Artis Touring, Aturan PPKM Geming


Kerap kali kita merasa bingung dengan aturan yang diberlakukan oleh pemerintah. Di satu kondisi ketat mengikat, di keadaan lain bisa kompromi dan longgar. Ketika pedagang kaki lima memaksakan diri untuk berjualan demi menyambung hidup, denda diterapkan dengan nilai yang tak sepadan, recehan yang mereka cari harus dibayar dengan sanksi jutaan rupiah. Bahkan pengusiran dan penyitaan barang dagangan diberlakukan tanpa ampun. Ada apa dengan kebijakan di negeri ini?

Artis ibu kota berkonvoi ria dengan membawa sepeda motor masing-masing menuju ke Curug Sodong, Desa Ciwaru, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi. Kehadiran mereka di area Geopark Ciletuh tersebut langsung mendapatkan reaksi dari publik  termasuk warganet, karena semua terjadi di saat pemberlakuan PPKM level 3. Beberapa artis tersebut di antaranya: Billy Syahputra, Vicky Nitinegoro, Darius Sinathrya, Ibnu Jamil, beserta yang lainnya.

Sekretaris Desa Ciwaru, Risna Kurniadin menyatakan kebenaran konvoi artis tersebut memang datang ke tempat wisata, padahal kondisinya kawasan tersebut sedang ditutup, bahkan sosialisasi pengumuman tersebut sudah sangat nyata infonya di sepanjang jalan sebelum masuk ke kawasan Geopark Ciletuh.

Dalam keputusan Bupati Sukabumi Nomor: 443.1/Kep.682-Hukum/2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan MasyarakatLevel 3 Coronavirus Disease 2019 di Kabupaten Sukabumi disebutkan bahwa fasilitas umum (area publik, taman umum, tempat wisata umum, dan area publik lainnya) ditutup sementara. (Sukabumi, iNews.Jabar.id, 1/8/2021).

Inilah Nusantara, yang selalu menyerukan penegakan hukum dan aturan harus adil, tetapi fakta yang terasa, kekuasaan lebih utama dari pada aturan dan hukum itu sendiri. Aturan pada akhirnya melahirkan kenyataan yang tak mengikat pada penguasa dan orang-orang yang bisa membeli aturan. Namun, di lain pihak menjerat dan melukai hati rakyat, konfigurasi aturan yang kian hari semakin tak berpihak pada masyarakat.

Mungkin masih hangat di benak kita tentang H4b1eb R1z1q Sh1h4b yang mendapatkan diskriminasi. Kasus ini melahirkan komentar dari Wakil Ketua MPR, HNW yang akrab disapa Hidayat, ia mengutarakan jika majelis hakim mengakui adanya diskriminasi penegakan hukum dalam pelanggaran protokol Covid-19 terhadap H_R_S, karena di banyak kasus lain, pelanggaran prokes itu tidak dibawa ke ranah pidana. Menurutnya ketidakadilan ini sangat mencolok, melukai rasa keadilan publik, dan tentunya kredibilitas penegakan hukum.  (Jakarta, Pontas.id, 28/5/2021).

Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Itu istilah yang paling tepat melihat kebijakan dan hukum di negeri ini. Begitulah realita yang menjadi ciri khas paling mendasar dari sistem demokrasi. Kenyataan yang jauh sekali dari artinya. Bagi rakyat yang tidak berkepentingan apalagi membahayakan eksistensi penguasa, akan diberikan aturan sedemikian menjerat. Berbanding terbalik dengan mereka yang dekat dan bisa menjadi sumber pundi-pundi pemerintah semakin terisi. Kedaulatan diletakkan di tangan para kapitalis dan dieksekusi oleh oligarki. Tentu penguasa akan condong kepada mereka.

Semakin hari kita kian paham, jika keadilan di Nusantara tercinta bisa diperjualbelikan. Potret ketimpangan itu pun semakin menjadi-jadi. Jika biaya bicara, maka hukum pun tak berdaya. Semua mulus jika ada fulus. Di saat kondisi yang lain tidak bisa bergerak hanya untuk mencari solusi di sela jeratan kesulitan pandemi. Anosmia bukan sekadar tak bisa mencium bau hingga menghilangkan fungsi indra perasa. Ternyata banyak yang kehilangan rasa empati dan disiplin menghadapi aturan agar terbit rasa keadilan.

Berbeda dengan aturan Islam yang memuliakan manusia. Keadilan tegak setegak-tegaknya, tanpa pandang bulu, tidak melihat unsur untung dan rugi duniawi semata. Kekuasaan ada di tangan khalifah, kedaulatan dalam genggaman syariat. Antara penguasa dan rakyat memiliki posisi yang sama dalam syariat, hukum yang harus diadopsi adalah syariat Islam, tidak memperbolehkan pengaruh lain masuk dan mencemari.

Kita bisa belajar dari riwayat kisah Khalifah Umar bin Khattab ketika salah satu penduduk Mesir  mengadu, ia mendapatkan kecurangan dari putra Amru bin Ash, saat berlomba adu cepat kuda, tetapi orang tersebut malah dicambuk dan direndahkan. Lebih ironis lagi ketika Amru pun menjebloskan penduduk tersebut ke dalam penjara.

Suatu ketika Khalifah Umar meminta penduduk tersebut untuk membalas setimpal perlakuan Amru dan anaknya dengan memberikan cemeti agar keduanya dicambuk. Ada ketegasan yang luar biasa dari sikap sang khalifah, sehingga memenuhi rasa keadilan rakyatnya. Tidak memandang orang yang berbuat kezaliman sekalipun orang tersebut dari kalangan terpandang.

Sudah sepatutnya jejak Khalifah Umar menjadi teladan dan dicontoh oleh para pemimpin hari ini, agar tak pandang bulu ketika menegakkan keadilan, memberikan hukuman setimpal kepada siapa pun yang berbuat kecurangan, tak peduli pejabat ataupun keluarga. Wallahu a’lam bishshawab.


Oleh Rizka Adiatmadja
(Penulis dan Praktisi Homeschooling)

Posting Komentar

0 Komentar