumpukan sampah akan berkurang. Di samping itu, perluasan area TPST Bantargebang juga masih dalam tahap pembangunan berupa penambahan luas area sebanyak 15 hektare dengan total luas area menjadi 125 hektare, guna mengurangi resiko pemulung yang tertimbun tumpukan sampah (news.detik.com, 20 September 2021).

Di sisi lain, ternyata sejak 5 tahun yang lalu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah merencanakan pembangunan TPST baru di DKI Jakarta yang ramah lingkungan dengan teknologi Intermediate Treatment Facility (ITF) kepada pihak swasta dengan skema built, operate, dan own (BOO). Skema BOO ini menggambarkan pembangunan keseluruhan infrastruktur menggunakan modal milik swasta, pengelolaan oleh swasta, dan kepemilikan usaha atas nama swasta. Pemerintah hanya tinggal memasok bahan baku sampah, memberikan sejumlah pembayaran, dan kemudahan perizinan. Kemudian pihak swasta akan menghasilkan energi listrik dan produk lain yang bisa di jual kepada individu masyarakat atau pihak swasta lainnya (m.mediaindonesia.com, 27 November 2016). Namun demikian, hingga saat ini proyek tersebut masih belum selesai, bahkan masih dalam tahap lelang (suara.com, 21 September 2021).

Secara sekilas, proyek ITF di atas terkesan menjanjikan dan solutif. Akan tetapi jika kita gali lagi lebih teliti, proyek tersebut justru akan menimbulkan masalah dan banyak tanda tanya baru. Hal ini dikarenakan pengelolaan sampah adalah salah satu masalah hajat hidup orang banyak, yang mana seharusnya diamanahi kepada pemerintah sebagai pelindung dan pengasuh rakyat. Sedangkan pihak swasta cenderung money oriented atau profit oriented. Mereka lebih mementingkan keuntungan perusahaan daripada kepentingan rakyat dan efek samping proyek tersebut terhadap lingkungan.

Pembangunan TPST baru atau perluasan lahan dari TPST lama atas nama swasta memerlukan modal yang tidak sedikit dari mereka. Dan ini akan menjadikan sebagian lahan yang tadinya milik negara, maka akan beralih menjadi milik swasta. Proses pembangunan, pengadaan teknologi dan pengolahan sampah juga akan memakan biaya besar. Imbasnya adalah, masyarakat melalui pemerintah harus membayar sejumlah dana tertentu kalau mau sampahnya diangkut dan lingkungannya menjadi bersih. Pihak swasta tentunya tidak mau rugi karena sudah banyak keluar modal. Mereka akan memberikan sejumlah tarif yang dirasa sesuai agar bisa cepat balik modal dan menghasilkan keuntungan, di samping keuntungan dari penjualan energi terbarukan berupa listrik dan lain-lain.

Hal tersebut tentunya cukup meresahkan. Karena dengan adanya inovasi teknologi pengolahan sampah yang canggih, kemungkinan akan mengharuskan masyarakat membayar lebih mahal dari pada iuran sampah yang selama ini sudah rutin dibayarkan. Masalah ini tentunya tidak akan menjadi keluhan bagi masyarakat yang mampu dan atau golongan menengah ke atas. Lain halnya bagi masyarakat menengah ke bawah dan miskin. Di tengah permasalahan ekonomi yang mencekik, apalagi dengan efek pandemi covid 19 yang masih berlangsung, tentunya kemungkinan kenaikan iuran sampah akan semakin membebani hidup mereka.

Jika kita mau membandingkan dengan negara-negara maju, pengelolaan sampah mereka bukan hanya dibantu oleh teknologi yang canggih, tapi juga dengan power dari pemerintahnya yang mengeluarkan sejumlah aturan dan perundang-undangan yang mendetail mengenai sampah. Para aktivis lingkungan hidup yang ada di negara kita selama ini hanya mampu mengedukasi masyarakat melalui berbagai cara.

Mereka tidak memiliki kekuatan yang paten untuk bisa mengubah pola pikir dan kebiasaan hidup masyarakat Indonesia terkait dengan pembuangan, pengelompokan, pengelolaan dan daur ulang sampah. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah bisa merangkul aktivis lingkungan hidup dan elemen lain yang berkompeten untuk diajak urun rembug dalam mengatasi permasalahan seputar pengelolaan sampah. Dengan catatan, masih dalam lingkup tanggung jawab pemerintah bukan dialihkan kepada swasta.

Sistem hidup kapitalis dan sekuler saat ini menjadikan penguasa kurang jitu menyelesaikan permasalahan vital rakyatnya dan menjadikan kaum pengusaha menemukan celah meraih keuntungan dari suasana yang telah keruh. Ini tentu bertentangan dengan prinsip hidup Islam dalam mengatur sebuah negara. Dalam aturan Islam, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak menjadi amanah dan tanggung jawab dari pemerintah atau Khalifah.

Sekiranya kita bisa mengambil hikmah dari Al-Qur'an surat Shad ayat 26 yang artinya,
Allah berfirman, “Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Salah satu makna yang bisa kita petik dari terjemahan ayat di atas adalah, bahwa saat itu Nabi Daud as. sedang menjadi pemimpin bagi kaumnya. Dan Nabi Daud as. diperintahkan Allah untuk turun tangan langsung menyelesaikan permasalahan kaumnya. Di sini tersirat bahwa sudah seharusnya penguasa yang langsung mengemban amanah dan tanggung jawab dalam tiap-tiap permasalahan rakyat. Tentunya pendelegasian wewenang di sini dibolehkan, tapi tidak dengan pengalihan tanggung jawab ke pihak lain yang bukan sebagai penguasa atau pemerintah.

Saat Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin kaum muslimin, atau saat pemerintah Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah sesudahnya, kita akan banyak sekali menemukan bukti-bukti bahwasanya pemimpin kaum muslim turun tangan langsung dalam menyelesaikan berbagai problematika umat.

Sangat sedih bila dibandingkan dengan saat ini, di mana umat Islam tidak memiliki perisai atau pelindung untuk mengatasi segala macam masalah. Sistem hidup dan sistem pemerintahan yang dipakai saat ini sangat jauh bertentangan dengan sistem hidup dan sistem pemerintahan yang sudah Allah SWT rancang untuk kita. Oleh karena itu, sudah semestinya kita berpikir dan merenung, meyakini dengan utuh bahwa hanya aturan dan sistem hidup Islamlah yang cocok untuk kita dan akan menyelesaikan segala permasalahan umat, tuntas hingga ke akar-akarnya, termasuk dalam hal pengelolaan sampah.


Oleh: Adine Azaria
(pemerhati isu sosial dan politik)


Posting Komentar

0 Komentar