Harus diakui bahwa eskalasi pemikiran umat Islam kini kian meningkat. Pengakuan bahwa umat Islam memiliki negara sendiri yang diatur dengan syariah Islam secara kaffah sudah mulai muncul di tengah publik, meskipun belum utuh. Salah satu contoh adalah apa yang disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD saat acara silaturrahim virtual dengan tokoh agama dan Pimpinan Forkompimda se-Jawa Timur sebagaimana dilansir sindonews.com (1/9/21).
Mahfud MD menyatakan, selain menyampaikan risalah Islam dan memimpin umat Islam, Nabi Muhammad juga mendirikan negara Madinah. Meski demikian gambaran utuh tentang negara Madinah belum nampak. Pernyataan Mahfud MD yang menyatakan bahwa “sistem dan bentuk negaranya boleh apa saja seperti demokrasi, monarki, presidensiil, parlementer, kerajaan, republik, imarah, mamlakah, dan sebagainya”, menunjukkan ketidakutuhan gambaran ini. Sebab untuk menjelaskan tentang bentuk dan sistem negara Madinah, harus ada landasan dalil yang digunakan. Tidak cukup hanya berdasarkan asumsi saja.
Karenanya harus ada edukasi yang terus menerus untuk memperbaiki pandangan masyarakat tentang negara Madinah dan khilafah. Sebab jika tidak ada telaah lebih mendalam berdasarkan landasan syar’i, umat Islam bisa semakin salah paham terhadap ajaran agamanya sendiri dan berujung pada Islamophobia.
Hijrah dan Tegaknya Negara Madinah
Momen hijrah Rasulullah saw dari Mekkah ke Madinah adalah bagian terpenting dari dakwah Rasulullah bagi umat Islam. Sebab disitulah cikal bakal tegaknya negara Islam (Daulah Islamiyah). Selama di Mekkah, perlawanan dari kaum musyrik pada umat Islam begitu keras. Karenanya, Rasulullah SAW menyuruh para sahabat agar berhijrah ke Madinah. Satu demi satu para sahabat Rasulullah berangkat hijah ke Madinah. Mereka menempuh perjalanan menuju Madinah secara sembunyi-sembunyi hanya dengan bekal takwa dan keikhlasan untuk menjalankan perintah Allah swt. Mereka meninggalkan tanah kelahiran mereka, rumah tempat tinggal, dan segala apa yang dicintainya demi menegakkan agama Islam.
Kaum kafir Quraisy ingin menghentikan upaya hijrah Nabi. Hingga akhirnya para pemuka Quraisy bersidang di tempat bernama Darun Nadwah dan memutuskan bahwa Nabi Muhammad saw harus dibunuh. Peristiwa ini diabadikan dalam QS. Al-Anfal:30.
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ ۚ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ ٱللَّهُ ۖ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلْمَٰكِرِينَ
"Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (QS. Al Anfal:30)
Allah SWT tidak membiarkan kejahatan kafir Quraisy terus menimpa Rasulullah saw. Dia mengutus Malaikat Jibril untuk menyampaikan pesan:”Muhammad janganlah kamu tidur malam ini di tempat tidurmu, karena sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk berhijrah ke Madinah,” (Ibn al-Atsir al-Kamil fi al-Tarikh, hal. 72).
Atas dasar wahyu inilah Rasulullah saw melakukan hijrah ke Madinah dan menegakkan negara di sana. Andai tak ada perintah Allah swt, tentu Rasul takkan melakukannya. Faktanya didapati bahwa ayat-ayat yang mengatur mengenai hukum syariah turun saat Rasul sudah berada di Madinah. Artinya perintah menegakkan sistem Islam beserta seluruh hukumnya di Madinah juga berdasarkan perintah Allah Swt.
Di sisi lain sebelum perintah hijrah itu ada, Rasulullah telah menerima berbagai tawaran dari para pembesar Quraiys. Termasuk tawaran jabatan, kekuasaan dan menjadi raja atau pemimpin mereka. Sejarawan Islam, Ibnu Ishaq, menuturkan suatu hari Utbah bin Rabi'ah, berkata pada Rasulullah saw, ''Wahai anak saudaraku, jika engkau menginginkan harta kekayaan sebagai pengganti apa yang engkau bawa ini (Islam), maka kami siap menghimpun harta kami untukmu. Jika engkau ingin kedudukan, maka kami akan mengangkatmu sebagai pemimpin kami. Jika engkau ingin kerajaan, maka kami siap mengangkatmu sebagai raja kami.''
Tawaran itu semuanya ditolak oleh Rasulullah. Andai bentuk dan sistem Islam boleh diambil dari selain Islam, maka Rasulullah saw bisa melakukan kolaborasi dengan sistem yang diterapkan oleh kaum Quraiys saat itu. Nyatanya tidak. Ini menunjukkan bahwa sistem kehidupan Islam yang diterapkan di Madinah saat itu berbeda dengan sistem apapun di dunia ini. Dan sistem itulah yang dikenal dengan istilah Khilafah.
Khilafah Adalah Sistem Pemerintahan Islam
Khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Orang yang memimpinnya disebut khalifah.
Sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan Islam sebagai ideologi, syariat sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahan. Meskipun dengan penamaan atau struktur yang berbeda, namun tetap berpegang pada prinsip yang sama, yaitu sebagai otoritas kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia.
Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat melanjutkan sistem dan bentuk negara yang dirintis sejak awal di Madinah. Para sahabat menyakini Rasul adalah tedan teladan terbaik dalm hal ini. Ditambah lagi Nabi saw juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda SAW harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah khulafa’, jamak dari khalifah (pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi). Nabi bersabda, “Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi (Bani Israil) wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” (HR Muslim)
Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah menegaskan: “Sungguh para sahabat, semoga Allah meridhai mereka, telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.”
Dan jika merujuk pada pendapat para ulama, seluruh ulama Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].
Kewajiban menegakkannya ini tentu sepaket dengan sistem pemerintahannya, bukan hanya nama atau sekedar substansinya saja. Syeikh ad-Dumaji dalam Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, menegaskan: “Sudah diketahui, bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah khilafah.”
Bukti tak terbantahkan tentang adanya khilafah dalam sejarah kehidupan umat Islam telah diabadikan dalam kitab-kitab tarikh yang ditulis oleh para ulama terdahulu hingga ulama mutakhir. Sebut saja, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, karya at-Thabari, al-Kamil fi at-Tarikh, karya Ibn Atsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibn Katsir, Tarikh Ibn Khaldun, karya Ibn Khaldun, Tarikh al-Khulafa’, karya Imam as-Suyuthi, dan at-Tarikh al-Islami, karya Mahmud Syakir.
Khilafah Memang Beda
Dalam sistem khilafah, kedaulatan berada di tangan syara’ (Allah swt). Khalifah bukanlah pembuat hukum tetapi sekadar menerapkan hukum. Sumber hukum sudah ada yaitu al-Quran, al-Hadits, ijma’ sahabat, dan qiyas. Aturan dan hukum hanya tinggal digali dari sumber hukum tersebut dan setelah itu oleh khalifah aturan dan hukum tersebut diterapkan.
Ini merupakan perbedaan mendasar antara khilafah dengan sistem yang lain. Sebab seluruh sistem yang ada di dunia meletakkan kedaulatan ditangan manusia, baik di tangan rakyat, wakil rakyat, anggota parlemen, perdana mentri, raja, atau pun kaisar.
Meski terlihat mirip dengan sistem teokrasi, sistem Khilafah tetap berbeda. Dalam sistem teokrasi kekuasaan dianggap “takdir” atau penunjukkan Tuhan. Sehingga pemimpinnya menganggap diri sebagai wakil Tuhan, menjadi manusia suci, terbebas dari salah maupun dosa. Sangat berbeda dengan sistem khilafah, karena khalifah diangkat oleh umat melalui bai’at. Khalifah juga bukan manusia suci yang bebas dari kesalahan dan dosa. Khalifah bisa dikoreksi dan diprotes oleh umat jika kebijakannya menyimpang dari ketentuan syariat. Khalifah juga bisa salah dan bisa dihukum, yang dalam struktur khilafah fungsi ini dilakukan oleh mahkamah madzalim, yaitu ketika khalifah menyimpang dari ketentuan syariat Islam.
Karenanya sangat tidak tepat jika dikatakan bentuk dan sistem negara umat Islam bersifat inklusif dan bisa menerima sistem manapun dengan bentuk apapun. Sebab prinsip utamanya sangatlah berbeda. Karena itu Khilafah takkan mungkin tegak kecuali hanya dalam sistem Islam. Wallahu a’lam.
Oleh Kamilia Mustadjab.
0 Komentar